Bab 8 BUKAN WANITA PEMUAS NAFSUMU!
by Chantie Lee
12:12,Dec 04,2020
Penerangan yang redup tak cukup memberikan pencahayaan bagus pada ruangan yang besar itu. Sengaja dibiarkan oleh sang empu, dianggap bisa membangkitkan suasana romantis yang hendak dibangun kala ini. Di dalam ruangan yang sangat privasi, di mana jeritan dan suara rintihan kenikmatan tidak akan terdengar dari luar sana, sekencang apapun penghuninya menjerit. Tapi tidak untuk malam ini....
Tangan Billy mulai berselancar menyingkap rok yang dikenakan Laura. Pelan namun lembut menyusuri kulit mulus itu hingga sampai ke dekat muara kenikmatan, membuat si wanita sedikit mendesah. Fokus Billy berpindah, enggan terhalang oleh helaian benang yang menutupi seluruh aurat istrinya. Ia mulai menarik resleting rok yang dikenakan Laura dari belakang.
“Sayang, layani aku... beri aku keturunan.” Desak Billy yang kini menarik badan Laura agar berhadapan dengannya. Sasarannya kali ini adalah bibir seksi wanita itu, tak lengkap bila belum memberikannya pagutan mesra.
Laura berbalik dan memperlihatkan raut wajah yang mengkerut, suasana hatinya mendadak berubah saat mendengar perintah Billy. Permintaan untuk dilayani, tuntutan untuk memberikannya anak, membuat Laura tertekan. Entah kekuatan dari mana yang datang kepadanya hingga Laura begitu berani menyingkirkan tangan Billy yang mencoba memberi rangsangan kepadanya. Saat ini ia tidak butuh keintiman, yang Laura perlukan hanyalah rasa nyaman dan dihargai.
“Aku lelah. Aku tidak bersemangat untuk itu.” Tolak Laura dengan lirih namun tegas.
Billy terhenyak, tiba-tiba hasratnya yang membuncah dipaksa untuk reda. “Ada apa sayang? Apa aku kurang lembut?” Billy masih belum menerima kenyataan, sebisa mungkin ia akan mencoba merayu kembali Laura agar bersedia meneruskan. Rasa yang tak tertahankan ini begitu menyiksa Billy, ingin melakukan namun tidak punya tempat penyaluran. Hanya pria dewasa yang paham betapa menderitanya kondisi ini.
Laura menggeleng cepat, bibirnya berdecak pelan. Pertanyaan yang sungguh menunjukkan bahwa orang yang semestinya menjadi orang terdekatnya, belahan jiwanya, justru tidak mengerti apa yang ia rasakan dan apa yang ia inginkan. Laura kecewa, amat sangat kecewa!
“Aku bukan budakmu, jangan memaksaku memberikan sesuatu yang belum siap ku lakukan!” Pekik Laura penuh amarah, nafasnya sampai terengah saking emosinya. Di saat Billy menatapnya penuh rasa takut, Laura justru membetulkan resleting roknya kemudian merapikan bagian atas bajunya.
Masih dalam suasana terkejut hingga Billy membungkam tak percaya dengan bentakan istrinya, Laura justru beranjak dari sana, meraih kunci mobil serta tas tangannya. Billy baru tersadar saat Laura menyentuh gagang pintu.
“Laura, kamu mau ke mana?” Teriak Billy tersentak kaget, Laura baru pulang dan hendak pergi lagi.
Tidak ada jawaban, Laura melangkah keluar dengan cepat seraya membanting pintu dengan keras hingga tertutup lagi. Billy menghela nafas kasar, emosinya kian membuncah karena hasrat yang tidak tersalurkan serta sikap Laura yang tiba-tiba marah.
“Aaarrggghhh!”
***
Flashback....
Seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun, dengan polosnya menarik tangan ibunya yang hendak meninggalkan rumah dengan menarik koper besar. Air matanya bercucuran deras, mengiba agar wanita yang dipanggilnya mama itu tidak pergi meninggalkannya.
“Ma... jangan tinggalin Laura. Laura mau ikut mama....” Pekik Laura seraya terisak pilu. Tangan kecilnya masih berusaha mencengkeram tangan dewasa ibunya yang memiliki kekuatan lebih besar darinya.
“Maaa....” Rengekan Laura rasanya tiada arti, ibunya sama sekali tidak menggubris. Bahkan tak sudi menoleh kepadanya yang kini bersimbah air mata. Hingga saat wanita itu melangkah, spontan tubuh kecil Laura yang masih bersikeras mencegat itu terjerembab jatuh dan berteriak. Hati kecil wanita yang menjadi ibunya itu tergugah, menoleh ke belakang kemudian berjongkok di hadapan Laura yang masih tersungkur di lantai.
“Mama harus pergi, Laura ikut sama papa ya.” Ujar wanita itu dingin.
Laura menggeleng dengan cepat, tangisnya kian kencang hingga seluruh wajahnya basah. “Nggak mau, Laura mau ikut sama mama. Ikut mama....” Teriak anak kecil itu dengan segala keegoisannya, khas anak kecil yang enggan dipisahkan dari orang yang ia cintai.
“Tidak bisa! Mama nggak bisa bawa kamu. Jadi anak yang penurut, kalau kamu sayang mama, biarkan mama pergi.” Kecam wanita itu kemudian berdiri, tak bersedia membantu Laura berdiri.
Jeritan Laura semakin menjadi, tidak terima melihat kepergian ibunya yang kini sudah mendekati mobil. “Mama... jangan pergi!”
“Biarkan dia pergi, Laura sama papa saja. Kita pasti kuat tanpa dia.” Ayah Laura memeluk dari belakang, mengangkat tubuh Laura yang masih belum sanggup untuk bangun. Tenaga anak sekecil itu jelas terbatas, hanya tersisa suara parau yang mengiba, berharap mendapatkan belas kasihan dari wanita yang telah mendingin hatinya.
Dalam pelukan sang ayah, Laura membasahi kemeja pria itu dengan hujan air matanya. Hanya bisa menatap kepergian ibunya yang telah menghilang dengan mobil. Menyisakan tanda tanya besar, mengapa wanita itu tega meninggalkan ia seperti ini. Tangan kekar seorang pria rupanya bisa berlaku lembut pula, saat mengelus kepala anak perempuannya yang malang.
“Biarkan dia pergi nak, papa janji akan membahagiakanmu.” Ucap Roberto, ayah Laura yang hanya bisa pasrah menerima keadaan, membiarkan istrinya pergi dengan segala keputusannya.
“Tapi kenapa pa? Kenapa mama tinggalkan kita?” Tanya Laura dengan mata yang masih berkaca-kaca, perlahan tetesan bening itu jatuh lagi.
Roberto menghela nafas kasar, tatapannya serius dan penuh kesedihan menyoroti putrinya. “Karena dia mau hidup bebas, dia tidak mau terikat oleh kita nak.”
Laura berangsur diam, meskipun sulit baginya untuk mengerti apa yang ayahnya katakan saat itu. Tapi semua yang ia lakukan tak berarti sama sekali, bahkan bersujud memohon pun tidak bisa melunakkan hati wanita itu.
Flashback off
***
Laura meneguk Wine di gelas slokinya, ingatan masa lalu itu muncul dan menyiksa batinnya lagi. Kerinduan yang tertahan pada sosok ibu yang tega meninggalkannya tanpa satu alasan yang sanggup ia terima. Sejak saat itupula, Laura tak pernah melihat wanita itu lagi. Puluhan tahun menghilang tanpa kabar, layaknya tidak pernah mengenal Laura sebagai anaknya.
“Semudah itu dia bilang pergi, ternyata karena aku yang dianggap sebagai penghalang kebebasannya. Cih....” Cibiran itu terlontar dengan mulus dari bibir Laura, dengan kesadaran yang setengah limbung karena efek alkohol yang diteguknya, ia masih bersemangat memenuhi gelas kosongnya dengan minuman merah itu lagi.
Acapkali teringat tentang kekejaman ibunya yang menelantarkan ia begitu saja, Laura pasti melampiaskan kemarahannya dengan minuman. Memilih menyepi di dalam bar yang telah ia sewa khusus satu ruangan, lalu menenggelamkan seluruh kesedihannya lewat minuman hingga mabuk. Kebiasaan yang sudah ia tutup buku semenjak menikah, namun hanya bertahan beberapa bulan saja. Malam ini ia kembali memulai kebiasaan buruknya, semua gara-gara tuntutan Billy yang terlampau egois.
“Anak? Ha ha ha... Kamu pikir aku sapi perah? Hah!?” Kesal Laura, perkataannya mulai melantur.
Dering ponsel dalam tasnya masih terdengar olehnya, meskipun kesadarannya mulai limbung. Laura meraba isi tasnya demi mengeluarkan alat komunikasi itu. Kepala yang terasa berat membuatnya tidak bisa berpikir, siapa yang menghubunginya sekarang. Namun sepasang mata Laura malah menyipit saat membaca nama penelpon di layar itu.
Tania memanggil....
Dalam hitungan detik, panggilan itu ditolak oleh Laura. Suasana hatinya masih sangat buruk, ditambah harus mendengar rengekan dari wanita manja sekelas Tania? Rasanya Laura bisa meledak di tempat andai ia menerima panggilan masuk itu.
“Membosankan! Aku benar-benar muak, tidak ada yang tulus! Semua palsu, semua yang di dekatku memakai topeng!” Pekik Laura histeris, mengeluarkan segala uneg-uneg dalam hatinya.
***
Kamar kost itu tampak gelap sebelum sebuah tangan pemiliknya menyentuh saklar lampu untuk membukanya. Seketika pencahayaan dari lampu pijar menyebar hingga ke seluruh ruangan, memberikan tanda kehidupan dalam ruangan yang berukuran 3 x 7 meter itu. Ruangan yang cukup luas untuk ukuran anak kost yang dihuni sendirian, dengan fasilitas yang cukup lengkap dan membuat nyaman penghuninya. Di sinilah Mario berlindung dari panas dan dinginnya kehidupan di luar, panas karena kerasnya kehidupan ibukota bagi seorang pejuang hidup seperti dirinya. Bertahan hidup sebatang kara dengan segala modal yang tak seberapa yang ia miliki. Rasa dingin itu berasal dari hati yang sepi karena dan selalu menahan gejolak rindunya yang tidak akan bisa tersampaikan pada pemiliknya lagi.
Mario melepas jas formalnya kemudian menaruhnya ke dalam keranjang cucian. Segala pekerjaan rumah bahkan memasak pun Mario kerjakan sendiri. Walau awalnya harus tertatih dan sempat frustasi hingga ia nyaris menyerah untuk bertahan dalam kondisi sulit ini. Langkah pria muda itu mendekat pada sebuah meja altar yang dibuatnya dengan sederhana. Jika bukan karena itu, mungkin kesabaran Mario sudah lama habis. Ia sengaja meletakkan meja altar sederhana itu sebagai pengingat, agar ia tetap fokus pada misi utamanya.
Dua foto yang dibingkai bagus terpampang di meja altar itu, setiap kali memandanginya, senyum Mario selalu mengembang. Dua orang yang pernah hadir memberikan ia kehangatan cinta, kini hanya bisa dipandangi potretnya di sana. Mario menangkupkan kedua tangannya di depan dada, matanya terpejam, ujung bibirnya menarik seulas senyum tipis.
“Ayah, ibu... Hari ini aku berhasil masuk ke perusahaan itu. Terima kasih telah memberkatiku, aku akan menuntaskan misi ini demi kalian.” Ujar Mario begitu lirih, perlahan sepasang matanya terbuka dan menatap foto ayah dan ibunya yang tersenyum itu secara bergantian.
Puas menatap sejenak foto-foto itu, Mario mengalihkan pandangannya kemudian melangkah masuk lebih dalam mendekati lemari baju. Menaruh tasnya di atas meja, lalu mulai melepas kancing kemejanya satu persatu. Mario mengendus lengan kemejanya, suasana hatinya mendadak senang, senyumnya kembali mengembang penuh. Ia mencium lebih dekat pada bagian kain yang ternyata menyimpan aroma khas yang mengingatkannya kepada Laura. Parfum wanita itu ternyata menempel di bagian itu ketika mereka sempat bersentuhan tangan.
Mario mengenang sesaat apa yang terjadi saat mereka hendak mengakhiri pertemuan mereka tadi siang.
Flashback....
“Aku belum memperkenalkan diri secara formal. Senang bertemu denganmu, Laura.” Mario menjulurkan tangannya, menunggu sambutan positif dari Laura yang malah termangu heran menatapnya.
Tatapan mata Laura seakan mencari sesuatu dari tangan Mario yang masih nganggur terjulur menantinya. Canggung saja bila harus berkenalan dengan cara kaku, namun melihat tekad Mario yang begitu kuat, Laura tak tega memupuskan harapannya untuk berjabat tangan. Ia menyambutnya dengan menjulurkan tangan, menjabat telapak tangan pria muda itu dengan tangan lentiknya.
“Mario.” Ucap Mario dengan wajah sumingrah.
“Laura.” Jawab Laura seraya tersenyum tipis meskipun dalam hatinya geli.
Flashback off....
Mario tersadar dari lamunan indahnya, setidaknya masih ada satu hal yang membuatnya benar-benar merasakan kebahagiaan. Meskipun cukup melelahkan, namun semua terbayarkan dengan indah. Tak disangka ia bisa berkenalan dengan seorang wanita yang begitu cepat menyita perhatiannya. Meskipun terlalu dini untuk dikatakan cinta, namun yang pasti Mario mengaku bahwa dirinya tertarik pada pesona Laura.
Satu persatu pakaian Mario dilucuti, kemudian berjalan dengan tubuh atletisnya yang polos menuju kamar mandi. Suara air dari keran langsung mendominasi seisi ruang kecil itu, memecah keheningan oleh gemericik air yang berjatuhan heboh saat Mario mengguyurkan air ke sekujur tubuhnya. Basuhan air dingin itu menyegarkan pikiran Mario, penat dan pegal di tubuhnya serasa ikut terguyur habis. Ia menengadahkan kepala, meresapi dinginnya air yang terasa menembus kulit kepala. Setelah itu Mario menyudahi ritual mandinya dan berjalan keluar kamar mandi dengan handuk yang terlilit di pinggang.
Baru beberapa langkah dari pintu kamar mandi, dering ponselnya terdengar nyaring dan bergetar di atas ranjang. Sontak Mario berlari sebelum bunyi panggilan masuk itu terputus. Tidak biasanya ada yang menghubunginya, alat komunikasi itu telah lama sunyi, seakan Mario adalah manusia anti sosial yang menjauhi interaksi dengan orang lain. Namun sebenarnya, ia lah yang telah dilupakan oleh sekelompok orang yang dulu menyebutnya sebagai teman. Kini mereka telah lenyap, bersikap seolah tak saling mengenal sejak dulu.
“Hmm... Laura?” Kening Mario mengernyit saat melihat nama yang tertera di layarnya memunculkan nama wanita yang beberapa saat lalu ia pikirkan. Antara senang dan masih tak percaya, wanita itu begitu antusias menghubunginya. Belum lama mereka berpisah untuk pulang ke tujuan masing-masing, namun kini ia mencarinya lagi.
“Halo.” Jawab Mario singkat dan lembut. Senyumnya mengembang lebar, bertingkah seakan Laura bisa melihat reaksinya. Setelah mendengar jawaban dari seberang, senyum Mario memudar berganti ekspresi yang nampak jelas kepanikannya.
“Kamu di mana sekarang?” Tanya Mario cemas, ia pun bergegas mengenakan pakaian bersih yang ditarik sedapatnya dari lemari. Satu tangannya tetap menempel pada benda pipih itu, mendengarkan apa yang wanita itu katakan.
“Tunggu aku di sana, jangan ke mana-mana!” Pinta Mario tegas, kemudian menutup panggilan telpon itu. Dalam kondisi tergesa-gesa, ia tak lagi memerhatikan penampilan. Rambut yang setengah kering pun hanya disisir dan dibiarkan natural tanpa sentuhan pomade. Hati Mario terlampau gusar mendengar suara Laura yang lirih di sana, entah mengapa kecemasan itu muncul begitu saja. Khawatir jika wanita itu sendirian dalam kondisi setengah sadar.
Mario meraih jaket kulitnya, menggandakannya pada kaos polos berwarna putih yang kini ia kenakan. Kunci motor yang tergeletak di atas meja pun segera disambarnya, ia harus segera menyusul ke tempat yang disebutkan Laura. Raganya masih ada di kosan, namun hatinya sudah tertahan pada Lauran, di manapun wanita itu berada kini. Tanpa pikir panjang, Mario segera tancap gas dengan kecepatan penuh, menelusuri jalanan malam ibu kota demi seorang Laura.
‘Tunggu aku di sana, ku mohon jangan bertindak gegabah!’ Gumam Mario dalam hatinya.
***
Tangan Billy mulai berselancar menyingkap rok yang dikenakan Laura. Pelan namun lembut menyusuri kulit mulus itu hingga sampai ke dekat muara kenikmatan, membuat si wanita sedikit mendesah. Fokus Billy berpindah, enggan terhalang oleh helaian benang yang menutupi seluruh aurat istrinya. Ia mulai menarik resleting rok yang dikenakan Laura dari belakang.
“Sayang, layani aku... beri aku keturunan.” Desak Billy yang kini menarik badan Laura agar berhadapan dengannya. Sasarannya kali ini adalah bibir seksi wanita itu, tak lengkap bila belum memberikannya pagutan mesra.
Laura berbalik dan memperlihatkan raut wajah yang mengkerut, suasana hatinya mendadak berubah saat mendengar perintah Billy. Permintaan untuk dilayani, tuntutan untuk memberikannya anak, membuat Laura tertekan. Entah kekuatan dari mana yang datang kepadanya hingga Laura begitu berani menyingkirkan tangan Billy yang mencoba memberi rangsangan kepadanya. Saat ini ia tidak butuh keintiman, yang Laura perlukan hanyalah rasa nyaman dan dihargai.
“Aku lelah. Aku tidak bersemangat untuk itu.” Tolak Laura dengan lirih namun tegas.
Billy terhenyak, tiba-tiba hasratnya yang membuncah dipaksa untuk reda. “Ada apa sayang? Apa aku kurang lembut?” Billy masih belum menerima kenyataan, sebisa mungkin ia akan mencoba merayu kembali Laura agar bersedia meneruskan. Rasa yang tak tertahankan ini begitu menyiksa Billy, ingin melakukan namun tidak punya tempat penyaluran. Hanya pria dewasa yang paham betapa menderitanya kondisi ini.
Laura menggeleng cepat, bibirnya berdecak pelan. Pertanyaan yang sungguh menunjukkan bahwa orang yang semestinya menjadi orang terdekatnya, belahan jiwanya, justru tidak mengerti apa yang ia rasakan dan apa yang ia inginkan. Laura kecewa, amat sangat kecewa!
“Aku bukan budakmu, jangan memaksaku memberikan sesuatu yang belum siap ku lakukan!” Pekik Laura penuh amarah, nafasnya sampai terengah saking emosinya. Di saat Billy menatapnya penuh rasa takut, Laura justru membetulkan resleting roknya kemudian merapikan bagian atas bajunya.
Masih dalam suasana terkejut hingga Billy membungkam tak percaya dengan bentakan istrinya, Laura justru beranjak dari sana, meraih kunci mobil serta tas tangannya. Billy baru tersadar saat Laura menyentuh gagang pintu.
“Laura, kamu mau ke mana?” Teriak Billy tersentak kaget, Laura baru pulang dan hendak pergi lagi.
Tidak ada jawaban, Laura melangkah keluar dengan cepat seraya membanting pintu dengan keras hingga tertutup lagi. Billy menghela nafas kasar, emosinya kian membuncah karena hasrat yang tidak tersalurkan serta sikap Laura yang tiba-tiba marah.
“Aaarrggghhh!”
***
Flashback....
Seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun, dengan polosnya menarik tangan ibunya yang hendak meninggalkan rumah dengan menarik koper besar. Air matanya bercucuran deras, mengiba agar wanita yang dipanggilnya mama itu tidak pergi meninggalkannya.
“Ma... jangan tinggalin Laura. Laura mau ikut mama....” Pekik Laura seraya terisak pilu. Tangan kecilnya masih berusaha mencengkeram tangan dewasa ibunya yang memiliki kekuatan lebih besar darinya.
“Maaa....” Rengekan Laura rasanya tiada arti, ibunya sama sekali tidak menggubris. Bahkan tak sudi menoleh kepadanya yang kini bersimbah air mata. Hingga saat wanita itu melangkah, spontan tubuh kecil Laura yang masih bersikeras mencegat itu terjerembab jatuh dan berteriak. Hati kecil wanita yang menjadi ibunya itu tergugah, menoleh ke belakang kemudian berjongkok di hadapan Laura yang masih tersungkur di lantai.
“Mama harus pergi, Laura ikut sama papa ya.” Ujar wanita itu dingin.
Laura menggeleng dengan cepat, tangisnya kian kencang hingga seluruh wajahnya basah. “Nggak mau, Laura mau ikut sama mama. Ikut mama....” Teriak anak kecil itu dengan segala keegoisannya, khas anak kecil yang enggan dipisahkan dari orang yang ia cintai.
“Tidak bisa! Mama nggak bisa bawa kamu. Jadi anak yang penurut, kalau kamu sayang mama, biarkan mama pergi.” Kecam wanita itu kemudian berdiri, tak bersedia membantu Laura berdiri.
Jeritan Laura semakin menjadi, tidak terima melihat kepergian ibunya yang kini sudah mendekati mobil. “Mama... jangan pergi!”
“Biarkan dia pergi, Laura sama papa saja. Kita pasti kuat tanpa dia.” Ayah Laura memeluk dari belakang, mengangkat tubuh Laura yang masih belum sanggup untuk bangun. Tenaga anak sekecil itu jelas terbatas, hanya tersisa suara parau yang mengiba, berharap mendapatkan belas kasihan dari wanita yang telah mendingin hatinya.
Dalam pelukan sang ayah, Laura membasahi kemeja pria itu dengan hujan air matanya. Hanya bisa menatap kepergian ibunya yang telah menghilang dengan mobil. Menyisakan tanda tanya besar, mengapa wanita itu tega meninggalkan ia seperti ini. Tangan kekar seorang pria rupanya bisa berlaku lembut pula, saat mengelus kepala anak perempuannya yang malang.
“Biarkan dia pergi nak, papa janji akan membahagiakanmu.” Ucap Roberto, ayah Laura yang hanya bisa pasrah menerima keadaan, membiarkan istrinya pergi dengan segala keputusannya.
“Tapi kenapa pa? Kenapa mama tinggalkan kita?” Tanya Laura dengan mata yang masih berkaca-kaca, perlahan tetesan bening itu jatuh lagi.
Roberto menghela nafas kasar, tatapannya serius dan penuh kesedihan menyoroti putrinya. “Karena dia mau hidup bebas, dia tidak mau terikat oleh kita nak.”
Laura berangsur diam, meskipun sulit baginya untuk mengerti apa yang ayahnya katakan saat itu. Tapi semua yang ia lakukan tak berarti sama sekali, bahkan bersujud memohon pun tidak bisa melunakkan hati wanita itu.
Flashback off
***
Laura meneguk Wine di gelas slokinya, ingatan masa lalu itu muncul dan menyiksa batinnya lagi. Kerinduan yang tertahan pada sosok ibu yang tega meninggalkannya tanpa satu alasan yang sanggup ia terima. Sejak saat itupula, Laura tak pernah melihat wanita itu lagi. Puluhan tahun menghilang tanpa kabar, layaknya tidak pernah mengenal Laura sebagai anaknya.
“Semudah itu dia bilang pergi, ternyata karena aku yang dianggap sebagai penghalang kebebasannya. Cih....” Cibiran itu terlontar dengan mulus dari bibir Laura, dengan kesadaran yang setengah limbung karena efek alkohol yang diteguknya, ia masih bersemangat memenuhi gelas kosongnya dengan minuman merah itu lagi.
Acapkali teringat tentang kekejaman ibunya yang menelantarkan ia begitu saja, Laura pasti melampiaskan kemarahannya dengan minuman. Memilih menyepi di dalam bar yang telah ia sewa khusus satu ruangan, lalu menenggelamkan seluruh kesedihannya lewat minuman hingga mabuk. Kebiasaan yang sudah ia tutup buku semenjak menikah, namun hanya bertahan beberapa bulan saja. Malam ini ia kembali memulai kebiasaan buruknya, semua gara-gara tuntutan Billy yang terlampau egois.
“Anak? Ha ha ha... Kamu pikir aku sapi perah? Hah!?” Kesal Laura, perkataannya mulai melantur.
Dering ponsel dalam tasnya masih terdengar olehnya, meskipun kesadarannya mulai limbung. Laura meraba isi tasnya demi mengeluarkan alat komunikasi itu. Kepala yang terasa berat membuatnya tidak bisa berpikir, siapa yang menghubunginya sekarang. Namun sepasang mata Laura malah menyipit saat membaca nama penelpon di layar itu.
Tania memanggil....
Dalam hitungan detik, panggilan itu ditolak oleh Laura. Suasana hatinya masih sangat buruk, ditambah harus mendengar rengekan dari wanita manja sekelas Tania? Rasanya Laura bisa meledak di tempat andai ia menerima panggilan masuk itu.
“Membosankan! Aku benar-benar muak, tidak ada yang tulus! Semua palsu, semua yang di dekatku memakai topeng!” Pekik Laura histeris, mengeluarkan segala uneg-uneg dalam hatinya.
***
Kamar kost itu tampak gelap sebelum sebuah tangan pemiliknya menyentuh saklar lampu untuk membukanya. Seketika pencahayaan dari lampu pijar menyebar hingga ke seluruh ruangan, memberikan tanda kehidupan dalam ruangan yang berukuran 3 x 7 meter itu. Ruangan yang cukup luas untuk ukuran anak kost yang dihuni sendirian, dengan fasilitas yang cukup lengkap dan membuat nyaman penghuninya. Di sinilah Mario berlindung dari panas dan dinginnya kehidupan di luar, panas karena kerasnya kehidupan ibukota bagi seorang pejuang hidup seperti dirinya. Bertahan hidup sebatang kara dengan segala modal yang tak seberapa yang ia miliki. Rasa dingin itu berasal dari hati yang sepi karena dan selalu menahan gejolak rindunya yang tidak akan bisa tersampaikan pada pemiliknya lagi.
Mario melepas jas formalnya kemudian menaruhnya ke dalam keranjang cucian. Segala pekerjaan rumah bahkan memasak pun Mario kerjakan sendiri. Walau awalnya harus tertatih dan sempat frustasi hingga ia nyaris menyerah untuk bertahan dalam kondisi sulit ini. Langkah pria muda itu mendekat pada sebuah meja altar yang dibuatnya dengan sederhana. Jika bukan karena itu, mungkin kesabaran Mario sudah lama habis. Ia sengaja meletakkan meja altar sederhana itu sebagai pengingat, agar ia tetap fokus pada misi utamanya.
Dua foto yang dibingkai bagus terpampang di meja altar itu, setiap kali memandanginya, senyum Mario selalu mengembang. Dua orang yang pernah hadir memberikan ia kehangatan cinta, kini hanya bisa dipandangi potretnya di sana. Mario menangkupkan kedua tangannya di depan dada, matanya terpejam, ujung bibirnya menarik seulas senyum tipis.
“Ayah, ibu... Hari ini aku berhasil masuk ke perusahaan itu. Terima kasih telah memberkatiku, aku akan menuntaskan misi ini demi kalian.” Ujar Mario begitu lirih, perlahan sepasang matanya terbuka dan menatap foto ayah dan ibunya yang tersenyum itu secara bergantian.
Puas menatap sejenak foto-foto itu, Mario mengalihkan pandangannya kemudian melangkah masuk lebih dalam mendekati lemari baju. Menaruh tasnya di atas meja, lalu mulai melepas kancing kemejanya satu persatu. Mario mengendus lengan kemejanya, suasana hatinya mendadak senang, senyumnya kembali mengembang penuh. Ia mencium lebih dekat pada bagian kain yang ternyata menyimpan aroma khas yang mengingatkannya kepada Laura. Parfum wanita itu ternyata menempel di bagian itu ketika mereka sempat bersentuhan tangan.
Mario mengenang sesaat apa yang terjadi saat mereka hendak mengakhiri pertemuan mereka tadi siang.
Flashback....
“Aku belum memperkenalkan diri secara formal. Senang bertemu denganmu, Laura.” Mario menjulurkan tangannya, menunggu sambutan positif dari Laura yang malah termangu heran menatapnya.
Tatapan mata Laura seakan mencari sesuatu dari tangan Mario yang masih nganggur terjulur menantinya. Canggung saja bila harus berkenalan dengan cara kaku, namun melihat tekad Mario yang begitu kuat, Laura tak tega memupuskan harapannya untuk berjabat tangan. Ia menyambutnya dengan menjulurkan tangan, menjabat telapak tangan pria muda itu dengan tangan lentiknya.
“Mario.” Ucap Mario dengan wajah sumingrah.
“Laura.” Jawab Laura seraya tersenyum tipis meskipun dalam hatinya geli.
Flashback off....
Mario tersadar dari lamunan indahnya, setidaknya masih ada satu hal yang membuatnya benar-benar merasakan kebahagiaan. Meskipun cukup melelahkan, namun semua terbayarkan dengan indah. Tak disangka ia bisa berkenalan dengan seorang wanita yang begitu cepat menyita perhatiannya. Meskipun terlalu dini untuk dikatakan cinta, namun yang pasti Mario mengaku bahwa dirinya tertarik pada pesona Laura.
Satu persatu pakaian Mario dilucuti, kemudian berjalan dengan tubuh atletisnya yang polos menuju kamar mandi. Suara air dari keran langsung mendominasi seisi ruang kecil itu, memecah keheningan oleh gemericik air yang berjatuhan heboh saat Mario mengguyurkan air ke sekujur tubuhnya. Basuhan air dingin itu menyegarkan pikiran Mario, penat dan pegal di tubuhnya serasa ikut terguyur habis. Ia menengadahkan kepala, meresapi dinginnya air yang terasa menembus kulit kepala. Setelah itu Mario menyudahi ritual mandinya dan berjalan keluar kamar mandi dengan handuk yang terlilit di pinggang.
Baru beberapa langkah dari pintu kamar mandi, dering ponselnya terdengar nyaring dan bergetar di atas ranjang. Sontak Mario berlari sebelum bunyi panggilan masuk itu terputus. Tidak biasanya ada yang menghubunginya, alat komunikasi itu telah lama sunyi, seakan Mario adalah manusia anti sosial yang menjauhi interaksi dengan orang lain. Namun sebenarnya, ia lah yang telah dilupakan oleh sekelompok orang yang dulu menyebutnya sebagai teman. Kini mereka telah lenyap, bersikap seolah tak saling mengenal sejak dulu.
“Hmm... Laura?” Kening Mario mengernyit saat melihat nama yang tertera di layarnya memunculkan nama wanita yang beberapa saat lalu ia pikirkan. Antara senang dan masih tak percaya, wanita itu begitu antusias menghubunginya. Belum lama mereka berpisah untuk pulang ke tujuan masing-masing, namun kini ia mencarinya lagi.
“Halo.” Jawab Mario singkat dan lembut. Senyumnya mengembang lebar, bertingkah seakan Laura bisa melihat reaksinya. Setelah mendengar jawaban dari seberang, senyum Mario memudar berganti ekspresi yang nampak jelas kepanikannya.
“Kamu di mana sekarang?” Tanya Mario cemas, ia pun bergegas mengenakan pakaian bersih yang ditarik sedapatnya dari lemari. Satu tangannya tetap menempel pada benda pipih itu, mendengarkan apa yang wanita itu katakan.
“Tunggu aku di sana, jangan ke mana-mana!” Pinta Mario tegas, kemudian menutup panggilan telpon itu. Dalam kondisi tergesa-gesa, ia tak lagi memerhatikan penampilan. Rambut yang setengah kering pun hanya disisir dan dibiarkan natural tanpa sentuhan pomade. Hati Mario terlampau gusar mendengar suara Laura yang lirih di sana, entah mengapa kecemasan itu muncul begitu saja. Khawatir jika wanita itu sendirian dalam kondisi setengah sadar.
Mario meraih jaket kulitnya, menggandakannya pada kaos polos berwarna putih yang kini ia kenakan. Kunci motor yang tergeletak di atas meja pun segera disambarnya, ia harus segera menyusul ke tempat yang disebutkan Laura. Raganya masih ada di kosan, namun hatinya sudah tertahan pada Lauran, di manapun wanita itu berada kini. Tanpa pikir panjang, Mario segera tancap gas dengan kecepatan penuh, menelusuri jalanan malam ibu kota demi seorang Laura.
‘Tunggu aku di sana, ku mohon jangan bertindak gegabah!’ Gumam Mario dalam hatinya.
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved