Bab 2 Coba Terima dulu
by Irma W
15:58,Feb 01,2021
(Gareesa Resto)
“Jadi ... kau dijodohkan lagi?” tanya seorang wanita cantik yang sedang makan buah.
Ares mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa ayahku melakukan hal itu,” desah Ares.
Wanita bernama Rena itu tertawa geli. “Kenapa kau tidak cari pacar, lalu kau kenalkan pada ayahmu? Bukankah itu mudah?”
“Apanya yang mudah?” sembur Ares. “Kau pikir gampang cari wanita di luar sana?”
Sambil mengacungkan sendok garpu, Rena berkata, “Kau tampan, mapan, kurang apalagi? Banyak wanita yang akan mengantri.”
“Kau pikir aku mencari wanita yang memandangku hanya karena dua hal itu?” Ares mendelik. “Bukannya hidup bahagia, yang ada aku malah menderita.”
Rena manggut-manggut. Garpu yang semula ia acungkan ke arah Ares sudah menancap di potongan buah melon.
“Kalau begitu, kenapa kau tak coba menerima gadis itu?”
Ares langsung terhenyak. “Apa kau bergurau?”
Masih mengunyah buah, Rena menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku sangat serius malah.”
“Jadi, kau setuju kalau aku menikah dengan wanita lusuh itu?” Ares sudah membelalak. “Jangan gila kau!”
“Tidak ada salahnya kau coba dulu kan?” Rena menaik turunkan alisnya. “Apa dia cantik?”
Ares mendelik sambil menarik dagu ke dalam. “Kau gila ya?”
“Gila kenapa?” tepis Rena. “Apa perkataanku ada yang salah?”
Ares berdecak lalu menyandarkan punggung pada dinding kursi. “Sudah kubilang, dia itu lusuh. Mana mungkin cantik?”
Ares sebenarnya tidak terlalu jelas saat mengamati raut wajah gadis itu kemarin sore. Selain karena malas, gadis itu juga lebih banyak menunduk. Jelas-jelas bukan tipe Ares.
“Aku pergi.” tiba-tiba Ares berdiri.
“Kau mau kemana?” Rena ikut berdiri. “Jangan bilang kau mau menemui gadis itu?” Rena terkekeh menahan tawa.
“Sialan!” sembur Ares. “Aku mau pulang. Hari ini aku malas mau ngapa-ngapain.”
Ares sudah berjalan ke luar restoran. Ya, sebuah restoran mewah dengan nama Gareesa Resto. Tentunya sang pemiliknya adalah Ares sendiri.
Benar kata Rena, selain Ares tampan, dia juga pria matang dan mapan. Cabang restoran ada di setiap kota. Ares mempercayakan semuanya pada para bawahan, sementara Ares lebih sering duduk sambil menerima laporan masuk.
“Di mana Nando?” tanya Rena. “Dia tidak ikut?”
Ares menggeleng. “Dia ada di rumahku. Dia sedang mengecek laporan bulanan di ruang kerjaku.”
Raut wajah Rena terlihat merengut. Sebagai sepupu yang sudah sangat dekat sedari kecil, Ares sangat tahu apa yang sedang Rena rasakan saat ini.
“Kalau kau suka, kenapa tak kau lamar saja dia,” celetuk Ares saat sudah bersandar di pintu mobil.
“Enak saja! Aku kan wanita. Aku tak mau melamar duluan,” jawab Rena.
“Kau coba dekati dia lagi. Dia masih menjomblo, kau akan lebih mudah mendapatkannya.” Ares menaikkan satu alisnya lalu membuka pintu mobil.
“Aku pergi dulu,” ucap Ares saat jendela kaca mobil terbuka.
Sambil merengut, Rena hanya mengangguk.
Entah di manapun, yang namanya soal perasaan pasti sangatlah rumit. Cinta, cinta dan cinta, hal itu selalu menjadi alasan setiap hubungan. Namun, bagaimana dengan Ares?
Pria itu selalu gagal dalam percintaan. Ares tak pernah berhasil saat menjalani hubungan dengan setiap wanita. Entah apa yang membuat para wanita itu mendadak pamit pergi dari kehidupan Ares. Mereka tak pernah memberi sebuah alasan. Yang mereka katakan hanyalah: tak ada wanita yang betah bersamamu selama sifatmu masih sama.
Sifat apa? Yang seperti apa? Ares sama sekali tidak tahu.
“Tak ada wanita yang tulus!” sergah Ares. Dua tangannya mencengkeram bundaran setir dengan kuat.
“Mereka pasti hanya ingin mengincar kekayaanku saja! Itu sebabnya mereka pergi dariku. Selama bersamaku, bahkan aku memang berniat tidak membelikan barang mahal untuk mereka.”
Ares bergumam dalam mobil tanpa ada siapapun yang mendengarkannya.
“Itu kenapa, pada akhirnya mereka meninggalkanku. Itu pasti alasannya.” Seringaian nampak jelas di wajah Ares.
Saat Ares masih meracau tanpa arah, pandangan matanya tak sengaja menangkap seorang wanita yang sedang berdiri di halte bus. Dia tidak sendirian, melainkan bersama seorang pria, dan tak lama kemudian keduanya menghilang masuk ke dalam mobil.
“Mareta?” celetuk Ares tanpa mengalihkan pandangan. “Sejak kapan dia ada di kota ini?”
Karena penasaran, Ares melajukan mobilnya lagi mengikuti laju mobil di hadapannya. Ares ingin memastikan apakah itu benar Mareta atau bukan.
Setengah perjalanan, Ares mulai terlihat bingung dan gelisah.
“Inikan ...” Ares menengok ke sekitar sambil memperlambat laju mobilnya. “Mereka datang ke rumahku?” tanya Ares bingung.
Ares melajukan mobilnya lagi, hingga menyusul satu mobil berwarna hitam yang sudah terparkir di halaman rumah.
Karena penasaran, Ares buru-buru mematikan mesin mobil lalu segera melompat turun dari mobil.
“Dia Mareta atau bukan?” Ares semakin penasaran. Dan untuk menghilangkan rasa penasaran itu, maka Ares harus masuk dan melihatnya.
Setelah kedua kakinya menapak di lantai ruang tamu, mata Ares langsung membulat sempurna. Ares mematung sambil memandangi ketiga orang yang sudah duduk di sofa ruang tamu.
“Ka-kau?” Ares bergantian menatap Mareta dan satu pria yang sedang menggenggam erat tangan Mareta.
Pria itu tersenyum. Melepas genggaman tangan kemudian berdiri. “Halo, Ares. Apa kabar?” pria itu memeluk Ares.
Hanya sesaat. Tanpa berkata, Ares langsung mendorong tubuh pria itu hingga lepas dari pelukan.
“Jangan menyentuhku!” gertak Ares.
“Rangga pulang, kau malah membentaknya.” Wanita paruh baya yang disebut ibu tiri oleh Ares ikut bicara.
“Apa aku harus menyambutnya?” tanya Ares bernada sinis. “Pulang atau tidaknya dia, aku tidak peduli.”
“Ares!” gertak suara berat dari arah lain. Ayah muncul dengan raut sengit menatap Ares.
“Kenapa ayah membentakku?” tanya Ares sedikit memiringkan kepala.
“Saudaramu pulang, kau bersikaplah lebih sopan padanya,” pinta Ayah.
“Dia bukan saudaraku!” sergah Ares lantang.
Plak! Satu tamparan melayang di pipi Ares. Semua nampak terkejut. Termasuk Nando yang sedang menuruni anak tangga. Mungkin dia baru selesai dengan tugasnya di ruangan Ares.
Wajah memerah dab dengan napas berderu, Ares memutar bola mata ke arah ayahnya. “Ayah menamparku?” pekik Ares.
“Maaf, Ayah tidak--” Ayah nampak gugup dan bingung. “Ayah tidak bermaksud.”
Ares menyeringai setengah tertawa. Setiap orang yang berada di ruangan ini Ares tatap satu persatu. Setelah puas menatap mereka semua, Ares menghela napas panjang.
“Kau memang hebat Rangga. Kau bisa membuat semua orang menyayangimu. Kau berhasil karena sudah merebut semua milikku.” Terakhir, Ares melirik ke arah Mareta yang berdiri seperti patung.
Tak mau melanjutkan perdebatan lagi, Ares melengos lalu berlari menaiki anak tangga.
“Tunggu, Tuan!” panggil Nando.
“Kau pulang saja. Kita bahas pekerjaan besok.” Ares berkata tanpa menoleh maupun menghentikan langkahnya.
Nando menunduk lalu menuruni anak tangga dengan tenang.
“Saya permisi, Tuan.” Nando langsung pamit pergi.
***
“Jadi ... kau dijodohkan lagi?” tanya seorang wanita cantik yang sedang makan buah.
Ares mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa ayahku melakukan hal itu,” desah Ares.
Wanita bernama Rena itu tertawa geli. “Kenapa kau tidak cari pacar, lalu kau kenalkan pada ayahmu? Bukankah itu mudah?”
“Apanya yang mudah?” sembur Ares. “Kau pikir gampang cari wanita di luar sana?”
Sambil mengacungkan sendok garpu, Rena berkata, “Kau tampan, mapan, kurang apalagi? Banyak wanita yang akan mengantri.”
“Kau pikir aku mencari wanita yang memandangku hanya karena dua hal itu?” Ares mendelik. “Bukannya hidup bahagia, yang ada aku malah menderita.”
Rena manggut-manggut. Garpu yang semula ia acungkan ke arah Ares sudah menancap di potongan buah melon.
“Kalau begitu, kenapa kau tak coba menerima gadis itu?”
Ares langsung terhenyak. “Apa kau bergurau?”
Masih mengunyah buah, Rena menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku sangat serius malah.”
“Jadi, kau setuju kalau aku menikah dengan wanita lusuh itu?” Ares sudah membelalak. “Jangan gila kau!”
“Tidak ada salahnya kau coba dulu kan?” Rena menaik turunkan alisnya. “Apa dia cantik?”
Ares mendelik sambil menarik dagu ke dalam. “Kau gila ya?”
“Gila kenapa?” tepis Rena. “Apa perkataanku ada yang salah?”
Ares berdecak lalu menyandarkan punggung pada dinding kursi. “Sudah kubilang, dia itu lusuh. Mana mungkin cantik?”
Ares sebenarnya tidak terlalu jelas saat mengamati raut wajah gadis itu kemarin sore. Selain karena malas, gadis itu juga lebih banyak menunduk. Jelas-jelas bukan tipe Ares.
“Aku pergi.” tiba-tiba Ares berdiri.
“Kau mau kemana?” Rena ikut berdiri. “Jangan bilang kau mau menemui gadis itu?” Rena terkekeh menahan tawa.
“Sialan!” sembur Ares. “Aku mau pulang. Hari ini aku malas mau ngapa-ngapain.”
Ares sudah berjalan ke luar restoran. Ya, sebuah restoran mewah dengan nama Gareesa Resto. Tentunya sang pemiliknya adalah Ares sendiri.
Benar kata Rena, selain Ares tampan, dia juga pria matang dan mapan. Cabang restoran ada di setiap kota. Ares mempercayakan semuanya pada para bawahan, sementara Ares lebih sering duduk sambil menerima laporan masuk.
“Di mana Nando?” tanya Rena. “Dia tidak ikut?”
Ares menggeleng. “Dia ada di rumahku. Dia sedang mengecek laporan bulanan di ruang kerjaku.”
Raut wajah Rena terlihat merengut. Sebagai sepupu yang sudah sangat dekat sedari kecil, Ares sangat tahu apa yang sedang Rena rasakan saat ini.
“Kalau kau suka, kenapa tak kau lamar saja dia,” celetuk Ares saat sudah bersandar di pintu mobil.
“Enak saja! Aku kan wanita. Aku tak mau melamar duluan,” jawab Rena.
“Kau coba dekati dia lagi. Dia masih menjomblo, kau akan lebih mudah mendapatkannya.” Ares menaikkan satu alisnya lalu membuka pintu mobil.
“Aku pergi dulu,” ucap Ares saat jendela kaca mobil terbuka.
Sambil merengut, Rena hanya mengangguk.
Entah di manapun, yang namanya soal perasaan pasti sangatlah rumit. Cinta, cinta dan cinta, hal itu selalu menjadi alasan setiap hubungan. Namun, bagaimana dengan Ares?
Pria itu selalu gagal dalam percintaan. Ares tak pernah berhasil saat menjalani hubungan dengan setiap wanita. Entah apa yang membuat para wanita itu mendadak pamit pergi dari kehidupan Ares. Mereka tak pernah memberi sebuah alasan. Yang mereka katakan hanyalah: tak ada wanita yang betah bersamamu selama sifatmu masih sama.
Sifat apa? Yang seperti apa? Ares sama sekali tidak tahu.
“Tak ada wanita yang tulus!” sergah Ares. Dua tangannya mencengkeram bundaran setir dengan kuat.
“Mereka pasti hanya ingin mengincar kekayaanku saja! Itu sebabnya mereka pergi dariku. Selama bersamaku, bahkan aku memang berniat tidak membelikan barang mahal untuk mereka.”
Ares bergumam dalam mobil tanpa ada siapapun yang mendengarkannya.
“Itu kenapa, pada akhirnya mereka meninggalkanku. Itu pasti alasannya.” Seringaian nampak jelas di wajah Ares.
Saat Ares masih meracau tanpa arah, pandangan matanya tak sengaja menangkap seorang wanita yang sedang berdiri di halte bus. Dia tidak sendirian, melainkan bersama seorang pria, dan tak lama kemudian keduanya menghilang masuk ke dalam mobil.
“Mareta?” celetuk Ares tanpa mengalihkan pandangan. “Sejak kapan dia ada di kota ini?”
Karena penasaran, Ares melajukan mobilnya lagi mengikuti laju mobil di hadapannya. Ares ingin memastikan apakah itu benar Mareta atau bukan.
Setengah perjalanan, Ares mulai terlihat bingung dan gelisah.
“Inikan ...” Ares menengok ke sekitar sambil memperlambat laju mobilnya. “Mereka datang ke rumahku?” tanya Ares bingung.
Ares melajukan mobilnya lagi, hingga menyusul satu mobil berwarna hitam yang sudah terparkir di halaman rumah.
Karena penasaran, Ares buru-buru mematikan mesin mobil lalu segera melompat turun dari mobil.
“Dia Mareta atau bukan?” Ares semakin penasaran. Dan untuk menghilangkan rasa penasaran itu, maka Ares harus masuk dan melihatnya.
Setelah kedua kakinya menapak di lantai ruang tamu, mata Ares langsung membulat sempurna. Ares mematung sambil memandangi ketiga orang yang sudah duduk di sofa ruang tamu.
“Ka-kau?” Ares bergantian menatap Mareta dan satu pria yang sedang menggenggam erat tangan Mareta.
Pria itu tersenyum. Melepas genggaman tangan kemudian berdiri. “Halo, Ares. Apa kabar?” pria itu memeluk Ares.
Hanya sesaat. Tanpa berkata, Ares langsung mendorong tubuh pria itu hingga lepas dari pelukan.
“Jangan menyentuhku!” gertak Ares.
“Rangga pulang, kau malah membentaknya.” Wanita paruh baya yang disebut ibu tiri oleh Ares ikut bicara.
“Apa aku harus menyambutnya?” tanya Ares bernada sinis. “Pulang atau tidaknya dia, aku tidak peduli.”
“Ares!” gertak suara berat dari arah lain. Ayah muncul dengan raut sengit menatap Ares.
“Kenapa ayah membentakku?” tanya Ares sedikit memiringkan kepala.
“Saudaramu pulang, kau bersikaplah lebih sopan padanya,” pinta Ayah.
“Dia bukan saudaraku!” sergah Ares lantang.
Plak! Satu tamparan melayang di pipi Ares. Semua nampak terkejut. Termasuk Nando yang sedang menuruni anak tangga. Mungkin dia baru selesai dengan tugasnya di ruangan Ares.
Wajah memerah dab dengan napas berderu, Ares memutar bola mata ke arah ayahnya. “Ayah menamparku?” pekik Ares.
“Maaf, Ayah tidak--” Ayah nampak gugup dan bingung. “Ayah tidak bermaksud.”
Ares menyeringai setengah tertawa. Setiap orang yang berada di ruangan ini Ares tatap satu persatu. Setelah puas menatap mereka semua, Ares menghela napas panjang.
“Kau memang hebat Rangga. Kau bisa membuat semua orang menyayangimu. Kau berhasil karena sudah merebut semua milikku.” Terakhir, Ares melirik ke arah Mareta yang berdiri seperti patung.
Tak mau melanjutkan perdebatan lagi, Ares melengos lalu berlari menaiki anak tangga.
“Tunggu, Tuan!” panggil Nando.
“Kau pulang saja. Kita bahas pekerjaan besok.” Ares berkata tanpa menoleh maupun menghentikan langkahnya.
Nando menunduk lalu menuruni anak tangga dengan tenang.
“Saya permisi, Tuan.” Nando langsung pamit pergi.
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved