Bab 1 Buta

by Laurent Rando 16:26,Mar 25,2021
Di Kota Heaven.

Di tengah kelinglungan, Eric Gustav membuka matanya dengan susah payah.

Tiba-tiba, Eric menyadari dia sedang berbaring di atas kasur.

Hhmm?

“Mataku sudah bisa melihat lagi?”

Eric tertegun, lalu dia bergairah sekali.

Tiga tahun, sudah tiga tahun lamanya, akhirnya aku bisa lihat lagi, Kakek Tua itu tidak bohongi aku!

Mata Eric menjadi merah, saking bergairahnya dia pun hampir melonjak.

Tiba-tiba mata Eric terasa sakit menusuk, lalu… dia menyadari dunia di depan matanya ini sepertinya sudah berbeda.

Ada apa ini?

“Jangan gerak!” Terdengar sebuah suara yang muda dan kesal.

Eric mendongak, ingin melihat siapa yang sedang berbicara.
“Sudah aku katakan, jangan gerak, nanti benar-benar akan keluar.” Terdengar lagi suara yang muda dan kesal itu.

Eric memfokuskan mata, dia menyadari yang di depannya adalah seorang… perawat yang sedang menusukkan jarum padanya.

Perawat?

Eric termangu.

Tepat ketika itu, barulah dia menyadari dia sedang berada di atas kasur bangsal.

“Hhmm, kamu sudah bangun? Pas sekali, jangan asal gerak lagi, kalau tidak, aku tidak akan bantu kamu pasang jarum lagi.”

“Pembuluh darahmu kecil, untung saja tadi kamu tegang sehingga lebih besar sedikit, kalau tidak, aku pun tidak bisa masukkan ke dalam.”

Perawat ini adalah perawat magang yang baru bertugas, hari ini dengan tidak mudah dia memasangkan jarum untuk Eric.

Siapa tahu Eric yang pingsan pun terus meronta, sudah beberapa kali jarumnya lepas.

Sekarang melihat Eric sudah bangun, perawat langsung memelototi Eric dengan tidak senang, lalu pergi dengan marah.

“Ada apa dengan adegan tadi? Apakah itu ilusi?”

Eric menatap keluar pintu, dalam hatinya kebingungan.

“Hhmm? Kamu si sampah tak berguna ini sudah bangun?”

Pada saat ini, terdengar suara kaget di luar pintu.

Mendengarnya, Eric tahu ini adalah ibu mertuanya, Astuti Pangarep.

Astuti sudah berusia empat puluhan tahun, tetapi kulitnya putih cerah, terpelihara dengan sangat baik, terlihat hanya berusia sekitar tiga puluhan tahun saja, sangat beraura.

Akan tetapi, pada saat ini wajah Astuti membawa rasa masam yang pekat. Begitu masuk ke dalam bangsal, dia langsung berkata dengan marah, “Dasar si buta, benar-benar suka cari masalah untukku, kamu tahu tidak, aku sudah janji dengan orang lain untuk main Mahjong, tak disangka malah harus bawa kamu ke rumah sakit.”

Mendengarnya, Eric baru teringat, hari ini ketika dia sedang pergi keluar memapah tongkat untuk menenangkan diri, tiba-tiba kepalanya sakit dan dia langsung pingsan.

Tak disangka Astuti yang membawanya ke rumah sakit.

“Ibu, terima kasih.”

Tidak peduli bagaimana, Eric tetap harus mengucapkan terima kasih pada Astuti.

Namun kata ‘ibu’ ini membuat Astuti semakin gusar. Astuti menatap Eric dan berkata dengan marah, “Siapa ibu kamu? Kamu hanya menantu matrilineal dari keluarga kami, hanya orang buta, hanya pria yang tak berguna, atas dasar apa kamu panggil aku ibu?”

“Kamu ini, selama setahun nikah ke dalam keluarga kami, kamu makan di rumah kami, pakai milik rumah kami, tinggal di rumah kami, kami pun masih harus rawat kamu, kamu benar-benar enak sekali.”

Astuti berkata dengan penuh sindiran, “Terkadang, aku benar-benar kagum padamu, sebagai seorang pria kamu pun lembek hingga seperti ini, benar-benar hebat sekali.”

“Jika aku adalah kamu, sekarang aku langsung lompat dari jendela ini, lebih baik mati saja.”

Astuti membombardirnya dengan setumpuk perkataan, perkataan yang tidak enak didengar.

Dalam hati Eric suram sekali.

Tiga tahun lalu ketika dia pergi mengantarkan Go Food, dia ditabrak oleh mobil Porsche. Tetapi pemilik dari mobil Porsche tidak hanya tidak meminta maaf, juga tidak memberikan kompensasi, sebaliknya menyalahkan Eric merusak cat mobilnya.

Ada beberapa orang yang turun dari mobil Porsche dan membawa Eric ke sebuah lahan proyek, mereka memaksanya untuk berlutut di depan mobil Porsche dan meminta maaf pada mobil itu. Selain itu, Eric dipaksa untuk membuka matanya di lampu depan mobil yang menyala selama semalaman.

Oleh karena itu, sepasang mata Eric menjadi buta.

Setelah itu, Eric menjalani kehidupan yang menyedihkan, selalu ditertawakan, dimaki, bahkan diusik sampai jatuh ke dalam lubang.

Sementara orang yang mengusiknya berdiri di atas dan menertawakan dengan asyik.

Demi menyembuhkan matanya, ayahnya pergi mencari dokter ke mana-mana, sudah tidak tahu berapa banyak uang yang terhabiskan, bahkan masih berhutang banyak.

Terkadang Eric ingin sekali mati saja, setidaknya tidak akan menyusahkan kehidupan ayahnya yang tua.

Namun satu tahun yang lalu, Eric bertemu dengan seorang Kakek Tua.

Kakek Tua mengatakan dia dapat membayarkan utang ayahnya, serta dapat menyembuhkan matanya, tetapi dia harus melakukan satu hal.

Eric segera mengiyakan.

Kemudian, Kakek Tua membawanya ke Keluarga Abimanyu, serta mengajarkan Ilmu Sakti padanya.

Kakek Tua mengatakan, asalkan dia dapat melancarkan seluruh titik vital dengan hati ini, maka dia berhasil menguasai teknik ini dan dapat menyembuhkan matanya.

Pada saat itu, Eric merasa mustahil, memangnya ini bisa membohongi siapa?

Namun meski tidak dapat menyembuhkan matanya, dia juga bersedia jika Kakek Tua dapat membayarkan utang ayahnya.

Selama satu tahun ini sebagai menantu matrilineal dari Keluarga Abimanyu, dia menerima berbagai perlakuan tidak baik.

Terutama Astuti ini, selalu jengkel padanya dan terus memakinya.

Melihat Eric tidak bersuara, Astuti menatapnya dengan jengkel dan meneruskan, “Karena kamu sudah bangun, ayo pergi.”

Sambil berkata, Astuti memanggil perawat dan menyuruhnya menarik jarum di tangan Eric.

Perawat menjelaskan bahwa pasien baru saja sadar kembali, lebih baik dipantau dulu di rumah sakit.

Namun Astuti mendengus, “Siapa yang punya waktu temani dia? aku masih harus pergi main Mahjong.”

Benar, dalam mata Astuti, membiarkan Eric tinggal di rumah sakit tidak lebih penting daripada bermain Mahjong.

Melihatnya, perawat juga tidak berani banyak bicara, lalu dia melepaskan jarum di tangan Eric.

Eric bangun dan hendak pergi.

Tiba-tiba Astuti melemparkan tongkat pada Eric dan mendengus, “Tongkatmu belum diambil, untuk apa buru-buru?”

Eric tertegun, lalu dia tersadarkan bahwa sekarang Astuti tidak tahu matanya sudah sembuh.

Sudut bibir Eric terangkat, dia mengambil tongkatnya dan mengikuti Astuti keluar dari bangsal.

Bangsal Eric berada di lantai tiga, serta memiiki lift, namun Astuti tidak menggunakan lift, melainkan menggunakan tangga.

Eric tersenyum dingin dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Astuti tampak terkejut.

Dulu ketika naik turun tangga di rumah, Eric selalu sangat lambat, bahkan terkadang juga akan terjatuh.

Namun hari ini Eric turun tangga dengan mulus sekali.

“Bahkan turun tangga juga sudah begitu lancar, ke depannya pun tidak perlu kami rawat lagi.”

Astuti menatap Eric dengan jengkel, lalu dia berjalan ke parkiran.

Ketika bertemu dengan sebuah lubang, tiba-tiba Astuti tersenyum dingin.

“Ke kiri sedikit, ada lubang di depan.”

Mendengarnya, Eric merasa kesal sekali.

Dasar keparat, lubang itu tepat ada di sebelah kiri.

Eric tersenyum dingin dalam hati, dia terus menggerakkan tongkatnya, berpura-pura sedang mencari jalan.

Astuti berjalan di depan, dalam hatinya bergairah sekali.

“Aduh.”

Tiba-tiba, kaki Astuti tersandung lalu dia jatuh duduk di permukaan lantai.

“ Eric, kamu buta ya?” Astuti menolehkan kepala pada Eric, wajahnya penuh dengan amarah.

Eric menahan tawa di dalam hati, tetapi dia berekspresi dengan gelisah, “Maaf, maaf.”

Astuti menatap Eric dengan jengkel, perlahan-lahan dia bangkit berdiri.

Eric mengangkat sudut bibir, lalu dia mengikuti Astuti naik ke dalam mobilnya.

Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah.

“Ibu, kamu sudah pulang?”

Begitu mereka masuk ke dalam, Eric melihat seorang gadis.

Gadis itu berusia sekitar 18 tahun, raut wajahnya cantik, kulitnya putih cerah, bibirnya kecil seperti buah ceri, hidungnya tampak manis, dan rambut panjangnya tergerai hingga ke pinggang.

Gadis itu mengenakan celana super pendek yang menampakkan kakinya yang lurus panjang.

Gadis ini bernama Nadia Abimanyu, adik ipar dari Eric.

Saat ini Nadia sudah melepaskan kancing celana super pendek, sepertinya hendak melepaskan celana.

Melihat Eric masuk, Nadia tertegun.

Astuti melambaikan tangan dan berkata tak acuh, “Tidak apa-apa, dia buta, lepaskan saja.”

Download APP, continue reading

Chapters

95