Bab 7 Kejamnya Realita

by Nietha_setiaji 20:30,Aug 05,2023
Kejamnya Realita




Aku sudah membersihkan rumah, mengepel, merapikan semua sisi dan menyelesaikan masakan. Kedua anakku juga sudah mandi, sudah wangi, perut mereka juga sudah terisi. Aku bersiap untuk berubah menjadi guru les, ya, Adam selalu belajar minimal setengah jam setiap hari, mengulang apa yang sudah gurunya ajarkan di sekolah. Ah, pelajaran anak TK, masih bisa aku atasilah, mengenal angka, huruf, membaca, berhitung sederhana, bercerita. Mungkin yang sedikit membuatku repot adalah harus membantu Adam belajar juga menenangkan si kecil yang terus saja mengganggu abangnya.



Bintang yang duduk di samping Adam terlihat begitu usil, merebut pensil juga menarik buku yang sedang dibaca Adam. Tidak butuh waktu lama, perang pun terjadi, mereka saling berebut, menarik dan akhirnya akan ada yang menangis. Padahal aku sudah menyiapkan perlengkapan tempur yang sama, buku yang sama, walaupun Bintang belum mengerti, aku tetap memberikannya, dibawah pengawasanku. Ah, mungkin bagi anak anak, milik saudaranya lebih menarik, aku harus mengajarkan mereka mensyukuri apa yang mereka miliki, ya, perlahan.

“Abang, adek masih kecil, masih bayi, abang harus nga (ngalah),” aku menghentikan ucapanku, tidak adil baginya untuk selalu mengalah demi adiknya padahal itu adalah miliknya.

“Adek pinjam ya bang Adam, abang kan sayang adek,” ucapku.

“Adek bau iler,” ucap Adam. Mendengar itu aku tersenyum, Bintang memang suka menempelkan barang milik Adam ke mulutnya, alhasil barang itu akan penuh dengan liur, entah buku, mainan dan yang lainnya.

“Iya, iya, maaf ya,” ucapku.



Aku segera menggendong Bintang, menenangkannya, lalu kembali membantu Adam belajar, begitu seterusnya sampai adam selesai belajar.



Jam setengah sembilan malam, aku menghela nafas panjang, Adam dan Bintang akhirnya tidur. Aku segera menuju ke arah kaca besar di ruang tengah.

“Masih aman,” bisikku ketika melihat make up yang menghiasi wajahku masih terlihat rapi.

“Yang benar saja aku harus tetap memakai make up ini sampai mas Hanung pulang,” ucapku.



Aku kembali mengingat aktivitas sore tadi, sewaktu mandi, aku mengikat rambutku, hanya membasuh bagian tubuh tanpa mengguyur wajah. Wah, mandi apa ini, aku hanya ingin mempertahankan riasanku. Mungkin beberapa pertemuan lagi aku akan bisa merias wajah seperti ini, bersyukur memiliki mentor yang ahli seperti bu RT.



Mandi bersama dengan kedua putraku, adalah hal yang biasa. Bintang di ember mandinya dengan mainan mainannya, Adam di dalam bathtub juga dengan mainannya, aku berdiri sambil mengawasi mereka. Mandi kilat, supaya aku bisa segera memandikan Adam dan Bintang. Aku melilitkan handuk ke tubuhku, lalu menggendong kedua anak laki laki ini di kanan dan kiri. Wah, luar biasa, aku pun tidak bisa membayangkannya, kecuali menjalaninya sendiri.

“Mamah cantik,” ucap Adam.

“Terimakasih Adam,” ucapku yang kemudian meletakkan Adam di tempat tidur, juga Bintang, lalu segera mengambil baju ganti yang sudah aku siapkan.



Sesekali aku memegang pinggangku, ah masih aman, sedikit nyeri, biasalah mereka berdua tidak mau bergantian, semuanya mau sama sama, berbarengan. Ada saatnya juga aku mandi sendiri, ketika mereka bisa dikondisikan untuk main bersama tanpa saling berebut mainan, atau ketika Bintang tidur, Adam bisa mandi bersamaku atau bermain dengan mainannya.



Dulu aku pikir, memiliki adik di usia lima tahun akan lebih memudahkanku, rupanya ini juga menjadi tantangan luar biasa. Sekarang Adam sudah berusia enam tahun, tepatnya enam tahun kurang tiga bulan, belum genap lah. Adam kadang menunjukkan sikap tidak ingin digantikan posisinya, atau cemburu dengan perhatian yang aku dan mas Hanung berikan kepada Bintang. Aku memahaminya, dulu adam sendiri, sekarang dia harus terbiasa berbagi, dalam segala hal, apapun.



Aku mencium dasterku, wah, padahal aku sudah mandi tetapi tetap saja ada bau bau aneh. Masakan, bubur bayi, minuman dan sebagainya. Aku segera merapikan mainan mainan Adam dan Bintang. Semua harus kembali bersih sebelum mas Hanung pulang, itu selalu menjadi misi untukku. Kasihan sekali jika dia harus melihat rumah yang berantakan padahal dirinya pulang dalam keadaan lelah sehabis bekerja.



“Selesai,” bisikku, dengan sapu dan lap di kedua tangan. Aku segera mengganti baju dasterku dan bersiap menunggu mas Hanung pulang.



Aku mondar mandir di dalam rumah, tumben sekali sudah jam sembilan dan mas Hanung belum sampai di rumah. Apa mungkin rapatnya berlangsung lebih lama? Mungkin karna rapat menjelang weekend.



Beberapa menit setelah itu, aku mendengar mas Hanung membuka pintu pagar depan dan memasukkan mobil.

“Ah, dia sudah pulang,” bisikku dengan wajah berbinar.

Aku sudah bersiap menyambut mas Hanung, di depan pintu.

“Assalamualaikum,” ucap salam mas Hanung.

“Waalaikumsallam,” jawabku.

“Selamat malam mas,” lanjutku, dengan suara yang sangat manis.

“Malam mah, anak anak sudah tidur?” ucap mas Hanung seraya mengulurkan tangannya untuk aku cium.

“Ya, baru saja,” ucapku singkat. Aku ambil tas kerjanya, aku bawakan masuk ke dalam.



Aku meliriknya, bukankah dia melihat aku yang sudah cantik dengan dandanan? Kenapa tidak ada komentar? Kesal sekali rasanya.

“Mas, apa tidak ada yang mau kamu ucapkan?” tanyaku.

“Ucapkan? Oh iya mah,” ucap mas Hanung, mendengar itu aku langsung menunjukkan ekspresi berbinar, senang.

“Akuk sudah makan mah, masih kenyang, jadi aku akan mandi dan segera tidur. Besok aku libur, apa kau mau belanja ke supermarket?” tanya mas Hanung. Mendengar itu aku kembali lesu, aku berusaha mendekat, lalu menunjukkan wajah ku secara terbuka.

“Apa dia tidak melihatnya? Wah,” ucapku di dalam hati, kesal.

“Ada apa mah?” tanya mas Hanung.

“Ti-tidak apa apa,” ucapku. Mas Hanung terlihat mulai melihat ke arahku.

“Mamah habis ke kondangan? Atau ada rapat RT?” tanya mas Hanung.

“Cantik?” tanyaku dengan mata bulat penuh.

“I-iya,” ucap mas Hanung yang terlihat menjawab karna terintimidasi dengan tatapanku.



Apa mungkin karna akku tidak pernah berdandan di rumah, jadi dia akan mengira aku selesai menghadiri acara. Ah, benar benar tidak peka, harusnya dia sedikit memahami perasaan istrinya.



Ekspektasiku, dia akan turun dari mobil, melihatku dengan mata berbinar.

“Wah, istriku cantik sekali,” ucapnya, atau.

“Mamah cantik, istriku, kamu cantik hari ini,” ucapnya seraya menjatuhkan pelukan dan kecupan di kening. Atau adegan seperti di drama drama, dia datang dengan mata berbinar, memelukku, mencium pipiku dan langsung membopong tubuhku, membawanya ke kamar, ah tapi kan pasti berat, sudah mulai bengkak di mana mana.



Ah, gila, pikiran yang hanya berupa khayalan, realitanya tidak seperti itu, laki laki akan teguh dengan sikap acuh tak acuhnya. Ah, kesal sekali, harusnya sedikit saja belajar menggombali istri, atau jika perlu ada kelas belajar untuk suami, bagaimana cara membuat istri bahagia walaupun hanya dengan kata kata, ya itu sepertinya perlu.



“Aku sudah membuat garang asem gentong, apa kau tidak mau memakannya?” ucapku sedikit ketus, namun tetap berusaha aku tahan. Suara ketus, wajah mulai tidak berhias senyuman, mata tidak lagi fokus, harusnya dia tahu istrinya sedang kurang baik baik saja.

“Wah, itu makanan kesukaan papah, mau mau,” ucapnya dengan mata berbinar, padahal tadi dia menyampaikan jika perutnya sudah terisi dan masih kenyang.

Download APP, continue reading

Chapters

45