Bab 2 Kisah Terbangun Tanpa Busana
by Abarakwan
06:00,Dec 16,2020
Seorang perempuan muda 24 tahun berlari menghindari tetesan air hujan, tubuh mungil itu memegang erat coat hitam panjang yang bahkan menutupi pergelangan tangannya. Ia memasuki apartemen cokelat bata yang terletak di 3rd Ave. Kota New York.
Dara cantik itu berjalan menuju lift untuk menaiki lift menuju lantai 14. Saat melewati lobby apartemen, ia berjalan melambat--melihat ke sekeliling ruangan yang bernuansa alam tersebut. Sofa kulit berwarna cokelat dipadu dengan meja putih tak berkaki dan berhias vas bunga segar--terlihat sepi. Jam 10 pagi di kota New York yang diguyur hujan sejak tadi malam, membuat warganya mendekam di dalam rumah hangat mereka masing-masing.
Perempuan berambut cokelat tua sebahu itu, melanjutkan perjalanannya menuju lift. Ponselnya bergetar saat ia berada di pintu lift, berhenti sesaat untuk mengangkat panggilan dari wanita yang bersedia menolongnya.
"Hello...," cicit perempuan itu dan melihat sekelilingnya.
"Dimana kau sekarang?" Tanya suara wanita di line ponsel, suara itu terdengar sedikit dominan dan menuduh.
"Aku berada di lobby apartemen, ingin naik ke atas. Tadi aku ke coffee-shop di samping apartemen, aku butuh udara segar," alasannya dengan sedikit berbisik.
"Telpon aku saat kau ada di atas.." Balas wanita yang bersedia meminjamkannya apartemen untuk menghindar dari pria menyebalkan yang sangat dominan. Jaxon. Wanita muda itupun menutup telponnya.
Ia menaruh kembali ponsel pemberian wanita itu kepadanya kemarin. Ia berjalan memasuki lift dan menyentuh tombol 14 untuk menuju apartemen yang dipinjamkan untuknya sementara. Bernafas lega saat tiba di depan pintu apartemen. "Tak ada drama sepanjang pagi ini, kuharap begitu juga sisa hari ini," batinnya dalam hati dan membuka pintu apartemen.
Di dalam apartemen berlantai panel kayu cokelat muda, ia menggantungkan coat panjangnya di sebuah hanger tak jauh dari pintu masuk. Ia menjatuhkan tubuh mungilnya di atas ranjang empuk dengan bed cover bertema floral hitam-putih, di buka ponsel keluaran terbaru yang di pinjamkan untuknya. Perempuan muda itu menelepon kembali sang pengacara yang bersedia membantunya dan telah meneleponnya beberapa menit yang lalu.
"Hello, I'm at the room already, what's wrong?" Tanya perempuan muda itu ragu. Ia mengabari bahwa tekah tiba di dalam kamar. Suaranya sedikit serak akibat menangis sepanjang malam.
"Jaxon mendatangiku! Ia akan mencarimu, kuyakin itu! Jangan keluar ruangan lagi atau melakukan transaksi apapun," balas wanita di ponselnya
"Tapi Allison!! Aku bosan di dalam ruangan ini sepanjang hari..," keluhnya dan merengek seperti anak manja kepada sosok Allison yang bersedia membantu dan memeluknya seperti seorang kakak.
"Dewasalah sedikit Maggie!! Saat Jaxon menemukanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Menurutlah Maggie, kumohon." Jaringan telepon itu terputus sebelum sang perempuan muda yang terbaring bermalas-malasan di kasur menjawab apapun.
"Yes... Mommy," jawabnya pada sambungan telepon yang sudah terputus. "Kenapa semua orang menganggapku tak dewasa?" Batinnya kesal dan menutup matanya.
Jaxon, nama itu terdengar maskulin di telinganya, membuat tubuhnya bergetar hangat saat mengucapkan namanya. Jaxon pengacara kasus pembunuhan Mr. Richardson, yang selama ini berhubungan dengannya.
Ia bertemu dengan Jaxon saat polisi mengerubunginya di apartemen tempatnya berkencan dengan Greg Rihardson. Hari itu adalah hari tergelap dalam hidupnya, ia melihat dengan matanya sendiri bagaimana Greg-kekasih gelapnya terbunuh.
Greg Richardson adalah seorang politikus terkenal di California, namanya di elu-elukan warga California, bahkan mungkin sama terkenalnya dengan "The Terminator". Maggie bertemu Greg pertama kali sekitar tiga bulan yang lalu, dalam acara penggalangan dana untuk sebuah yayasan kanker anak. Maggie sebagai salah satu simpatisan foundation tersebut, menawarkan bantuannya untuk menjadi Photographer tambahan untuk acara akbar tersebut.
Saat pandangan mata mereka bertemu pertama kali, melalui lensa kamera Nikon D3200nya, Maggie melihat Greg yang sedang tersenyum ke arah kerabatnya, lengan Greg dipeluk mesra oleh istrinya--sang mantan supermodel berambut pirang dengan kaki jenjang tak terkalahkan.
Saat kamera Maggie membidik Greg dengan senyum mempesonanya, pandangan mereka bertemu, Greg melihat ke arah kameranya. Terhenyak-- Maggie menjauhkan matanya dari lensa dan melihat langsung sang dewa penyelamat bagi rakyat California, tersenyum intens kepadanya.
Pandangan mata mereka akhirnya terputus saat sang istri--Raline Richardson bergelayut manja di lengan sebelah kirinya.
Keesokan harinya, sekretaris Greg Richardson menghubungi Maggie dan menjadwalkan pertemuan Mr.Richardson dengan Maggie di sebuah kedai kopi.
"Mr. Richardson ingin melihat hasil bidikan kameramu pada acara penggalangan dana kemarin." Itu adalah alasan utama pertemuan itu.
Sore harinya, sesuai dengan apa yang di katakan oleh sang sekretaris--mereka bertemu di kedai kopi yang terletak di St.Rita Road. Sebuah pertemuan yang merubah hidupnya.
Pertemuan itu, membawa Maggie kedalam hubungan gelap dengan Greg Richardson, politikus ternama yang sudah beristri. Membutakan matanya dan memberikan cintanya pada sang pria penuh pesona.
Cinta, kata itu yang menjadi alasan kebutaannya, dan ia rela tak melihat cahaya asalkan ia terselimuti sang cinta. Sampai beberapa hari yang lalu, sesaat setelah Greg memasuki apartemen pemberiannya untuk Maggie, ia mengecup kening Maggie dan duduk di atas sofa hitam berbahan kulit.
Greg meminum sebuah paper-cup berisi Caramel Macchiato kegemarannya. Pria berusia empat puluhan dengan janggut halus di wajahnya terlihat segar dan normal hari itu. Bahkan ia terlihat sangat antusias dengan rencana pertemuan mereka minggu depan di Los Angeles.
"Tak biasanya.. ini tercium lucu," ucap Greg saat itu, sambil menyeruput minuman favoritnya yang dibeli dari kedai langganannya.
"Ia mabuk," pikir Maggie saat itu. Karena terkadang alcohol membuat indera perasa dan penciuman kacau.
Setelah meminum kopi itu, ia terbatuk hebat. Greg berdiri dan pergi ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar Maggie. Wanita berambut cokelat itu tetap duduk diam di sofa menunggu sang kekasih kembali, suara batuk itu semakin keras dan tidak terdengar suara apapun dari dalam kamar mandi setelah 5 menit.
"Honey...? Is everything okay?" Tanya Maggie kala itu, karena tak terdengar suara apapun dari dalam. Satu menit berikutnya tak ada jawaban, Maggie menghampiri pintu kayu jati kamar mandi dan berusaha membuka pintunya. Tak terkunci.
Di dalam kamar mandi berlantai marmer itu, Maggie melihat kulit wajah dan leher Greg memerah seperti terbakar. Ia terbaring di lantai marmer dan sambil memegang tenggorokan. Maggie panik dan hanya membatu di tempatnya berdiri, kaget, panik dan takut dengan apa yang ia saksikan. Saat ia sadar, Greg terbujur kaku dengan kulit terbakar, pakaian bermandikan darah dari muntahannya juga beberapa bagian kulitnya terbakar hingga berlubang.
Maggie terbatuk hebat saat bernafas kembali di depan pintu kamar mandi, ia baru sadar ada gas aneh di dalam kamar mandinya. Maggie menutup pintu dan berlari ke sofa tempat poselnya berada. Maggie berteriak histeris dan menghubungi paramedic, menceritakan kejadian yang terjadi di depan matanya menit yang lalu dengan suara bergetar dan isakan kencang dari mulutnya.
Sepuluh menit berikutnya 2 tim medis datang ke dalam apartemennya, 3 orang polisi dan seorang pria berpakaian formal dengan kacamata hitam yang masih terpasang datang berikutnya.
Tim medis membawa Greg ke dalam ambulans walau mereka sudah tidak menemukan denyut nadi dan nafasnya. "Greg telah tiada!!"
Terpaku dengan pernyataan itu, seorang pria menepuk pundaknya dengan lembut, ia membuka kacamata hitam dan memandang dengan sangat serius ke dalam manik mata Maggie. Ia mengulurkan tangannya.
"Jaxon Tomàs Reyes, pengacara keluarga Richardson. Kita harus berbicara!" Ucapnya tegas sambil menjabat tangan Maggie. Seakan tersihir dengan suara, dan tatapan mata tajam sang adonis, Maggie berhasil menguasai kesedihannya ditinggal sang kekasih, dan memperhatikan lawan bicaranya.
"Aku tidak membunuhnya!" Ucap Maggie spontan.
Mungkinkah ia akan dituduh atas kematian tragis sang elit politik sekaligus kekasih gelapnya itu? Batinnya berdecit takut. Bagaimana kalau hubungan terlarangnya sampai terekspose ke publik?
Air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya. Ia akan masuk penjara!
"Demi Tuhan!!! Aku tak pernah membunuhnya! Atau... berniat.. mencelakainya!"
"Aku tidak pernah menuduhmu, Nona!" Jawab sang pengacara tampan, memperhatikan raut muka lawan bicaranya, "aku hanya butuh kesaksianmu!"
Pria bernama Jaxon itu membawanya ke luar apartemen dan menuju kantor firmanya. Maggie diperlakukan dengan baik dan sopan. Beberapa kali Jaxon menawarkan sebuah minuman, untuk menghilangkan rasa cemas yang berlebihan katanya waktu itu.
Maggie bercerita, lalu entah kenapa ia berakhir mabuk dan terbangun tanpa busana di kamar apartemen pengacara tampan itu.
Dara cantik itu berjalan menuju lift untuk menaiki lift menuju lantai 14. Saat melewati lobby apartemen, ia berjalan melambat--melihat ke sekeliling ruangan yang bernuansa alam tersebut. Sofa kulit berwarna cokelat dipadu dengan meja putih tak berkaki dan berhias vas bunga segar--terlihat sepi. Jam 10 pagi di kota New York yang diguyur hujan sejak tadi malam, membuat warganya mendekam di dalam rumah hangat mereka masing-masing.
Perempuan berambut cokelat tua sebahu itu, melanjutkan perjalanannya menuju lift. Ponselnya bergetar saat ia berada di pintu lift, berhenti sesaat untuk mengangkat panggilan dari wanita yang bersedia menolongnya.
"Hello...," cicit perempuan itu dan melihat sekelilingnya.
"Dimana kau sekarang?" Tanya suara wanita di line ponsel, suara itu terdengar sedikit dominan dan menuduh.
"Aku berada di lobby apartemen, ingin naik ke atas. Tadi aku ke coffee-shop di samping apartemen, aku butuh udara segar," alasannya dengan sedikit berbisik.
"Telpon aku saat kau ada di atas.." Balas wanita yang bersedia meminjamkannya apartemen untuk menghindar dari pria menyebalkan yang sangat dominan. Jaxon. Wanita muda itupun menutup telponnya.
Ia menaruh kembali ponsel pemberian wanita itu kepadanya kemarin. Ia berjalan memasuki lift dan menyentuh tombol 14 untuk menuju apartemen yang dipinjamkan untuknya sementara. Bernafas lega saat tiba di depan pintu apartemen. "Tak ada drama sepanjang pagi ini, kuharap begitu juga sisa hari ini," batinnya dalam hati dan membuka pintu apartemen.
Di dalam apartemen berlantai panel kayu cokelat muda, ia menggantungkan coat panjangnya di sebuah hanger tak jauh dari pintu masuk. Ia menjatuhkan tubuh mungilnya di atas ranjang empuk dengan bed cover bertema floral hitam-putih, di buka ponsel keluaran terbaru yang di pinjamkan untuknya. Perempuan muda itu menelepon kembali sang pengacara yang bersedia membantunya dan telah meneleponnya beberapa menit yang lalu.
"Hello, I'm at the room already, what's wrong?" Tanya perempuan muda itu ragu. Ia mengabari bahwa tekah tiba di dalam kamar. Suaranya sedikit serak akibat menangis sepanjang malam.
"Jaxon mendatangiku! Ia akan mencarimu, kuyakin itu! Jangan keluar ruangan lagi atau melakukan transaksi apapun," balas wanita di ponselnya
"Tapi Allison!! Aku bosan di dalam ruangan ini sepanjang hari..," keluhnya dan merengek seperti anak manja kepada sosok Allison yang bersedia membantu dan memeluknya seperti seorang kakak.
"Dewasalah sedikit Maggie!! Saat Jaxon menemukanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Menurutlah Maggie, kumohon." Jaringan telepon itu terputus sebelum sang perempuan muda yang terbaring bermalas-malasan di kasur menjawab apapun.
"Yes... Mommy," jawabnya pada sambungan telepon yang sudah terputus. "Kenapa semua orang menganggapku tak dewasa?" Batinnya kesal dan menutup matanya.
Jaxon, nama itu terdengar maskulin di telinganya, membuat tubuhnya bergetar hangat saat mengucapkan namanya. Jaxon pengacara kasus pembunuhan Mr. Richardson, yang selama ini berhubungan dengannya.
Ia bertemu dengan Jaxon saat polisi mengerubunginya di apartemen tempatnya berkencan dengan Greg Rihardson. Hari itu adalah hari tergelap dalam hidupnya, ia melihat dengan matanya sendiri bagaimana Greg-kekasih gelapnya terbunuh.
Greg Richardson adalah seorang politikus terkenal di California, namanya di elu-elukan warga California, bahkan mungkin sama terkenalnya dengan "The Terminator". Maggie bertemu Greg pertama kali sekitar tiga bulan yang lalu, dalam acara penggalangan dana untuk sebuah yayasan kanker anak. Maggie sebagai salah satu simpatisan foundation tersebut, menawarkan bantuannya untuk menjadi Photographer tambahan untuk acara akbar tersebut.
Saat pandangan mata mereka bertemu pertama kali, melalui lensa kamera Nikon D3200nya, Maggie melihat Greg yang sedang tersenyum ke arah kerabatnya, lengan Greg dipeluk mesra oleh istrinya--sang mantan supermodel berambut pirang dengan kaki jenjang tak terkalahkan.
Saat kamera Maggie membidik Greg dengan senyum mempesonanya, pandangan mereka bertemu, Greg melihat ke arah kameranya. Terhenyak-- Maggie menjauhkan matanya dari lensa dan melihat langsung sang dewa penyelamat bagi rakyat California, tersenyum intens kepadanya.
Pandangan mata mereka akhirnya terputus saat sang istri--Raline Richardson bergelayut manja di lengan sebelah kirinya.
Keesokan harinya, sekretaris Greg Richardson menghubungi Maggie dan menjadwalkan pertemuan Mr.Richardson dengan Maggie di sebuah kedai kopi.
"Mr. Richardson ingin melihat hasil bidikan kameramu pada acara penggalangan dana kemarin." Itu adalah alasan utama pertemuan itu.
Sore harinya, sesuai dengan apa yang di katakan oleh sang sekretaris--mereka bertemu di kedai kopi yang terletak di St.Rita Road. Sebuah pertemuan yang merubah hidupnya.
Pertemuan itu, membawa Maggie kedalam hubungan gelap dengan Greg Richardson, politikus ternama yang sudah beristri. Membutakan matanya dan memberikan cintanya pada sang pria penuh pesona.
Cinta, kata itu yang menjadi alasan kebutaannya, dan ia rela tak melihat cahaya asalkan ia terselimuti sang cinta. Sampai beberapa hari yang lalu, sesaat setelah Greg memasuki apartemen pemberiannya untuk Maggie, ia mengecup kening Maggie dan duduk di atas sofa hitam berbahan kulit.
Greg meminum sebuah paper-cup berisi Caramel Macchiato kegemarannya. Pria berusia empat puluhan dengan janggut halus di wajahnya terlihat segar dan normal hari itu. Bahkan ia terlihat sangat antusias dengan rencana pertemuan mereka minggu depan di Los Angeles.
"Tak biasanya.. ini tercium lucu," ucap Greg saat itu, sambil menyeruput minuman favoritnya yang dibeli dari kedai langganannya.
"Ia mabuk," pikir Maggie saat itu. Karena terkadang alcohol membuat indera perasa dan penciuman kacau.
Setelah meminum kopi itu, ia terbatuk hebat. Greg berdiri dan pergi ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar Maggie. Wanita berambut cokelat itu tetap duduk diam di sofa menunggu sang kekasih kembali, suara batuk itu semakin keras dan tidak terdengar suara apapun dari dalam kamar mandi setelah 5 menit.
"Honey...? Is everything okay?" Tanya Maggie kala itu, karena tak terdengar suara apapun dari dalam. Satu menit berikutnya tak ada jawaban, Maggie menghampiri pintu kayu jati kamar mandi dan berusaha membuka pintunya. Tak terkunci.
Di dalam kamar mandi berlantai marmer itu, Maggie melihat kulit wajah dan leher Greg memerah seperti terbakar. Ia terbaring di lantai marmer dan sambil memegang tenggorokan. Maggie panik dan hanya membatu di tempatnya berdiri, kaget, panik dan takut dengan apa yang ia saksikan. Saat ia sadar, Greg terbujur kaku dengan kulit terbakar, pakaian bermandikan darah dari muntahannya juga beberapa bagian kulitnya terbakar hingga berlubang.
Maggie terbatuk hebat saat bernafas kembali di depan pintu kamar mandi, ia baru sadar ada gas aneh di dalam kamar mandinya. Maggie menutup pintu dan berlari ke sofa tempat poselnya berada. Maggie berteriak histeris dan menghubungi paramedic, menceritakan kejadian yang terjadi di depan matanya menit yang lalu dengan suara bergetar dan isakan kencang dari mulutnya.
Sepuluh menit berikutnya 2 tim medis datang ke dalam apartemennya, 3 orang polisi dan seorang pria berpakaian formal dengan kacamata hitam yang masih terpasang datang berikutnya.
Tim medis membawa Greg ke dalam ambulans walau mereka sudah tidak menemukan denyut nadi dan nafasnya. "Greg telah tiada!!"
Terpaku dengan pernyataan itu, seorang pria menepuk pundaknya dengan lembut, ia membuka kacamata hitam dan memandang dengan sangat serius ke dalam manik mata Maggie. Ia mengulurkan tangannya.
"Jaxon Tomàs Reyes, pengacara keluarga Richardson. Kita harus berbicara!" Ucapnya tegas sambil menjabat tangan Maggie. Seakan tersihir dengan suara, dan tatapan mata tajam sang adonis, Maggie berhasil menguasai kesedihannya ditinggal sang kekasih, dan memperhatikan lawan bicaranya.
"Aku tidak membunuhnya!" Ucap Maggie spontan.
Mungkinkah ia akan dituduh atas kematian tragis sang elit politik sekaligus kekasih gelapnya itu? Batinnya berdecit takut. Bagaimana kalau hubungan terlarangnya sampai terekspose ke publik?
Air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya. Ia akan masuk penjara!
"Demi Tuhan!!! Aku tak pernah membunuhnya! Atau... berniat.. mencelakainya!"
"Aku tidak pernah menuduhmu, Nona!" Jawab sang pengacara tampan, memperhatikan raut muka lawan bicaranya, "aku hanya butuh kesaksianmu!"
Pria bernama Jaxon itu membawanya ke luar apartemen dan menuju kantor firmanya. Maggie diperlakukan dengan baik dan sopan. Beberapa kali Jaxon menawarkan sebuah minuman, untuk menghilangkan rasa cemas yang berlebihan katanya waktu itu.
Maggie bercerita, lalu entah kenapa ia berakhir mabuk dan terbangun tanpa busana di kamar apartemen pengacara tampan itu.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved