Bab 11 Wanita Biasa Saja
by Irma W
16:39,Feb 01,2021
Semua keluarga dari pihak kakak maupun adik Bian sudah berkumpul di ruang makan. Hanya tinggal Ares dan Anggun yang belum turun.
Ares yang awalnya sudah berada di lantai satupun naik lagi ke lantai dua untuk melihat apakah Anggun sudah siap atau belum.
“Apa belum selesai Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani saat sedang merias wajah Anggun.
Ares menutup pintu kamar kemudian menghampiri Bibi Rani dan Anggun. Dan betapa terkejutnya Ares saat melihat Anggun yang sama sekali belum bersiap.
“Astaga! apa-apaan ini?” pekik Ares.
Anggun menunduk, pun dengan Bibi Rani.
“Kenapa Anggun belum dandan, Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani. “Semua orang sudah bersiap di bawah.”
“Anu, Tuan. Nona Anggun, e—” Bibi Rani bingung harus berkata apa.
“Anu apa?” hardik Ares.
“Aku tidak mau di dandani,” Anggun yang menyahuti.
“Apa maksudmu?” Ares sudah mendelik begitu dekat ke arah Anggun yang masih duduk di depan meja rias
“A-aku, aku tidak mau berdandan. Aku tidak suka merubah wajahku hanya sekedar untuk acara makan malam,” kata Anggun gugup.
“Astaga!” Ares membuang muka sambil meraup wajah dengan kasar. “Kau mau membuatku malu ya?”
“Bu-bukan begitu. A-aku, aku hanya tidak suka.” Anggun sudah gemetaran.
“Terus, maksudmu kau akan turun memakai baju konyolmu ini dan dengan kepang duamu ini? Iya begitu?!” Ares meninggikan suara di bagian terakhir.
Anggun yang kaget langsung memejamkan mata dan menggidikkan kedua pundaknya.
“Sudah jelek, ngeyel pula!”
BRAK!
Ares menggebrak meja rias membuat Anggun semakin ketakutan. Bibi Rani yang sudah lama tak melihat tuan mudanya marah seperti ini, juga terlihat takut.
“Kau mau menurut denganku atau tidak?’ tanya Ares dengan nada penuh penekanan.
Telapak tangan Ares sudah menangkup kedua pipi Anggun hingga bibirnya monyong.
“Bersiaplah, atau kau akan kubunuh!” Ares melotot lalu melepas cengkeraman itu.
“Tinggalkan dia!” perintah Ares pada Bibi Rani.
Melihat kondisi Anggun sekilas, kemudian Bibi Rani menyusul Ares keluar dari kamar.
“Tuan,” panggil Bibi Rani sambil berlari kecil mengejar Ares.
“Jangan bicara dulu, Bibi. Aku sedang marah. Aku tidak mau menyakiti bibi.” Ares berlari menuruni anak tangga.
Sementara Bibi Rani mendesah sambil mengusap dada. “Semoga saja tidak terjadi apa-apa.”
Saat Ares sampai di ruang makan, semua keluarga sudah berkumpul. Sebelum bergabung, Ares berdehem lebih dulu kemudian berjalan menuju kursinya.
“Di mana Anggun?” tanya Bian.
“Nanti dia menyusul,” jawab Ares singkat.
Untuk menghilangkan kecanggungan yang ada, sebagai kakak paling tertua dari Bian mulai membuka pembicaraan.
“Jadi, kalian berdua akan segera menikah?” tanya Paman Abas
Rangga yang lebih dulu menjawab dengan antusias. “Iya, Paman.”
Di samping Rangga, Mareta terlihat tersenyum malu-malu. Melihat itu sungguh membuat hati Ares terasa sakit.
Sebenarnya tidak ada yang tidak tahu tentang hubungan yang pernah terjalin antara Ares dan Mareta. Mereka tentunya terkejut ketika melihat yang menikah dengan Mareta justru Rangga bukan Ares.
Lalu, siapa calon istri Ares?
“Maaf, saya terlambat.” Suara lirih namun terdengar lembut membuat semua orang menoleh.
Perlahan dan sedikit gemetaran Anggun melangkahkan kaki menuju ke perkumpulan itu. Tak ada yang tak melihat ke arah Anggun. Semua orang pasti sedang mengatakan sesuatu di dalam hatinya masing-masing. Entah apa itu, tak ada yang tahu.
Mereka masih fokus menatap ke arah Anggun, tiba-tiba Adit—anak dari Paman Abas yang masih berumur tuju tahun—berlari mendekat.
“Halo Kakak,” ucapnya pada Anggun. “Ayo duduk.” Adit menarik lengan Anggun dan mengakaknya duduk di samping Ares.
Anggun mengangguk pada semuanya dengan seutas senyum.
Tak ada yang berbeda dari Anggun. Wajahnya masih natural tanpa riasan. Poni dan kepang dua pun masih menjadi ciri khasnya. Yang berbeda hanya pakaian yang dia kenakan saja. Yaitu: dress yang si kasih oleh Bibi Rani tadi.
“Jadi ini yang namanya Anggun?” tanya Bibi Tania (Istri Abas). “Halo, sayang.”
Anggun tersenyum saat Bibi Tania menyapanya. Setidaknya Anggun tidak merasa begitu dikucilkan di sini.
“Perkenalkan, ini Anggun. Dia calon istri Ares.” Bian berdiri memperkenalkan Anggun pada semuanya.
“Jadi ini yang namanya Anggun?” batin Mareta. “Sangat tidak berkelas.”
“Bagaimana mungkin, Ayah bisa menjodohkan Ares dengan gadis seperti itu?” Ares ikut membatin. “Tapi baguslah, dia sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mareta.
Tak ada yang bicara apa-apa lagi, semuanya nampak menikmati setiap hidangan yang tersaji di atas meja.
“Hei, sungguh itukah yang akan menikah dengan Ares?” bisik seorang perempuan yang duduk di samping Tania.
Dia adalah anak dari Abas dan Tania. Itu berati dia kakak dari Adit.
Tania tersenyum ke arah putrinya yang bernama Rara . “Ibu rasa begitu.”
“Apa Ares sedang main-main?” bisik Rara lagi. “Dia sangat. Em? Apa ya?”
“Sudahlah, nikmati makananmu dulu,” hardik tania dengan suara selirih mungkin.
Sadar bahwa dirinya sedang dibicarakan, Ares melirik ke arah Anggun yang masih menikmati makanannya.
“Dasar gadis menyebalkan!” gertak Ares dalam hati. “Kau memang sengaja membuatku malu ya!”
“Kak Anggun,” panggil Adit.
Anggun menoleh. “Iya, kenapa?”
“Kakak kenapa mau menikah dengan Kak Ares?” tanya Adit.
Degh! Anggun terhenyak dengan pertanyaan tersebut. Nampaknya semua orang juga menegang mendengar pertanyaan itu.
Anggun meringis. “E, mungkin ... karena Tuan Ares tampan. Atau, em ... entahlah. Aku tidak tahu.”
“Bisa-bisanya dia menjawab begitu!” batin Ares lagi.
“Kak Ares itu orangnya galak!” seloroh Adit sambil mendengus ke arah Ares.
Yang lain terlihat mengulum senyum melihat tingkah Adit.
“Hei Bocah! Aku tidak galak!” balas Ares sambil melotot.
“Lihat itu!” Adit berbisik di dekat telinga Anggun. “Belum apa-apa dia sudah marah-marah.”
Anggun tersenyum geli. “Tidak apa-apa. Orang galak sebenarnya orang baik,” ucap Anggun sambil tersenyum ke arah Ares.
“Lesung pipi,” celetuk Ares saat itu juga.
“Apa?” Anggun ternganga.
Salah berucap, Ares langsung bergidik dan membuang muka.
“Jadi, kapan kalian akan melasungkan pernikahan?” tanya Abas. “Kalian berdua maksudku?” Abas bergantian menatap Ares dan Rangga.
“Secepatnya,” jawab keduanya secara bersamaan.
Ares dan Rangga saling lirik sebelum akhirnya kembali acuh.
“Wah, sepertinya kalian sudah tidak sabaran,” ucap Tania dengan nada menggoda.
“Tentu saja Bibi,” sahut Rangga sambil menggenggam tangan Mareta di atas meja.
Ares dan Anggun hanya diam. Saling melirik pun tidak. Ini sungguh situasi yang sangat tidak disukai Ares maupun Anggun.
“Apa acara pernikahan akan diadakan secara bersama?” tanya Tania.
“Tidak.” Lagi-lagi Ares dan Rangga menjawab secara bersamaan lagi.
Menghilangkan situasi yang lumayan menegangkan ini, Ana yang sedari tadi hanya diam kini ikut bicara.
“Pernikahan mereka akan dilangsungkan di hari yang berbeda,” jawab Ana. “Rangga ingin pernikahannya dikhususkan untuk dirinya dan Mareta nanti.”
Jawaban itu membuat Ares mengeratkan kuat giginya dan mengepalkan kedua tangannya. Anggun sempat melirik tangan itu sebelum akhirnya Ares berdiri dan memilih pamit meninggalkan meja makan.
***
Ares yang awalnya sudah berada di lantai satupun naik lagi ke lantai dua untuk melihat apakah Anggun sudah siap atau belum.
“Apa belum selesai Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani saat sedang merias wajah Anggun.
Ares menutup pintu kamar kemudian menghampiri Bibi Rani dan Anggun. Dan betapa terkejutnya Ares saat melihat Anggun yang sama sekali belum bersiap.
“Astaga! apa-apaan ini?” pekik Ares.
Anggun menunduk, pun dengan Bibi Rani.
“Kenapa Anggun belum dandan, Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani. “Semua orang sudah bersiap di bawah.”
“Anu, Tuan. Nona Anggun, e—” Bibi Rani bingung harus berkata apa.
“Anu apa?” hardik Ares.
“Aku tidak mau di dandani,” Anggun yang menyahuti.
“Apa maksudmu?” Ares sudah mendelik begitu dekat ke arah Anggun yang masih duduk di depan meja rias
“A-aku, aku tidak mau berdandan. Aku tidak suka merubah wajahku hanya sekedar untuk acara makan malam,” kata Anggun gugup.
“Astaga!” Ares membuang muka sambil meraup wajah dengan kasar. “Kau mau membuatku malu ya?”
“Bu-bukan begitu. A-aku, aku hanya tidak suka.” Anggun sudah gemetaran.
“Terus, maksudmu kau akan turun memakai baju konyolmu ini dan dengan kepang duamu ini? Iya begitu?!” Ares meninggikan suara di bagian terakhir.
Anggun yang kaget langsung memejamkan mata dan menggidikkan kedua pundaknya.
“Sudah jelek, ngeyel pula!”
BRAK!
Ares menggebrak meja rias membuat Anggun semakin ketakutan. Bibi Rani yang sudah lama tak melihat tuan mudanya marah seperti ini, juga terlihat takut.
“Kau mau menurut denganku atau tidak?’ tanya Ares dengan nada penuh penekanan.
Telapak tangan Ares sudah menangkup kedua pipi Anggun hingga bibirnya monyong.
“Bersiaplah, atau kau akan kubunuh!” Ares melotot lalu melepas cengkeraman itu.
“Tinggalkan dia!” perintah Ares pada Bibi Rani.
Melihat kondisi Anggun sekilas, kemudian Bibi Rani menyusul Ares keluar dari kamar.
“Tuan,” panggil Bibi Rani sambil berlari kecil mengejar Ares.
“Jangan bicara dulu, Bibi. Aku sedang marah. Aku tidak mau menyakiti bibi.” Ares berlari menuruni anak tangga.
Sementara Bibi Rani mendesah sambil mengusap dada. “Semoga saja tidak terjadi apa-apa.”
Saat Ares sampai di ruang makan, semua keluarga sudah berkumpul. Sebelum bergabung, Ares berdehem lebih dulu kemudian berjalan menuju kursinya.
“Di mana Anggun?” tanya Bian.
“Nanti dia menyusul,” jawab Ares singkat.
Untuk menghilangkan kecanggungan yang ada, sebagai kakak paling tertua dari Bian mulai membuka pembicaraan.
“Jadi, kalian berdua akan segera menikah?” tanya Paman Abas
Rangga yang lebih dulu menjawab dengan antusias. “Iya, Paman.”
Di samping Rangga, Mareta terlihat tersenyum malu-malu. Melihat itu sungguh membuat hati Ares terasa sakit.
Sebenarnya tidak ada yang tidak tahu tentang hubungan yang pernah terjalin antara Ares dan Mareta. Mereka tentunya terkejut ketika melihat yang menikah dengan Mareta justru Rangga bukan Ares.
Lalu, siapa calon istri Ares?
“Maaf, saya terlambat.” Suara lirih namun terdengar lembut membuat semua orang menoleh.
Perlahan dan sedikit gemetaran Anggun melangkahkan kaki menuju ke perkumpulan itu. Tak ada yang tak melihat ke arah Anggun. Semua orang pasti sedang mengatakan sesuatu di dalam hatinya masing-masing. Entah apa itu, tak ada yang tahu.
Mereka masih fokus menatap ke arah Anggun, tiba-tiba Adit—anak dari Paman Abas yang masih berumur tuju tahun—berlari mendekat.
“Halo Kakak,” ucapnya pada Anggun. “Ayo duduk.” Adit menarik lengan Anggun dan mengakaknya duduk di samping Ares.
Anggun mengangguk pada semuanya dengan seutas senyum.
Tak ada yang berbeda dari Anggun. Wajahnya masih natural tanpa riasan. Poni dan kepang dua pun masih menjadi ciri khasnya. Yang berbeda hanya pakaian yang dia kenakan saja. Yaitu: dress yang si kasih oleh Bibi Rani tadi.
“Jadi ini yang namanya Anggun?” tanya Bibi Tania (Istri Abas). “Halo, sayang.”
Anggun tersenyum saat Bibi Tania menyapanya. Setidaknya Anggun tidak merasa begitu dikucilkan di sini.
“Perkenalkan, ini Anggun. Dia calon istri Ares.” Bian berdiri memperkenalkan Anggun pada semuanya.
“Jadi ini yang namanya Anggun?” batin Mareta. “Sangat tidak berkelas.”
“Bagaimana mungkin, Ayah bisa menjodohkan Ares dengan gadis seperti itu?” Ares ikut membatin. “Tapi baguslah, dia sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mareta.
Tak ada yang bicara apa-apa lagi, semuanya nampak menikmati setiap hidangan yang tersaji di atas meja.
“Hei, sungguh itukah yang akan menikah dengan Ares?” bisik seorang perempuan yang duduk di samping Tania.
Dia adalah anak dari Abas dan Tania. Itu berati dia kakak dari Adit.
Tania tersenyum ke arah putrinya yang bernama Rara . “Ibu rasa begitu.”
“Apa Ares sedang main-main?” bisik Rara lagi. “Dia sangat. Em? Apa ya?”
“Sudahlah, nikmati makananmu dulu,” hardik tania dengan suara selirih mungkin.
Sadar bahwa dirinya sedang dibicarakan, Ares melirik ke arah Anggun yang masih menikmati makanannya.
“Dasar gadis menyebalkan!” gertak Ares dalam hati. “Kau memang sengaja membuatku malu ya!”
“Kak Anggun,” panggil Adit.
Anggun menoleh. “Iya, kenapa?”
“Kakak kenapa mau menikah dengan Kak Ares?” tanya Adit.
Degh! Anggun terhenyak dengan pertanyaan tersebut. Nampaknya semua orang juga menegang mendengar pertanyaan itu.
Anggun meringis. “E, mungkin ... karena Tuan Ares tampan. Atau, em ... entahlah. Aku tidak tahu.”
“Bisa-bisanya dia menjawab begitu!” batin Ares lagi.
“Kak Ares itu orangnya galak!” seloroh Adit sambil mendengus ke arah Ares.
Yang lain terlihat mengulum senyum melihat tingkah Adit.
“Hei Bocah! Aku tidak galak!” balas Ares sambil melotot.
“Lihat itu!” Adit berbisik di dekat telinga Anggun. “Belum apa-apa dia sudah marah-marah.”
Anggun tersenyum geli. “Tidak apa-apa. Orang galak sebenarnya orang baik,” ucap Anggun sambil tersenyum ke arah Ares.
“Lesung pipi,” celetuk Ares saat itu juga.
“Apa?” Anggun ternganga.
Salah berucap, Ares langsung bergidik dan membuang muka.
“Jadi, kapan kalian akan melasungkan pernikahan?” tanya Abas. “Kalian berdua maksudku?” Abas bergantian menatap Ares dan Rangga.
“Secepatnya,” jawab keduanya secara bersamaan.
Ares dan Rangga saling lirik sebelum akhirnya kembali acuh.
“Wah, sepertinya kalian sudah tidak sabaran,” ucap Tania dengan nada menggoda.
“Tentu saja Bibi,” sahut Rangga sambil menggenggam tangan Mareta di atas meja.
Ares dan Anggun hanya diam. Saling melirik pun tidak. Ini sungguh situasi yang sangat tidak disukai Ares maupun Anggun.
“Apa acara pernikahan akan diadakan secara bersama?” tanya Tania.
“Tidak.” Lagi-lagi Ares dan Rangga menjawab secara bersamaan lagi.
Menghilangkan situasi yang lumayan menegangkan ini, Ana yang sedari tadi hanya diam kini ikut bicara.
“Pernikahan mereka akan dilangsungkan di hari yang berbeda,” jawab Ana. “Rangga ingin pernikahannya dikhususkan untuk dirinya dan Mareta nanti.”
Jawaban itu membuat Ares mengeratkan kuat giginya dan mengepalkan kedua tangannya. Anggun sempat melirik tangan itu sebelum akhirnya Ares berdiri dan memilih pamit meninggalkan meja makan.
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved