Bab 8 Tidur Bersama Seorang Pria
by Irma W
16:04,Feb 01,2021
Pagi sudah datang. perlahan-lahan Ares membuka matanya sambil menggeliat dan menguap. Saat mendongak, Ares mendapati jam masih menunjukkan pukul lima pagi.
Beralih menatap ke bawah, Ares mendapati Anggun masih meringkuk di atas lantai beralaskan selimut. Tanpa selimut lain dan hanya menggunakan satu bantal saja.
Ares menggeser tubuhnya secara perlahan. Saat kedua matanya sudah menapak lantai, Ares kemudian berdiri. Berdiri sejenak karena setelah itu Ares berjongkok.
“Aku tidak habis pikir, kenapa kau bisa tidur dengan nyaman di atas lantai?” gumam Ares sambil menelusuri wajah Anggun yang mulus dan persih tanpa cacat luka.
“Kau lumayan,” gumam Ares lagi sambil menyibakkan helaian rambut yang menyelip di bagian leher.
“Anggun! Bangun!” seseorang mengetuk pintu dengan keras diiringi teriakannya yang lantang.
Ares yang sedang menikmati wajah Anggun yang sedang terpejam, seketika terhenyak dan langsung berdiri. Untungnya Anggun tidur dengan sangat nyenyak.
“Anggun! Cepat bangun! Aku tunggu kau di ruang makan!”
Suara itu mendadak lenyap. Tak ada lagi teriakan dan ketukan pintu yang sangat keras. Setelah berdecak, Ares menelusupkan dua tangannya di antara bawah siku kaki dan bagian punggung tubuh Anggun. Setelah itu mengangkatnya secara perlahan dan membaringkannya di atas kasur.
“Apa semua yang bersangkutan dengan kata tiri pasti bersikap menyebalkan!” dengus Ares sambil membuka pintu kamar.
Ares kemudian berjalan menuju dapur. Di sana terlihat pintu kaca yang pernah Ares tertutup sudah terbuka lebar hingga ruang tengah pun terlihat jelas.
“Aku heran, tidak di TV tidak di dunia nyata, semua saudara tiri itu memang sangat menyebalkan!” sungut Ares sampai di ruang makan.
“Kenapa kau baru ba ... ru datang?” suara yang awalnya sempat terdengar meninggi mendadak merendah saat pandangannya bertemu dengan sosok pria tampan tapi terlihat mengerikan.
“Ka-kau?” pekik Tika sampai-sampai sendok yang ia pegang terjatuh di atas piring.
“Apa Anggun sudah ba ... ngun?” kali ini Anton yang terkejut melihat sosok Ares. Pun dengan Maya yang terlihat melongo.
“Tuan Ares? Kau di sini?” tanya Anton tidak percaya. “Sejak kapan?”
Ares melengos kemudian duduk di kursi kosong di samping Tika. “Sejak semala,” jawab Ares santai.
Anton dan Maya saling pandang. Sementara Tika menaikkan alis ketika mendapat lirikan dari ibunya.
Melihat Ares bersikap santai, Anton dan Maya perlahan ikut duduk.
“Dari semalam?” Anton memastikan lagi.
Tanpa punya rasa malu, Ares sudah menyentong nasi ke dalam piring dan menikmatinya.
“Ya, aku menginap di sini semalam.” Ares masih menjawab dengan santai.
“Maaf Tuan Ares, tapi di keluarga kami tidak mengijinkan ada pria yang belum sah menjadi suami tidur di kamar seorang wanita,” ujar Maya sinis. “Dan lagi, kapan kau ada di sini?”
“Dari semalam,” jawab Ares singkat sambil mengunyah nasi goreng.
“Dari semalam?” tanya Anton lagi. “Lalu, di mana Anggun sekarang?”
“Masih di dalam kamar,” jawab Ares.
“Tika, kau bangunkan Anggun. Sekarang!” perintah Maya penuh penekanan.
Saat Tika sudah mengangkat pantat dari tempat duduknya, suara gertakan Ares mengurungkan niat dan duduk kembali.
“Jangan ada yang berani membangunkan Anggun!” gertak Ares. “Biarkan dia tidur.”
“Maaf Tuan Ares.” Maya berdiri sambil menekan meja. “Ini rumah saya, saya berhak memerintah di sini. Jangan mentang-mentang anda calon suami Anggun lalu bisa seenaknya.”
Ares mendecih lalu ikut berdiri. “Hei, Nyonya. Anda memang nyonya di rumah ini, tapi bukan berarti bisa seenaknya membangunkan seseorang.”
“Kau!” Maya mendelik.
“Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Kita sedang berada di ruang makan. Ada nikmat Tuhan di sini, jangan kalian ungkuri.” Anton mencoba menengahi.
Ares sudah tidak bernapsu lagi. Ares meletakkan piring dengan kasar, lalu berdiri dan segera pergi dari ruang makan.
“Membuatku tidak berselera saja,” dengus Ares. “Ternyata wanita itu berani membentakku juga. Lihat saja apa yang akan terjadi.” Ares menyeringai lalu kembali masuk ke dalam kamar.
“Suamiku, lihat!” Maya mengguncang lengan suaminya sambil menunjuk ke arah pintu kamar Anggun. “Anak perempuanmu yang kau bangga-banggakan ternyata berani tidur bersama seorang pria.”
Anton terdiam karena memang tak bisa berkata apa-apa.
“Ibu benar, Ayah,” sambung Tika yang sudah selesai dengan sarapannya. “Ayah terlalu memanjakannya sampai-sampai dia hilang kendali.”
Tika melempar tisu yang sudah membulat di atas piring. “Ayah memang tidak adil!” sembur Tika lalu berbalik dan pergi.
“Lihat?” Maya menunjuk Tika yang sudah berjalan ke luar. “Kau memang terlalu memanjakan gadis itu. bisa-bisanya dia memasukkan pria tanpa sepengetahuan kita. Mentang-mentang dia calon suaminya, tapi bukan seperti ini juga caranya. Kalau tetangga tahu, bagaimana?” Maya mencak-mencak.
Anton membuang napas kemudian meneguk segelas air putih. “Aku akan bicara dengan Anggun. Tunggu Ares pulang supaya bisa bicara dengan tenang.”
“Terserah kau saja!” Maya mengibaskan tangan lalu pergi meninggalkan ruang makan.
Sementara di ruang makan sudah selesai dengan perdebatan— di dalam kamar Anggun—Ares tengah duduk sambil menunggu Anggun yang tak kunjung bangun.
Ingin membangunkannya, tapi rasanya tidak tega. Ares sadar, gara-gara dirinyalah Anggun sampai terlambat bangun. Semalam Anggun tidur sekitar pukul dua dini hari.
“Emmmmhhh!” lenguhan terdengar dari atas ranjang. Anggun menggeliat sambil menguap.
“Jam berapa ini?” gumam Anggun sambil mengerjap-kerjapkan mata.
Ares yang mulai terlihat sebal, langsung melangkah maju dan berdiri di dekat ranjang sambil berkacak pinggang. Sementara July yang hendak menguap lagi langsung mengantup dan mendelik.
“Ka-kau? Kenapa, kenapa aku?” Anggun terlihat gelagapan saat menyadari dirinya ada di atas ranjang.
“Aku, Aku kan ... semalam aku tidur di bawah?” Anggun mendongak perlahan mencari wajah Ares.
Ares masih diam di tempat dan berkacak pinggang. Yang terlihat berbeda hanyalah dua bola mata yang terlihat membesar.
“Apa, apa kau yang mengangkatku?” tanya Anggun lirih.
“Kau pikir siapa, ha?” salak Ares. “Cepat bangun. Ini sudah siang. Kau malah enak-enakkan tidur.”
“Astaga!” Anggun sontak terperanjat. “Jam berapa sekarang?” Anggun buru-buru turun dari ranjang.
“Hei, kau mau kemana?” Ares menghentikan langkah Anggun dengan meraih pucuk kepala Anggun.
“Maaf, Tuan. Aku harus membantu Bibi Niah memasak,” ujar Anggun.
“Tak perlu. Makanan sudah siap, bahkan aku sudah memakannya.”
“Apa?” Anggun membelalak. “Ja-jadi ... jadi kalau begitu, ayah dan ibu sudah tahu kau di sini?”
“Yap!” Ares mengangguk. Setelah itu mencengkeram pucuk kepala Anggun dan memutarnya ke arah kamar mandi. “Sekarang, kau mandi. bersiap-siap dan ikut aku.”
Anggun mulai terlihat gugup dan panik.
“Sudahlah, relaks. Jangan tegang begitu?” cibir Ares. “Cepat pergi mandi!”
“Apa? Aku?” Anggun berputar. “Kemana?”
“Jangan banyak tanya. Cepat mandi, aku tunggu di luar.” Ares melangkah maju ke arah pintu. “Oh iya. Aku tak mau melihatmu mengepang rambutmu. Ingat itu!
***
Beralih menatap ke bawah, Ares mendapati Anggun masih meringkuk di atas lantai beralaskan selimut. Tanpa selimut lain dan hanya menggunakan satu bantal saja.
Ares menggeser tubuhnya secara perlahan. Saat kedua matanya sudah menapak lantai, Ares kemudian berdiri. Berdiri sejenak karena setelah itu Ares berjongkok.
“Aku tidak habis pikir, kenapa kau bisa tidur dengan nyaman di atas lantai?” gumam Ares sambil menelusuri wajah Anggun yang mulus dan persih tanpa cacat luka.
“Kau lumayan,” gumam Ares lagi sambil menyibakkan helaian rambut yang menyelip di bagian leher.
“Anggun! Bangun!” seseorang mengetuk pintu dengan keras diiringi teriakannya yang lantang.
Ares yang sedang menikmati wajah Anggun yang sedang terpejam, seketika terhenyak dan langsung berdiri. Untungnya Anggun tidur dengan sangat nyenyak.
“Anggun! Cepat bangun! Aku tunggu kau di ruang makan!”
Suara itu mendadak lenyap. Tak ada lagi teriakan dan ketukan pintu yang sangat keras. Setelah berdecak, Ares menelusupkan dua tangannya di antara bawah siku kaki dan bagian punggung tubuh Anggun. Setelah itu mengangkatnya secara perlahan dan membaringkannya di atas kasur.
“Apa semua yang bersangkutan dengan kata tiri pasti bersikap menyebalkan!” dengus Ares sambil membuka pintu kamar.
Ares kemudian berjalan menuju dapur. Di sana terlihat pintu kaca yang pernah Ares tertutup sudah terbuka lebar hingga ruang tengah pun terlihat jelas.
“Aku heran, tidak di TV tidak di dunia nyata, semua saudara tiri itu memang sangat menyebalkan!” sungut Ares sampai di ruang makan.
“Kenapa kau baru ba ... ru datang?” suara yang awalnya sempat terdengar meninggi mendadak merendah saat pandangannya bertemu dengan sosok pria tampan tapi terlihat mengerikan.
“Ka-kau?” pekik Tika sampai-sampai sendok yang ia pegang terjatuh di atas piring.
“Apa Anggun sudah ba ... ngun?” kali ini Anton yang terkejut melihat sosok Ares. Pun dengan Maya yang terlihat melongo.
“Tuan Ares? Kau di sini?” tanya Anton tidak percaya. “Sejak kapan?”
Ares melengos kemudian duduk di kursi kosong di samping Tika. “Sejak semala,” jawab Ares santai.
Anton dan Maya saling pandang. Sementara Tika menaikkan alis ketika mendapat lirikan dari ibunya.
Melihat Ares bersikap santai, Anton dan Maya perlahan ikut duduk.
“Dari semalam?” Anton memastikan lagi.
Tanpa punya rasa malu, Ares sudah menyentong nasi ke dalam piring dan menikmatinya.
“Ya, aku menginap di sini semalam.” Ares masih menjawab dengan santai.
“Maaf Tuan Ares, tapi di keluarga kami tidak mengijinkan ada pria yang belum sah menjadi suami tidur di kamar seorang wanita,” ujar Maya sinis. “Dan lagi, kapan kau ada di sini?”
“Dari semalam,” jawab Ares singkat sambil mengunyah nasi goreng.
“Dari semalam?” tanya Anton lagi. “Lalu, di mana Anggun sekarang?”
“Masih di dalam kamar,” jawab Ares.
“Tika, kau bangunkan Anggun. Sekarang!” perintah Maya penuh penekanan.
Saat Tika sudah mengangkat pantat dari tempat duduknya, suara gertakan Ares mengurungkan niat dan duduk kembali.
“Jangan ada yang berani membangunkan Anggun!” gertak Ares. “Biarkan dia tidur.”
“Maaf Tuan Ares.” Maya berdiri sambil menekan meja. “Ini rumah saya, saya berhak memerintah di sini. Jangan mentang-mentang anda calon suami Anggun lalu bisa seenaknya.”
Ares mendecih lalu ikut berdiri. “Hei, Nyonya. Anda memang nyonya di rumah ini, tapi bukan berarti bisa seenaknya membangunkan seseorang.”
“Kau!” Maya mendelik.
“Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Kita sedang berada di ruang makan. Ada nikmat Tuhan di sini, jangan kalian ungkuri.” Anton mencoba menengahi.
Ares sudah tidak bernapsu lagi. Ares meletakkan piring dengan kasar, lalu berdiri dan segera pergi dari ruang makan.
“Membuatku tidak berselera saja,” dengus Ares. “Ternyata wanita itu berani membentakku juga. Lihat saja apa yang akan terjadi.” Ares menyeringai lalu kembali masuk ke dalam kamar.
“Suamiku, lihat!” Maya mengguncang lengan suaminya sambil menunjuk ke arah pintu kamar Anggun. “Anak perempuanmu yang kau bangga-banggakan ternyata berani tidur bersama seorang pria.”
Anton terdiam karena memang tak bisa berkata apa-apa.
“Ibu benar, Ayah,” sambung Tika yang sudah selesai dengan sarapannya. “Ayah terlalu memanjakannya sampai-sampai dia hilang kendali.”
Tika melempar tisu yang sudah membulat di atas piring. “Ayah memang tidak adil!” sembur Tika lalu berbalik dan pergi.
“Lihat?” Maya menunjuk Tika yang sudah berjalan ke luar. “Kau memang terlalu memanjakan gadis itu. bisa-bisanya dia memasukkan pria tanpa sepengetahuan kita. Mentang-mentang dia calon suaminya, tapi bukan seperti ini juga caranya. Kalau tetangga tahu, bagaimana?” Maya mencak-mencak.
Anton membuang napas kemudian meneguk segelas air putih. “Aku akan bicara dengan Anggun. Tunggu Ares pulang supaya bisa bicara dengan tenang.”
“Terserah kau saja!” Maya mengibaskan tangan lalu pergi meninggalkan ruang makan.
Sementara di ruang makan sudah selesai dengan perdebatan— di dalam kamar Anggun—Ares tengah duduk sambil menunggu Anggun yang tak kunjung bangun.
Ingin membangunkannya, tapi rasanya tidak tega. Ares sadar, gara-gara dirinyalah Anggun sampai terlambat bangun. Semalam Anggun tidur sekitar pukul dua dini hari.
“Emmmmhhh!” lenguhan terdengar dari atas ranjang. Anggun menggeliat sambil menguap.
“Jam berapa ini?” gumam Anggun sambil mengerjap-kerjapkan mata.
Ares yang mulai terlihat sebal, langsung melangkah maju dan berdiri di dekat ranjang sambil berkacak pinggang. Sementara July yang hendak menguap lagi langsung mengantup dan mendelik.
“Ka-kau? Kenapa, kenapa aku?” Anggun terlihat gelagapan saat menyadari dirinya ada di atas ranjang.
“Aku, Aku kan ... semalam aku tidur di bawah?” Anggun mendongak perlahan mencari wajah Ares.
Ares masih diam di tempat dan berkacak pinggang. Yang terlihat berbeda hanyalah dua bola mata yang terlihat membesar.
“Apa, apa kau yang mengangkatku?” tanya Anggun lirih.
“Kau pikir siapa, ha?” salak Ares. “Cepat bangun. Ini sudah siang. Kau malah enak-enakkan tidur.”
“Astaga!” Anggun sontak terperanjat. “Jam berapa sekarang?” Anggun buru-buru turun dari ranjang.
“Hei, kau mau kemana?” Ares menghentikan langkah Anggun dengan meraih pucuk kepala Anggun.
“Maaf, Tuan. Aku harus membantu Bibi Niah memasak,” ujar Anggun.
“Tak perlu. Makanan sudah siap, bahkan aku sudah memakannya.”
“Apa?” Anggun membelalak. “Ja-jadi ... jadi kalau begitu, ayah dan ibu sudah tahu kau di sini?”
“Yap!” Ares mengangguk. Setelah itu mencengkeram pucuk kepala Anggun dan memutarnya ke arah kamar mandi. “Sekarang, kau mandi. bersiap-siap dan ikut aku.”
Anggun mulai terlihat gugup dan panik.
“Sudahlah, relaks. Jangan tegang begitu?” cibir Ares. “Cepat pergi mandi!”
“Apa? Aku?” Anggun berputar. “Kemana?”
“Jangan banyak tanya. Cepat mandi, aku tunggu di luar.” Ares melangkah maju ke arah pintu. “Oh iya. Aku tak mau melihatmu mengepang rambutmu. Ingat itu!
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved