Bab 8 Nama Itu Sudah Berubah
by Nietha_setiaji
20:32,Aug 05,2023
Nama Itu Sudah Berubah
Aku menyiapkan makan malam untuk mas Hanung, sepiring nasi, teh hangat, semangkuk garang asem gentong kesukaannya. Aku tahu, walaupun dia kenyang, dia tidak akan bisa menolak jika aku menyuguhkan makanan kesukaannya.
Mas Hanung menghampiriku dengan rambut basah acak acakan dan handuk di tangan, mengusap rambutnya yang masih basah karena baru keluar dari kamar mandi.
“Wah, aku bisa gemuk mah, ini pasti enak sekali,” ucap mas Hanung dengan mata berbinar.
“Tidak apa apa, aku tetap cinta,” ucapku.
“Wah tapi tetap saja mah, kan aku kerja di perusahaan kosmetik, tidak mungkin tidak memperhatikan penampilan,” ucap mas Hanung.
“Kan papa akunting, bukan karyawan dibagian yang harus tampil dengan visual sempurna, memangnya papah brand ambasador?” ucapku.
“Ya, bukan begitu mah, penampilan juga penting,” ucap mas Hanung.
“Jadi ini dimakan atau tidak?” ucapku sedikit kesal seraya berdiri, seolah bersiap untuk mengambil piring dan mangkuk yang aku sajikan.
“Eh ya iya dong, mana bisa papah menolak makanan seenak ini,” ucap mas Hanung yang kemudian segera menarik kursi untuk duduk. Aku sedikit mengulaskan senyum, namun berusaha aku sembunyikan.
“Mah, mau dapet ya?” tanya mas Hanung.
“Dapet?” tanyaku.
“Ya, tapi sepertinya baru minggu kemarin,” ucap mas Hanung.
“Tidak, masih lama,” ucapku.
“Kenapa sensitif seperti itu?” tanya mas Hanung yang sudah duduk di depan makanannya. Aku terdiam, wah, sepertinya dia memang benar benar tidak mengerti dengan apa yang aku maksudkan dan inginkan. Apa aku harus berteriak dulu, meenjelaskan dulu.
“Mas, aku sudah berdandan untukmu, pujilah.”
“Mas, aku sudah berusaha cantik, wangi, apa kamu tidak menyadarinya.”
"Aku mempertahankan make up ini, bahkan setelah terguyur air wudhu berkali kali, menatanya lagi, semampuku, tidakkah ada sedikit saja penghargaan."
“Mas aku sudah berusaha membuatmu nyaman, apa tidak ada sebuah pelukan atau ucapan terimakasih.”
Kira kira itulah, tapi aku berusaha menahannya, tidak ingin ada pertengkaran yang lebih lanjuit hanya karna perasaanku sendiri.
“Ti-tidak apa apa, mungkin lelah saja,” ucapku.
“Apa Adam dan Bintang rewel?” tanya mas Hanung.
“Ti-tidak, mereka sangat manis,” ucapku.
“Oh, begitu” ucap mas Hanung yang sepertinya juga menyimpan sesuatu untuk disampaikan.
***
Di kantor, pagi tadi, Hanung terlihat memeriksa ponselnya.
“Panggilan masuk?” gumamnya.
“Si buruk rupa,” ucapnya dengan mata bulat penuh dan juga keringat dingin yang mulai terbentuk.
Hanung ingat, dia mengganti nama di kontak istrinya karna sempat terlibat perselisihan kecil dengan istrinya dan dia begitu kesal. Dia melampiaskan kekesalan itu dengan cara mengganti nama istrinya dengan si buruk rupa. Dia lupa mengganti nama itu, karna nama di kontak watshapnya sudah diganti dengan nama yang berbeda dengan kontak telephone.
“Menyusahkan sekali,” ucap Hanung yang kemudian segera merubah nama kontak itu.
“Ada apa Hanung?” tanya Tania yang mendekat ke arahnya.
“Ti-tidak apa apa,” ucap Hanung yang terlihat menyembunyikan ponselnya.
“Masalah keluarga?” tanya Tania.
“Ya, begitulah,” ucap Hanung.
“Oh iya, rapat dibatalkan, tapi aku sudah terlanjut melakukan reservasi, bagaimana kalau kita makan malam bersama?” tanya Tania.
“Hanya kita berdua?” tanya Hanung.
“Ti-tidak, ada pak Hengki juga,” ucap Tania.
“Baiklah,” ucap Hanung.
***
“Makanlah,” ucapku.
“I-iya, pasti enak sekali,” ucap mas Hanung.
“Bagaimana rapatnya tadi?” tanyaku.
“Ba-baik, lancar,” ucap mas Hanung.
“Di kantor atau di luar kantor?” tanyaku.
“Di luar kantor,” jawan mas Hanung.
“Siapa saja yang datang?” tanyaku.
“Seperti biasa, tim keuangan,” ucap mas Hanung.
“Aku boleh makan?” tanya mas Hanung.
“Ya, tentu saja, silahkan, aku membuatnya untukmu,” ucapku seraya menggerak gerakkan bibir ke kiri dan ke kanan, namun sama sekali tidak ingin menunjukkannya pada mas Hanung.
“Kamu sedang kesal?” tanya mas Hanung.
“Aku? ti-tdak, untu apa kesal,” ucapku.
“Baguslah kalau begitu, oh iya bisa minta tolong carikan ponselku? Mungkin di dalam tas, atau di kamar mandi, atau di sofa, hubungi saja,” pinta mas Hanung.
“Baiklah,” ucapku yang segera beranjak dari kursi, mulai mencari ponsel itu dengan perasaan malas.
“Baiklah si buruk rupa akan menghbuungimu wahai ponsel,” ucapku lesu.
Aku mengambil ponselku, lalu menghubungi nomor mas Hanung. Beberapa detik setelahnya suara ponsel berbunyi, rupanya ponsel itu adaa di kursi sofa tengah.
“Ah, harusnya ada remot di ponselmu,” ucapku kesal.
Aku mengambil ponsel itu, dan melihat ada panggilan masuk bertuliskan “My Wife Tercinta”. Aku melihat nama itu dengan pandangan bulat penuh.
“My Wife Tercinta? Apa mas Hanung memiliki istri lagi?” ucapku dalam hati. Aku megusap usap mataku, mungkin aku salah lihat, namun nama itu tetap sama.
Dengan gugup aku segera membuka ponsel mas Hanung, ponsel yang terkunci dengan pola yang cukup rumit, namun aku berhasil menghafalnya. Aku melihat kontak dengan nama “My Wife Tercinta”. Nomornya sama dengan nomorku, berkali kali aku sudah memastikan. Apa aku salah lihat? jelas jelas tadi pagi aku melihat nama “si buruk rupa”. Aku sudah tidak bisa melihat dengan jelas? Atau hanya pemikiran bodoh? Atau aku, ah aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Mah, sudah ketemu?” teriak mas Hanung dari ruang makan.
“I-Iya mas sudah,” ucapku gugup yang kemudian segera menyerahkan ponsel itu kepada mas Hanung.
“Terimakasih ya mah,” ucap mas Hanung seraya tersenyum.
“I-iya,” jawabku yang kemudian segera membereskan bekas makan mas Hanung.
***
Dari jauh Hanung melirik ke arah istrinya, mengulaskan senyum puas karna sudah berhasil meredakan salah satu penyebab kejutekan istrinya, itu yang dia pikirkan. Walau sebenarnya bukan hanya itu, Hesti tidak hanya kesal dengan nama menyebalkan di ponsel suaminya, melainkan juga respon pasif suaminya terhadap usahanya untuk terlihat cantik, tampil mempesona, walaupun dia harus emmpertahankan riasan sejak siang tadi.
Hesti mencuci piring dengan perasaan bingung, masih memahami keadaan, menerka nerka, apa mungkin dia memang salah melihat. Tapi sepertinya tidak mungkin, nama itu benar benar terbaca si buruk rupa, dia belum mengalami kerabunan, kedua matanya masih sehat, ingatannya masih normal.
“My Wife Tercinta, yang benar saja,” gumamnya lirih, sangat lirih hingga hanya dia sendiri yang mendengarnya.
HAnung tiba tiba mendekat, memeluk istrinya dari belakang, istrinya yang sibuk mencuci alat makan yang tadi dia gunakan.
“Kenapa wangi sekali,” ucap Hanung seraya menghirup wangi dari leher istrinya.
“Kau habis mandi?” tanya hanung.
“Apa biasanya tidak wangi?” tanya Hesti.
“Bu-bukan begitu,” ucap Hanung.
“Anak anak sudah tidur?” tanya Hanung.
“Su-sudah,” ucap Hesti. Tiba tiba jantung Hesti berdegup dengan begitu kencang, seperti ingin melompat dari tubuhnya.
“Aku tunggu di kamar, jangan lama lama,” ucap Hanung yang kemudian melepaskan pelukan itu. Dia terlihat berjalan ke arah kamar.
***
“Apa ini tadi?” ucapku lirih, bertanya pada diri sendiri.
“Mas Hanung memelukku? Tumben sekali, biasanya tidak pernah seperti itu, apa jangnan jangnan karna make up ini? wah bu RT memang memiliki tangan ajaib,” ucapku dalam hati.
Akuk menekan dadaku, wah derunya begitu luar biasa, padahal kita sudah menikah hampir delapan tahun. Kenapa masih merasa grogi, gugup, setiap kali akan mengadakan ritual malam, oh.
Seketika rasa marah dan kesal di dalam hatiku lenyap, terbang entah ke mana, aku tidak tahu. Yang jelas, pelukan kekejab itu membuat hatiku luluh. Aku benar benar terlena dan terbuai, tidak lagi mengingnat apapun. Baju Haram? Wah, aku belum membelinya, coba aku sudah membelinya, pasti akan aku kenakan.
Aku menyiapkan makan malam untuk mas Hanung, sepiring nasi, teh hangat, semangkuk garang asem gentong kesukaannya. Aku tahu, walaupun dia kenyang, dia tidak akan bisa menolak jika aku menyuguhkan makanan kesukaannya.
Mas Hanung menghampiriku dengan rambut basah acak acakan dan handuk di tangan, mengusap rambutnya yang masih basah karena baru keluar dari kamar mandi.
“Wah, aku bisa gemuk mah, ini pasti enak sekali,” ucap mas Hanung dengan mata berbinar.
“Tidak apa apa, aku tetap cinta,” ucapku.
“Wah tapi tetap saja mah, kan aku kerja di perusahaan kosmetik, tidak mungkin tidak memperhatikan penampilan,” ucap mas Hanung.
“Kan papa akunting, bukan karyawan dibagian yang harus tampil dengan visual sempurna, memangnya papah brand ambasador?” ucapku.
“Ya, bukan begitu mah, penampilan juga penting,” ucap mas Hanung.
“Jadi ini dimakan atau tidak?” ucapku sedikit kesal seraya berdiri, seolah bersiap untuk mengambil piring dan mangkuk yang aku sajikan.
“Eh ya iya dong, mana bisa papah menolak makanan seenak ini,” ucap mas Hanung yang kemudian segera menarik kursi untuk duduk. Aku sedikit mengulaskan senyum, namun berusaha aku sembunyikan.
“Mah, mau dapet ya?” tanya mas Hanung.
“Dapet?” tanyaku.
“Ya, tapi sepertinya baru minggu kemarin,” ucap mas Hanung.
“Tidak, masih lama,” ucapku.
“Kenapa sensitif seperti itu?” tanya mas Hanung yang sudah duduk di depan makanannya. Aku terdiam, wah, sepertinya dia memang benar benar tidak mengerti dengan apa yang aku maksudkan dan inginkan. Apa aku harus berteriak dulu, meenjelaskan dulu.
“Mas, aku sudah berdandan untukmu, pujilah.”
“Mas, aku sudah berusaha cantik, wangi, apa kamu tidak menyadarinya.”
"Aku mempertahankan make up ini, bahkan setelah terguyur air wudhu berkali kali, menatanya lagi, semampuku, tidakkah ada sedikit saja penghargaan."
“Mas aku sudah berusaha membuatmu nyaman, apa tidak ada sebuah pelukan atau ucapan terimakasih.”
Kira kira itulah, tapi aku berusaha menahannya, tidak ingin ada pertengkaran yang lebih lanjuit hanya karna perasaanku sendiri.
“Ti-tidak apa apa, mungkin lelah saja,” ucapku.
“Apa Adam dan Bintang rewel?” tanya mas Hanung.
“Ti-tidak, mereka sangat manis,” ucapku.
“Oh, begitu” ucap mas Hanung yang sepertinya juga menyimpan sesuatu untuk disampaikan.
***
Di kantor, pagi tadi, Hanung terlihat memeriksa ponselnya.
“Panggilan masuk?” gumamnya.
“Si buruk rupa,” ucapnya dengan mata bulat penuh dan juga keringat dingin yang mulai terbentuk.
Hanung ingat, dia mengganti nama di kontak istrinya karna sempat terlibat perselisihan kecil dengan istrinya dan dia begitu kesal. Dia melampiaskan kekesalan itu dengan cara mengganti nama istrinya dengan si buruk rupa. Dia lupa mengganti nama itu, karna nama di kontak watshapnya sudah diganti dengan nama yang berbeda dengan kontak telephone.
“Menyusahkan sekali,” ucap Hanung yang kemudian segera merubah nama kontak itu.
“Ada apa Hanung?” tanya Tania yang mendekat ke arahnya.
“Ti-tidak apa apa,” ucap Hanung yang terlihat menyembunyikan ponselnya.
“Masalah keluarga?” tanya Tania.
“Ya, begitulah,” ucap Hanung.
“Oh iya, rapat dibatalkan, tapi aku sudah terlanjut melakukan reservasi, bagaimana kalau kita makan malam bersama?” tanya Tania.
“Hanya kita berdua?” tanya Hanung.
“Ti-tidak, ada pak Hengki juga,” ucap Tania.
“Baiklah,” ucap Hanung.
***
“Makanlah,” ucapku.
“I-iya, pasti enak sekali,” ucap mas Hanung.
“Bagaimana rapatnya tadi?” tanyaku.
“Ba-baik, lancar,” ucap mas Hanung.
“Di kantor atau di luar kantor?” tanyaku.
“Di luar kantor,” jawan mas Hanung.
“Siapa saja yang datang?” tanyaku.
“Seperti biasa, tim keuangan,” ucap mas Hanung.
“Aku boleh makan?” tanya mas Hanung.
“Ya, tentu saja, silahkan, aku membuatnya untukmu,” ucapku seraya menggerak gerakkan bibir ke kiri dan ke kanan, namun sama sekali tidak ingin menunjukkannya pada mas Hanung.
“Kamu sedang kesal?” tanya mas Hanung.
“Aku? ti-tdak, untu apa kesal,” ucapku.
“Baguslah kalau begitu, oh iya bisa minta tolong carikan ponselku? Mungkin di dalam tas, atau di kamar mandi, atau di sofa, hubungi saja,” pinta mas Hanung.
“Baiklah,” ucapku yang segera beranjak dari kursi, mulai mencari ponsel itu dengan perasaan malas.
“Baiklah si buruk rupa akan menghbuungimu wahai ponsel,” ucapku lesu.
Aku mengambil ponselku, lalu menghubungi nomor mas Hanung. Beberapa detik setelahnya suara ponsel berbunyi, rupanya ponsel itu adaa di kursi sofa tengah.
“Ah, harusnya ada remot di ponselmu,” ucapku kesal.
Aku mengambil ponsel itu, dan melihat ada panggilan masuk bertuliskan “My Wife Tercinta”. Aku melihat nama itu dengan pandangan bulat penuh.
“My Wife Tercinta? Apa mas Hanung memiliki istri lagi?” ucapku dalam hati. Aku megusap usap mataku, mungkin aku salah lihat, namun nama itu tetap sama.
Dengan gugup aku segera membuka ponsel mas Hanung, ponsel yang terkunci dengan pola yang cukup rumit, namun aku berhasil menghafalnya. Aku melihat kontak dengan nama “My Wife Tercinta”. Nomornya sama dengan nomorku, berkali kali aku sudah memastikan. Apa aku salah lihat? jelas jelas tadi pagi aku melihat nama “si buruk rupa”. Aku sudah tidak bisa melihat dengan jelas? Atau hanya pemikiran bodoh? Atau aku, ah aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Mah, sudah ketemu?” teriak mas Hanung dari ruang makan.
“I-Iya mas sudah,” ucapku gugup yang kemudian segera menyerahkan ponsel itu kepada mas Hanung.
“Terimakasih ya mah,” ucap mas Hanung seraya tersenyum.
“I-iya,” jawabku yang kemudian segera membereskan bekas makan mas Hanung.
***
Dari jauh Hanung melirik ke arah istrinya, mengulaskan senyum puas karna sudah berhasil meredakan salah satu penyebab kejutekan istrinya, itu yang dia pikirkan. Walau sebenarnya bukan hanya itu, Hesti tidak hanya kesal dengan nama menyebalkan di ponsel suaminya, melainkan juga respon pasif suaminya terhadap usahanya untuk terlihat cantik, tampil mempesona, walaupun dia harus emmpertahankan riasan sejak siang tadi.
Hesti mencuci piring dengan perasaan bingung, masih memahami keadaan, menerka nerka, apa mungkin dia memang salah melihat. Tapi sepertinya tidak mungkin, nama itu benar benar terbaca si buruk rupa, dia belum mengalami kerabunan, kedua matanya masih sehat, ingatannya masih normal.
“My Wife Tercinta, yang benar saja,” gumamnya lirih, sangat lirih hingga hanya dia sendiri yang mendengarnya.
HAnung tiba tiba mendekat, memeluk istrinya dari belakang, istrinya yang sibuk mencuci alat makan yang tadi dia gunakan.
“Kenapa wangi sekali,” ucap Hanung seraya menghirup wangi dari leher istrinya.
“Kau habis mandi?” tanya hanung.
“Apa biasanya tidak wangi?” tanya Hesti.
“Bu-bukan begitu,” ucap Hanung.
“Anak anak sudah tidur?” tanya Hanung.
“Su-sudah,” ucap Hesti. Tiba tiba jantung Hesti berdegup dengan begitu kencang, seperti ingin melompat dari tubuhnya.
“Aku tunggu di kamar, jangan lama lama,” ucap Hanung yang kemudian melepaskan pelukan itu. Dia terlihat berjalan ke arah kamar.
***
“Apa ini tadi?” ucapku lirih, bertanya pada diri sendiri.
“Mas Hanung memelukku? Tumben sekali, biasanya tidak pernah seperti itu, apa jangnan jangnan karna make up ini? wah bu RT memang memiliki tangan ajaib,” ucapku dalam hati.
Akuk menekan dadaku, wah derunya begitu luar biasa, padahal kita sudah menikah hampir delapan tahun. Kenapa masih merasa grogi, gugup, setiap kali akan mengadakan ritual malam, oh.
Seketika rasa marah dan kesal di dalam hatiku lenyap, terbang entah ke mana, aku tidak tahu. Yang jelas, pelukan kekejab itu membuat hatiku luluh. Aku benar benar terlena dan terbuai, tidak lagi mengingnat apapun. Baju Haram? Wah, aku belum membelinya, coba aku sudah membelinya, pasti akan aku kenakan.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved