Bab 3 Menyerahkan Keperawanan

by Sasikirana 08:00,Jan 01,1970
Bab 3 Menyerahkan Keperawanan

"Mn......"

Steven memikat hati Lia dan mencium keningnya, lalu memasukkan itunya ke badan Lia.

"Ah......sakit......"

Lia menjerit kesakitan, badannya sekilas tegang, air mata segera jatuh, sakit sekali.

"Kamu......masih perawan?"

Steven segara berhenti, terkejut melihat Lia. Berikutnya wajahnya tersungging senyum gembira. Mendekapkan Lia secara ringan dan lembut. Dengan penyentuhan ringan dan lembut, Steven membujuknya, "Kendurkan, kendurkanlah, sakit sebentar saja, sebentar saja, tak sakit lagi......"

Dalam bujukan dan keterampian menggodanya yang tinggi, Lia sedikit demi sedikit mengendurkan badannya.

Steven dan Lia bercumbu selama setengah jam secara gila-gilaan. Akhirnya Lia sungguh tak bisa tahan lagi, tertidur kecakepan.

"Benar-benar memikat."

Steven yang belum puas, melihat wajah tidur Lia yang ada di dadanya tapi tak bisa buat apa-apa, bibirnya tersungging senyum hangat seperti musim semi yang tak dia sadari.

Pagi keesokan, Lia ada di ranjang berbalik sebelum kesadarannya terang waktu cahaya menembus masuk kamar melalui gorden jendela. Tapi terus perasaan ngantuk dihilangkan karena perasaan sakit dan tak enak dari kemaluannya.

Buka mata pelan-pelan, terlihat hiasan mewah di kamar, Lia tetap merasa berada di awan-awan. Melihat lama-lama, mendadak menepuk dahi, saat ini baru teringat dia ada di Hotel Aryaduta, tentu aja teringat kejadian kemarin malam juga.

Meskipun pikirannya tak tetap dan dia tak bisa menguasai dirinya dikarenakan obat afrodisiak, setelah itu, ingatan kegairahan itu jelas banget. Berpikir setiap tindakan mesra yang lembut dari lelaki moderat itu membuat jantung Lia berdebar-debar lebih cepat.

Tapi saat ini, hanya tinggal dia sendiri di kamar, bayangan tubuh lelaki moderat kamarin malam itu sudah hilang.

Meraba-raba ranjang yang masih ada suhu tersisa, kiranya dia baru pergi sebentar. Dalam hati Lia mendadak menimbulkan perasaan kehilangan tanpa sebab.

Di luar dugaan sekata pun dia tidak mengucapkan kepadanya saat dia pergi, benarkah begitu tak ingin menghadapinya?

Lia mendadak terkejut dan gemetar, kok bisa dia punya perasaan rindu bagi seorang gigolo. Gak boleh, gak boleh sama sekali. Lia mendadak menggeleng-gelengkan kepala, menahan sakit bagian bawah tubuh, segera turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi, harus menjernihkan pikirannya dengan air dingin.

"Ah!"

Siapa tahu sebuka pintu kamar mandi, seketika Lia bersuara teriak dengan panik dan ketakutan.

Kenapa?

Karena seorang lelaki sedang berdiri di kamar mandi, perawakannya tinggi, kuat dan elok. Seluruh badannya dipenuhi ruap putih. Dia sedang menggosok gel mandi.

Lelaki yang sedang mandi pula kaget suara teriak Lia. Segera berbalik memandang, kemudian segar menyenyumi Lia, menunjukkan 1/3 gigi putihnya.

Sekilas Lia menjadi kaku.

Terpaku memandang ketampanan dan keanggunan yang sudah kenal itu, otak Lia dikosongkan untuk sekejap.

Detik berikut, dia tutup pintu dengan keras, berlari langkah kecil dan menyusup ke dalam selimut. Badannya gemetar sebentar tak karuan.

Dia......di luar dugaan dia tidak pergi.

Jantung Lia dahsyat berdebar-debar disebabkan pengertian ini, kayaknya kapanpun akan berdebar keluar dari tenggorokan.

Tak beberapa lama, Steven keluar dengan handuk mandi, tepat mau menuju ranjang. Saat itu, doorbellnya berdering. Tampak kedatangan pelayan hotel yang mangantar sarapan.

Steven membuka pintu dan minta pelayan untuk meletakkan sarapan di meja satu demi satu.

Lalu menuju segi ranjang dan menepuk-nepuk Lia yang seluruh badannbya ditutupi selimut dengan rapat, berkata dengan suara lembut, "Sarapan sudah sampai, belumkah mau bangun dan mencuci?"

Lia menongolkan kepala secara diam-diam, tapi tak berani berpandangan Steven, menarik selimut untuk melingkari badannya dan berlari ke kamar mandi. Karena dia tidak memakai pakaian, di luar dugaan dia tidur sepanjang malam dengan bugil.

Melihat tindakan malu dan lucu Lia ini, Steven yang di belakangnya tak menahan tertawa cerah dan segar.

Lia di kamar mandi agak lama untuk pengemasan, mencuci muka dan menyisir rambut. Setelah puluhan menit dia baru keluar dengan handuk putih secara sangat hati-hati.

"Kenapa begitu lama, sarapan sudah akan dingin, ayo cepat."

Steven melangkah kepadanya, memeluk pinggangnya dengan wajar, menujui depan meja bersama, kemudian menarik keluar kursi untuknya dengan sopan, tersenyum sambil berpose silakan. Kemuliaan dan keanggunan ditunjukkan antara kata-kata dan perbuatannya.

Memandang lelaki unggul yang memiliki didikan tinggi di depan mata. Kemarin malam hanya merasa dia lemah lembut, tak terduga bergaul dengannya pun merasakan begitu kenyamanan.

Kedua mereka duduk saling berhadap selesai sarapan. Tepat Lia ingin bertanya kapan Steven akan pergi, tak terduga, Steven mendadak menggendong melingkari pinggangnya, lalu melangkah ke ranjang besar yang tidak jauh.

"Kamu ngapain?"

Jantung Lia mendadak berdebar, menangkap dan menarik erat-erat bagian depan dari handuk Steven, wajah kecilnya penuh panik.

"Tentu saja mengobatimu."

Sambil berkata Steven sudah meletakkan Lia secara berbaring di atas ranjang luas dan lembut.

"Obat apa?"

Lia cepat mundur ke belakang, ia tidak terluka, masakan perlu diobati.

"Patuh!"

Steven menangkap mata kaki Lia dengan tangan kiri, tangan kanan untuk mengangkat handuknya.

Lia baru mengerti, di luar dugaan dia mau memberi ia obat. Seketika mukanya penuh merah kemaluan.

Serta merta menangkap tangan kanan Steven, Lia mukanya merah sambil menggeleng-gelengkan kepala, dengan suara kecil, "Aku......aku sendiri aja."

"Enggak, biarkan aku saja."

Steven mengulurkan tangan panjangnya dan mengambil sebotol obat dari kepala ranjang, memandang mata Lia, muka tampannya dihias senyum jahat, berkata: "Kemarin malam setelah kamu tertidur, aku sudah mengobatimu dua kali, sudah tahu jalannya, tenang ya, tak akan menyakitimu."

Download APP, continue reading

Chapters

475