Bab 4 Istri Istri Tangguh
by Nietha_setiaji
20:21,Aug 05,2023
Istri Istri Tangguh
Aku kembali ke rumah, bergegas menidurkan Bintang, dengan segenap kesabaran dan kasih, setelah setengah jam mengoyong ngoyongnya, menyanyikan banyak lagu, akhirnya putra kedua ini tidur.
Aku masuk ke dalam kamar tidur milik kedua putraku, dengan sangat pelan dan hati hati, berusaha tidak menimbulkan suara apapun, sedikitpun, aku meletakkannya ke dalam box bayi.
"Hust, hust, hust," suara itu terus saja aku ulang ulang. Entahlah dari mana asalnya, seolah seperti mantra, benar atau tidak mengenai efeknya, membuat anak kembali tidur ketika terbangun, aku tetap melakukannya. Anggaplah kebiasaan turun temurun, aku juga melakukan itu.
Ya, Bintang sudah tidur. Aku segera menyingsingkan lengan daster, bersiap untuk menghadapi pertempuran yang sebenarnya.
"Aku siap," ucapku dalam hati dengan ekspresi yang benar benar menjiwai.
Aku berjalan mengendap endap keluar dari kamar Bintang, mengumpulkan semua pakaian kotor dari kamar utama, yang berserakan di mana mana, juga yang digantung suamiku, semua aku angkut walaupun kadang dia mengatakan pakaian itu masih bersih.
Aku segera mengeksekusinya, menuangkan sabun cuci yang aku pilih berdasarkan kandungan juga keharumannya. Ini adalah pekerjaan yang sungguh membutuhkan dedikasi tinggi.
Sesekali aku menghentikan kegiatanku mencuci, ada rasa was was, khawatir Bintang akan mencariku. Aku kembali berjalan ke arah kamar anak anak, menengoknya dari kejauhan, syukurlah, dia masih terlelap. Sungguh jiwa ibu ibu ini instingnya luar biasa, tidak pernah tenang berjauhan dari anak, padahal masih dalam atas yang sama.
Setelah sekitar setengah jam, cucianku beres, tinggal mengeringkannya dan menjemur di bawah terik sinar matahari. Sayup sayup aku mendengar Bintang menangis, sepertinya dia terbangun.
Aku bergegas lari, mengalahkan pelari maraton. Sampai di depan pintu kamar anak anak, aku memelankan langkahku, kembali mengendap endap.
"Owalah, hanya perasaanku saja," gumamku.
Rupanya Bintang masih terlelap. Apa yang aku dengar tadi? wah, sepertinya pikiranku sudah mulai tidak waras, atau mungkin terlalu khawatir.
Bukan, bukan sudah tidak waras, tetapi sudah terlalu cinta pada anakku, ya, itu yang benar. Aku tersenyum, lalu berniat kembali ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Baru beberapa langkah, kau benar benar mendengar tangis Bintang. Aku menghela nafas panjang, lalu segera kembali masuk ke dalam kamar.
"Bintang sayang, sudah bangun ya, sayangnya mamah," ucapku pada Bintang yang benar benar bangun dari tidur siangnya.
Bintang merengek, menangis, aku berusaha menenangkannya, sekuat tenaga dan juga kesabaran.
Aku menggendong Bintang dengan jarik panjang, jarik batik, gendongan kuno, sungguh ini lebih nyaman dibanding gendongan modern jaman sekarang.
Sudah biasa, mengerjakan pekerjaan rumah sembari menggendong Bintang. Kali ini mengeringkan baju, juga menjemur baju, bukan masalah besar.
Aku terus saja berceloteh dengan Bintang, menceritakan mengenai banyak hal, saling melempar tawa dan senyum. Kuceritakan banyak hal, dia hanya menanggapi dengan bahasa bayi, ini membuatku lebih bahagia mengerjakan pekerjaan rumah, walaupun akan memberikan rasa sakit di punggung serta pundak, karena menggendong Bintang terlalu lama.
Aku harus bergegas, hari ini Adam pulang jam tiga sore. Aku harus segera memasak dan setelah itu melincur ke rumah bu RT, seperti yang sudah kita sepakati, janji untuk mengadakan sesi konsultasi mengenai make up juga kecantikan.
Aku harus mengolah bahan makanan yang sudah aku beli, untuk Adam, Bintang dan juga mas Hanung. Walaupun mas Hanung ada rapat dan pasti akan pulang terlambat, aku tetap harus menyiapkan makan malam untuknya.
Masak dengan menggendong Bintang, ah aku sudah ahli dibidang ini. Sudah sangat terbiasa dan walau terlihat berbahaya karna dia terlalu dekat dengan minyak dan api, tetapi aku sudah melakukannya dengan pengamanan ganda. Gendongan jarik ikatan ganda, topi rajut yang menutupi sebagian besar wajah, juga sarung kaki.
Ah, semua sudah selesai, akhirnya. Baju sudah dijemur, makanan sudah tersaji, sisanya akan aku pikirkan nanti. Aku segera bergegas menuju ke rumah bu RT.
***
“Assalamualaikum bu RT," sapaku ketika sudah berada di depan rumah bu RT, hanya sekitar lima blok, tidak jauh.
“Waalaikumsallam, bu Hesti, I'm honored to have you here, ayo masuk, masuk,” ucap bu RT yang menyambutku dengan senyum sumringah.
“Saya sudah menunggu ibu, ini sudah saya siapkan semuanya. Tenang saja, saya juga mengundang bu Anna, dia akan membantu menjaga Bintang, she is a wonderful wife," ucap bu RT.
Bu Anna adalah salah satu ibu komplek yang juga cukup dekat denganku. Pendatang dari salah satu kota yang ada di Jawa Tengah. Istri supir truk yang selalu ditinggal suaminya ke luar kota. Dalam satu bulan mungkin hanya sekitar tiga hari mereka bersama, namun hal itu justru begitu bu Anna syukuri.
Syukuri? ya, itu karena bu Anna memiliki suami yang ringan tangan.
“Permisi bu RT, Assalamualaikum,” ucap bu Anna yang sepertinya sudah datang.
“Waalaikumsallam,” ucapku juga bu Rt.
“Bu Hesti sudah di sini ya,” ucap bu Anna.
“Iya bu, tepat jam satu, kebetulan Adam ada acara di sekolah, mungkin akan pulang jam tiga nanti," ucapku.
“Wah iya, bu Hesti bisa menghabiskan waktu untuk diri sendiri,” ucap bu Anna.
“Iya bu sekali kali,” ucapku seraya tersenyum.
“Ayo ayo, kita masuk,” ucap bu RT yang mempersilahkan kami masuk. Rupanya bu RT juga sudah menyiapkan cemilan buatannya, rice paper roll, wah, ini adalah makanan sehat yang sangat viral itu.
"Bu RT membuatnya sendiri?" tanyaku.
"Ya, Vietnamese rice paper rolls, easy recipes," ucapnya seraya tersenyum.
Aku menatap ke arah bu Anna, wanita yang usianya beberapa tahun di atasku. Aku melihat goresan kebiruan itu masih menghiasi pipinya, itu adalah bekas tamparan yang dilayangkan suaminya tiga hari yang lalu.
“Pak Hasan sudah berangkat bu?” tanyaku pada bu Anna.
“Iya, sudah berangkat tadi pagi, Alhamdulillah,” ucap bu Anna dengan suara lembut.
“Wah, sepertinya bu Anna lebih suka pak Hasan tidak di rumah ya,” ucap bu RT.
“Bu-bukan begitu bu RT, ya bu RT tahu sendiri, ndak harus saya ceritakan,” ucap bu Anna seraya tersenyum, senyum yang mengandung kegetiran.
Pak Hasan adalah suami yang begitu ringan tangan, tak berat melayangkan tangan maupun kakinya untuk memukul tubuh kecil istrinya, hanya karna masalah kecil, sepele.
Setiap kali pulang, sebulan sekali, pasti akan ada luka baru, di tubuhnya, tubuh kurus itu, tubuh kurus bu Anna yang cukup mengenaskan untuk ukuran ibu rumah tangga dengan ekonomi yang cukup.
“Apa tidak apa apa bu, sepertinya memarnya cukup parah,” tanyaku khawatir seraya melihat ke arah pipinya.
“Tidak, saya sudah biasa,” ucap bu Anna seraya berusaha menutupi lebam biru di pipinya dengan kerudung warna hitam yang dikenakannya.
“Bu Anna benar benar wanita hebat, sabar sekali menghadapi suami seperti itu, kalau saya, sudah saya laporkan ke polisi, itu namanya KDRT bu, kekerasan dalam rumah tangga,” ucap bu RT dengan nada suara begitu yakin.
“Tidak apa apa bu, suami saya sebenarnya orang yang baik, dia sangat bertanggung jawab pada keluarga,” ucap bu Anna.
“Apa dia selalu menafkahi ibu dan anak anak?” tanya bu RT menelisik.
“Iya bu, selalu, dia tidak pernah melupakan tanggung jawabnya, menafkahi saya dan anak anak, sangat cukup. Dia juga sangat menyayangi ketiga anaknya,” ucap bu Anna.
Aku menghela nafas panjang, bu Anna seperti sudah begitu terbiasa dengan perlakuan pak Hasan, suaminya. Baginya itu adalah hal yang biasa saja selama suaminya masih memiliki tanggung jawab sebagai suami dan ayah.
Tetapi, menurutku itu sungguh sangat keterlaluan, dia dengan mudahnya memukul, menendang istrinya, seolah seperti samsak pasir yang menjadi pelampiasan amarah hanya karna hal kecil. Terkurung dalam penjara emas, mau pergi pun enggan, bertahan pun menyakitkan.
Bu Anna seperti memiliki ketakutan kehilangan suaminya, bukan keinginan untuk lepas. Apakah semua istri yang menjadi korban KDRT juga memiliki perasaan yang sama? Rasa bergantung, rasa takut kehilangan, daripada keinginan untuk melawan atau melepaskan.
Bagi orang yang tak pernah mengalami KDRT, cukup sulit untuk memahami mengapa kebanyakan korban KDRT masih mau tinggal bersama pasangannya yang abusive atau melakukan kekerasan. Aku tidak ingin menghakimi bu Anna, tidak juga terlalu memojokkannya. Dia selalu berpikir bahwa suaminya akan berubah suatu saat nanti, menjadi suami yang lembut dan penyayang.
“Bu Hesti, saya akan mengajari mengenai dasar dasar make up, oh iya, bay the way, apa yang membuat bu Hesti tiba tiba ingin merubah penampilan?” tanya bu RT seraya menatapku tajam.
Aku kembali ke rumah, bergegas menidurkan Bintang, dengan segenap kesabaran dan kasih, setelah setengah jam mengoyong ngoyongnya, menyanyikan banyak lagu, akhirnya putra kedua ini tidur.
Aku masuk ke dalam kamar tidur milik kedua putraku, dengan sangat pelan dan hati hati, berusaha tidak menimbulkan suara apapun, sedikitpun, aku meletakkannya ke dalam box bayi.
"Hust, hust, hust," suara itu terus saja aku ulang ulang. Entahlah dari mana asalnya, seolah seperti mantra, benar atau tidak mengenai efeknya, membuat anak kembali tidur ketika terbangun, aku tetap melakukannya. Anggaplah kebiasaan turun temurun, aku juga melakukan itu.
Ya, Bintang sudah tidur. Aku segera menyingsingkan lengan daster, bersiap untuk menghadapi pertempuran yang sebenarnya.
"Aku siap," ucapku dalam hati dengan ekspresi yang benar benar menjiwai.
Aku berjalan mengendap endap keluar dari kamar Bintang, mengumpulkan semua pakaian kotor dari kamar utama, yang berserakan di mana mana, juga yang digantung suamiku, semua aku angkut walaupun kadang dia mengatakan pakaian itu masih bersih.
Aku segera mengeksekusinya, menuangkan sabun cuci yang aku pilih berdasarkan kandungan juga keharumannya. Ini adalah pekerjaan yang sungguh membutuhkan dedikasi tinggi.
Sesekali aku menghentikan kegiatanku mencuci, ada rasa was was, khawatir Bintang akan mencariku. Aku kembali berjalan ke arah kamar anak anak, menengoknya dari kejauhan, syukurlah, dia masih terlelap. Sungguh jiwa ibu ibu ini instingnya luar biasa, tidak pernah tenang berjauhan dari anak, padahal masih dalam atas yang sama.
Setelah sekitar setengah jam, cucianku beres, tinggal mengeringkannya dan menjemur di bawah terik sinar matahari. Sayup sayup aku mendengar Bintang menangis, sepertinya dia terbangun.
Aku bergegas lari, mengalahkan pelari maraton. Sampai di depan pintu kamar anak anak, aku memelankan langkahku, kembali mengendap endap.
"Owalah, hanya perasaanku saja," gumamku.
Rupanya Bintang masih terlelap. Apa yang aku dengar tadi? wah, sepertinya pikiranku sudah mulai tidak waras, atau mungkin terlalu khawatir.
Bukan, bukan sudah tidak waras, tetapi sudah terlalu cinta pada anakku, ya, itu yang benar. Aku tersenyum, lalu berniat kembali ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Baru beberapa langkah, kau benar benar mendengar tangis Bintang. Aku menghela nafas panjang, lalu segera kembali masuk ke dalam kamar.
"Bintang sayang, sudah bangun ya, sayangnya mamah," ucapku pada Bintang yang benar benar bangun dari tidur siangnya.
Bintang merengek, menangis, aku berusaha menenangkannya, sekuat tenaga dan juga kesabaran.
Aku menggendong Bintang dengan jarik panjang, jarik batik, gendongan kuno, sungguh ini lebih nyaman dibanding gendongan modern jaman sekarang.
Sudah biasa, mengerjakan pekerjaan rumah sembari menggendong Bintang. Kali ini mengeringkan baju, juga menjemur baju, bukan masalah besar.
Aku terus saja berceloteh dengan Bintang, menceritakan mengenai banyak hal, saling melempar tawa dan senyum. Kuceritakan banyak hal, dia hanya menanggapi dengan bahasa bayi, ini membuatku lebih bahagia mengerjakan pekerjaan rumah, walaupun akan memberikan rasa sakit di punggung serta pundak, karena menggendong Bintang terlalu lama.
Aku harus bergegas, hari ini Adam pulang jam tiga sore. Aku harus segera memasak dan setelah itu melincur ke rumah bu RT, seperti yang sudah kita sepakati, janji untuk mengadakan sesi konsultasi mengenai make up juga kecantikan.
Aku harus mengolah bahan makanan yang sudah aku beli, untuk Adam, Bintang dan juga mas Hanung. Walaupun mas Hanung ada rapat dan pasti akan pulang terlambat, aku tetap harus menyiapkan makan malam untuknya.
Masak dengan menggendong Bintang, ah aku sudah ahli dibidang ini. Sudah sangat terbiasa dan walau terlihat berbahaya karna dia terlalu dekat dengan minyak dan api, tetapi aku sudah melakukannya dengan pengamanan ganda. Gendongan jarik ikatan ganda, topi rajut yang menutupi sebagian besar wajah, juga sarung kaki.
Ah, semua sudah selesai, akhirnya. Baju sudah dijemur, makanan sudah tersaji, sisanya akan aku pikirkan nanti. Aku segera bergegas menuju ke rumah bu RT.
***
“Assalamualaikum bu RT," sapaku ketika sudah berada di depan rumah bu RT, hanya sekitar lima blok, tidak jauh.
“Waalaikumsallam, bu Hesti, I'm honored to have you here, ayo masuk, masuk,” ucap bu RT yang menyambutku dengan senyum sumringah.
“Saya sudah menunggu ibu, ini sudah saya siapkan semuanya. Tenang saja, saya juga mengundang bu Anna, dia akan membantu menjaga Bintang, she is a wonderful wife," ucap bu RT.
Bu Anna adalah salah satu ibu komplek yang juga cukup dekat denganku. Pendatang dari salah satu kota yang ada di Jawa Tengah. Istri supir truk yang selalu ditinggal suaminya ke luar kota. Dalam satu bulan mungkin hanya sekitar tiga hari mereka bersama, namun hal itu justru begitu bu Anna syukuri.
Syukuri? ya, itu karena bu Anna memiliki suami yang ringan tangan.
“Permisi bu RT, Assalamualaikum,” ucap bu Anna yang sepertinya sudah datang.
“Waalaikumsallam,” ucapku juga bu Rt.
“Bu Hesti sudah di sini ya,” ucap bu Anna.
“Iya bu, tepat jam satu, kebetulan Adam ada acara di sekolah, mungkin akan pulang jam tiga nanti," ucapku.
“Wah iya, bu Hesti bisa menghabiskan waktu untuk diri sendiri,” ucap bu Anna.
“Iya bu sekali kali,” ucapku seraya tersenyum.
“Ayo ayo, kita masuk,” ucap bu RT yang mempersilahkan kami masuk. Rupanya bu RT juga sudah menyiapkan cemilan buatannya, rice paper roll, wah, ini adalah makanan sehat yang sangat viral itu.
"Bu RT membuatnya sendiri?" tanyaku.
"Ya, Vietnamese rice paper rolls, easy recipes," ucapnya seraya tersenyum.
Aku menatap ke arah bu Anna, wanita yang usianya beberapa tahun di atasku. Aku melihat goresan kebiruan itu masih menghiasi pipinya, itu adalah bekas tamparan yang dilayangkan suaminya tiga hari yang lalu.
“Pak Hasan sudah berangkat bu?” tanyaku pada bu Anna.
“Iya, sudah berangkat tadi pagi, Alhamdulillah,” ucap bu Anna dengan suara lembut.
“Wah, sepertinya bu Anna lebih suka pak Hasan tidak di rumah ya,” ucap bu RT.
“Bu-bukan begitu bu RT, ya bu RT tahu sendiri, ndak harus saya ceritakan,” ucap bu Anna seraya tersenyum, senyum yang mengandung kegetiran.
Pak Hasan adalah suami yang begitu ringan tangan, tak berat melayangkan tangan maupun kakinya untuk memukul tubuh kecil istrinya, hanya karna masalah kecil, sepele.
Setiap kali pulang, sebulan sekali, pasti akan ada luka baru, di tubuhnya, tubuh kurus itu, tubuh kurus bu Anna yang cukup mengenaskan untuk ukuran ibu rumah tangga dengan ekonomi yang cukup.
“Apa tidak apa apa bu, sepertinya memarnya cukup parah,” tanyaku khawatir seraya melihat ke arah pipinya.
“Tidak, saya sudah biasa,” ucap bu Anna seraya berusaha menutupi lebam biru di pipinya dengan kerudung warna hitam yang dikenakannya.
“Bu Anna benar benar wanita hebat, sabar sekali menghadapi suami seperti itu, kalau saya, sudah saya laporkan ke polisi, itu namanya KDRT bu, kekerasan dalam rumah tangga,” ucap bu RT dengan nada suara begitu yakin.
“Tidak apa apa bu, suami saya sebenarnya orang yang baik, dia sangat bertanggung jawab pada keluarga,” ucap bu Anna.
“Apa dia selalu menafkahi ibu dan anak anak?” tanya bu RT menelisik.
“Iya bu, selalu, dia tidak pernah melupakan tanggung jawabnya, menafkahi saya dan anak anak, sangat cukup. Dia juga sangat menyayangi ketiga anaknya,” ucap bu Anna.
Aku menghela nafas panjang, bu Anna seperti sudah begitu terbiasa dengan perlakuan pak Hasan, suaminya. Baginya itu adalah hal yang biasa saja selama suaminya masih memiliki tanggung jawab sebagai suami dan ayah.
Tetapi, menurutku itu sungguh sangat keterlaluan, dia dengan mudahnya memukul, menendang istrinya, seolah seperti samsak pasir yang menjadi pelampiasan amarah hanya karna hal kecil. Terkurung dalam penjara emas, mau pergi pun enggan, bertahan pun menyakitkan.
Bu Anna seperti memiliki ketakutan kehilangan suaminya, bukan keinginan untuk lepas. Apakah semua istri yang menjadi korban KDRT juga memiliki perasaan yang sama? Rasa bergantung, rasa takut kehilangan, daripada keinginan untuk melawan atau melepaskan.
Bagi orang yang tak pernah mengalami KDRT, cukup sulit untuk memahami mengapa kebanyakan korban KDRT masih mau tinggal bersama pasangannya yang abusive atau melakukan kekerasan. Aku tidak ingin menghakimi bu Anna, tidak juga terlalu memojokkannya. Dia selalu berpikir bahwa suaminya akan berubah suatu saat nanti, menjadi suami yang lembut dan penyayang.
“Bu Hesti, saya akan mengajari mengenai dasar dasar make up, oh iya, bay the way, apa yang membuat bu Hesti tiba tiba ingin merubah penampilan?” tanya bu RT seraya menatapku tajam.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved