Bab 3 Berhenti Menangis

by Nietha_setiaji 20:20,Aug 05,2023
Berhenti Menangis





Aku menggendong Bintang, berusaha untuk menidurkannya karna pekerjaan rumah sudah menunggu. Menjadi pendongeng ulung, juga penyanyi berbakat. Aku menceritakan banyak hal, sambil mengelusnya yang mulai terlelap di pelukanku. Menyanyikan lagu dari yang sederhana hingga yang penuh makna karna aku pengarangnya sendiri, ya begitulah.



Aku kembali berdiri di depan kaca, sembari menggoyang goyangkan badan, berharap Bintang segera terlelap. Aku melihat ke arah diriku, bukanlah aku seburuk itu? rupanya aku belum bisa melupakan peristiwa tadi pagi. Tiba tiba air mataku menetes, dari ujung mata terdalam. Air mata yang penuh dengan arti, penuh dengan perasaan yang mendalam.



Aku mengusap air mata itu, mendongak ke atas, berharap gravitasi akan mengembalikan air mata itu ke tempat semula.

“Tidak, aku tidak seburuk itu, dulu bahkan menikahiku karna tergila gila,” gumamku dalam hati.



Aku mengingat masa itu, aku dan mas Hanung sekolah di SMA yang sama, lalu bersekolah di universitas yang sama. Dia mengambil jurusan akuntansi dan aku mengambil jurusan hukum. Mas Hanung adalah laki laki yang cukup populer, pandai, cakap, humoris dan juga memiliki visual yang cukup menawan. Tinggi, rajin berolahraga dan itu membuatnya memiliki otot alami yang terbentuk sempurna.



Kulitnya putih bersih, dengan wajah proporsional, hidung lumayan tinggi, mata tajam, alis tebal dan bibir tipis sedikit kemerahan. Bahkan beberapa orang menjuluki artis korea lokal, karna dia memang memiliki visual yang menawan.



Benar kata orang, laki laki itu seperti kelapa, semakin tua semakin keluar auranya, semakin bersantan, semakin matang, mapan dan mendukung visualnya yang semakin berkharisma. Dia menyukaiku sejak duduk dibangku SMA, mengejarku selama empat tahun, dan aku baru menerimanya ketika memasuki tahun kedua pendidikan di perguruan tinggi.



Dia mengejar ngejarku? Ya, karna saat SMA aku memiliki visual yang tidak kalah mempesona, juga otak yang cerdas di atas rata rata. Aku murid terpandai nomor tiga, setelah mengalahkan dua kutu buku dengan visual biasa saja. Karena itu beberapa orang menjulukiku bintang sekolah, cantik dan pintar.



Aku melihat mas Hanung begitu keras dalam mengejar cintanya, mendekatiku tanpa lelah, walau aku sering menolaknya dengan alasan ingin berkonsentrasi dalam belajar. Aku luluh, melihat ketulusannya, hingga kita menikah dan memiliki dua orang putra.



Aku sempat menjadi pengacara di sebuah firma hukum yang cukup terkenal, namun harus berhenti ketika hamil Adam, kehamilan yang membutuhkan perjuangan, karna aku harus istirahat total. Aku mengalami flek sejak awal kehamilan, karna itu dokter memintaku untuk bedrest total, sampai flek berhenti dan kehamilan sudah dinyatakan aman.



Demi kebaikan, aku rela melepaskan karir yang sedang berada di puncak, kembali pada kodrat, menjadi istri dan juga ibu. Keputusan itu juga merupakan keputusan bersama, setelah mempertimbangkan banyak hal. Aku setuju, mas Hanung setuju, juga keluarga.



Aku berusaha melupakan semuanya, masih meyakini bahwa mas Hanung masih begitu mencintaiku. Walaupun aku sudah menjadi ibu ibu, ibu dua anak, yang tidak sempat berdandan, tidak sempat merawat kulit, rambut dan wajah. Karena dia tahu, aku lebih mengutamakan keluarga. Mengurus mereka dari ujung rambut hingga kaki. Mengurus perut mereka, tidur mereka dan segala yang terjadi di dalam hidup mereka. Aku yakin mas Hanung tahu dan memahami itu.



“Din, din, din,” suara klakson motor tukang sayur yang seketika membuyarkan lamunanku. Suara klakson itu sudah seperti alarm yang seketika akan membuat semua ibu ibu berkumpul. Bintang yang tadinya sudah mulai terlelap terlihat membuka matanya. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, lalu mengulaskan senyum.

“Bintang, ayo kita belanja,” ucapku pada Bintang.

“Bintang mau makan apa? ayam? daging? udang, wah, mamah akan membuat makanan enak untuk Bintang,” ucapku lagi. Bintang menatapku, lalu seolah seperti menjawab dengan bahasa bayinya.



Aku segera meraih kerudung yang ada di atas kursi, memakainya, lalu segera keluar mengejar abang sayur yang biasanya berhenti di depan rumah bu RT.

“Good Morning dear,” sapa bu RT yang bernama Teja Arum.

Bu RT adalah salah satu ibu komplek yang cukup dekat denganku, dia baik dan sangat humoris. Ibu Rt selalu aktif dan bersemangat dengan tubuh tambunnya yang memiliki berat lebih dari sembilan puluh kilogram. Selalu ceria, dengan make up yang on point.  Dia selalu membawa alat tempur ke manapun dia berada, setiap ada kesempatan akan touch up make up untuk mempertahankan riasannya yang menurutku cukup sempurna.



Make up sempurna, simetris, proporsional, dengan bulu mata cetar dan lipstik merah sedikit terlihat namun masih dalam kategori warna natural.



Walau memiliki tubuh berisi, aku berani dan yakin mengatakan bahwa dia sangat cantik, wajahnya benar benar mempesona, apalagi keahliannya dalam memulas make up, dia layak menjadi kiblat ibu ibu komplek dalam urusan berdandan.

“Morning bu RT,” jawabku seraya tersenyum.

“How’s your day?” semoga selalu bahagia,” ucap bu RT, wanita yang usianya kurang lebih sama denganku, kita menyebutnya sepantaran.

“Tentu, setiap bertemu dengan bu RT, saya akan selalu bahagia,” ucapku yang masih mempertahankan senyum.

“Kenapa masih sepi, di mana ibu ibu yang lain?” tanya bu RT yang hanya melihat aku dan dia sendiri yang mendatangi abang tukang sayur.

“Mungkin belum datang bu RT,” ucapku.

“Wah, apa mereka terlalu sibuk mencuci baju sampai melupakan jadwal mengisi pasokan lemari pendingin?” gerutu bu RT.

“Apa yang kamu punya bang? aku akan membuat makanan istimewa hari ini,” tanya bu RT pada tukang sayur.

“Seperti yang bu RT pesan, sayuran segar yang mengandung culagen,” ucap abang sayur bernama bang Trimo. Abang sayur yang sangat ramah dan baik, dia sudah berumur lebih dari lima puluh tahun, bertubuh kurus dengan logat jawa yang lucu, sangat ramah sehingga semua ibu ibu komplek selalu setia membeli dagangannya.

“Collagen” ucap bu RT membenarkan kata yang diucapkan bang Trimo.

“Yes, collagen bu RT, ada brokoli, tomat, paprika,” ucap bang Trimo.

“Wah, i love it,” ucap bu RT dengan mata berbinar.

“Bu Hesti pasti mau belanja untuk Bintang ya, wah kamu beruntung Bintang, mamahmu sangat pintar membuat makanan, makanan pendamping asimu pasti luar biasa,” ucap bu RT seraya menggoda Bintang yang mulai tersenyum. Dia terlihat meloncat loncat kegirangan di dalam gendongan, dia memang selalu senang setiap kali bertemu dengan bu RT.

“Aku mau ikan salmon, tomat, bawang bombay, brokoli dan wortel ya bang,” ucap bu RT.

“Siap bu RT,” ucap bang Trimo seraya menggerakkan telapak tangannya mendekat ke arah pelipis, memberi hormat siap sedia.



Bu RT terlihat melirik ke arahku, lalu mendekat.

“Bu Hesti habis nangis ya?” tanya bu RT seraya berbisik. Aku hanya menjawabnya dengan senyum.

“Oh, i know, berantem sama suami?” tebak bu RT. Mendengar itu aku menjawab dengan menggelengkan kepala.

“Kenapa menangis, air matanya masih ada itu,” ucapnya. Dengan cepat aku mengusap air mata yang mungkin terlihat olehnya.

“Oh my God, benar benar habis menangis ya?” ucap bu RT menelisik. Aku menarik nafas panjang, lalu mengulaskan senyum.



Aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari bu RT, sepertinya dia adalah orang yang ahli dalam membaca wajah. Ada sesuatu yang tiba tiba melintas di kepala, sebuah ide yang selama ini hanya aku pikirkan tanpa pernah direalisasikan.

“Bu RT, mau ajari saya make up?” tanyaku.

“Make up? Oh of course, tentu saja. Bahkan saya bercita cita menjadi Beauty blogger, hanya saja belum ada kesempatan, Just a hobby” ucap bu RT seraya tersenyum.

“Sudah berniat merubah penampilan?” tanya bu RT. Mendengar itu aku mengangguk dengan yakin.

“Interesting! I’m so pround of you dear,” ucap bu RT dengan mata berbinar.

Download APP, continue reading

Chapters

45