Bab 13 Aku Kesal Padamu
by Irma W
16:40,Feb 01,2021
Pagi rupanya sudah datang lagi. Memban adalah hal yang tidak pernah Ares bayangkan sebelumnya.
Bersama Anggun, benarkah? Ares termenung di tepian ranjang dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Matanya masih sayu menahan kantuk yang masih sedikit menempel erat.
Berdiri, kemudian Ares menguap. “Bahkan aku sampai malam mau ngapa-ngapain,” desah Ares sambil menuju ke arah kamar mandi.
Sementara Ares sedang mandi, tiga orang sedang bercengkerama di ruang makan.
“Apa pernikahanku akan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Ares?” tanya Rangga.
“Ayah belum tahu,” sahut Bian. “Ares bilang, dia ingin acara pernikahannya dilangsungkan sendiri.”
“Dia ingin pernikahan yang sangat mewah dan paling megah,” timpal Ana dengan nada sinis.
“Benarkah begitu?” Rangga nampak terkejut.
Ana menaikkan kedua alisnya. “Coba kau tanya ayahmu!” Ana melirik ke arah sang suami yang sedang mengelap bibir menggunakan tisu.
“Ayah,” panggil Rangga secara perlahan namun penuh penekanan.
Bian berdehem. Meneguk air putih barulah kemudian berbicara, “Kalau ayah, inginnya pesta pernikahan kalian dilangsungkan secara bersama saja.”
Rangga terdiam sejenak. Rangga seperti sedang memikirkan sesuatu. Beberapa detik setelah melamun, Rangga terlihat menoleh ke arah ayah dan ibunya bergantian.
“Aku setuju saja kalau di langsungkan bersamaan.”
Mata Ana sontak menyorot tajam ke arah Rangga. Dalam tatapannya itu, beliau mungkin bertanya ‘apa maksudnya'.
“Kita bicarakan nanti dalam pertemuan keluarga.” Bian berdiri. “Ayah sudah siang.”
Setelah mencium kening sang istri, Bian bergegas keluar meninggalkan ruang makan.
“Hei!” Ana menendang kaki putranya yang berada di kolong meja.
Rangga sudah mendelik. “Apa sih, Bu! Kenapa menendangku?”
Ana menoleh ke sana kemari untuk melihat ke sekeliling. “Kau yakin mau melaksanakan pernikahanmu bersamaan dengan Ares?”
Rangga mengangguk. “Aku mau-mau saja. Bukankah itu akan ramai?” seringaian muncul di wajah Ares.
“Apa kau yakin?” tanya Ana. “Ibu hanya mau kau yang dikagumi semua orang.”
“Ibu ....” Rangga tersenyum lalu meraih tangan ibunya. “Tentu saja semua orang anak mengagumiku dan Mareta. Memangnya siapa yang akan mengagumi Ares dan pasangannya itu?”
Saat Rangga menaikkan alis diikuti seringaian lagi, barulah Ana paham dengan maksud putranya itu.
“Ssht, di datang!” bisik Rangga saat melihat Ares menuruni anak tangga.
Rangga dan ibunya sontak pura-pura sedang asik ngobrol sambil tertawa. Melihat akan hal itu, Ares hanya acuh dan langsung berlenggak ke luar rumah.
“Picik sekali pikiran kalian!” seloroh Ares saat sudah duduk di dalam mobil.
Ares memasang sabuk pengaman dengan grusa-grusu. “Kalian pikir, hanya Rangga yang akan dikagumi semua orang? Dasar gila!”
Mobil melaju dengan cepat menembus angin dan jalanan yang mulai memadat di pertengahan jalan raya kota. Semua orang nampaknya tak ada yang mau mengalah untuk membiarkan mobil lain mendahuluinya.
Saat hendak berbelok mengarah ke Gareesa Resto, Ares mendadak mengerem mobilnya. Dan saat itu juga, terdengar teriakan dari luar sana.
Ares yang terkejut hingga tubuhnya terasa menegang, segera melepas sabuk yang melingkar di tubuhnya. tergesa-gesa, Ares langsung membuka pintu mobil dengan cepat dan keluar.
“Kau buta ya!” gertak Ares saat mendapati seorang wanita yang tengah berjongkok dengan kepala ditangkup di depan mobilnya.
Wanita yang berjongkok itu perlahan-lahan berdiri. Kedua tangannya terlihat memeluk tasnya dengan erat lalu kemudian memutar badan menoleh ke arah gertakan itu.
“Ka-kau!” Ares mendelik saat mendapati wajah wanita itu tidaklah asing.
“Tu-Tuan Ares?” pekik Anggun yang sama terkejutnya.
Tubuh Anggun terasa menggigil. Getaran tubuhnya pun terasa semakin hebat. Anggun sedang ketakutan.
“Kalau menyeberang lihat-lihat!” gertak Ares lagi. Anggun hanya mengerjapkan mata sambil bertahan memeluk tasnya.
Sepertinya bukan hanya tas yang ia peluk, tapi terlihat seperti ada lembaran kertas tang terbungkus map berbahan mika.
“Jangan-jangan kau mau mati ya?” seloroh Ares tanpa hati. “Lain kali kalau jalan pakai matamu! Singkirkan poni itu!” Ares menoyor kening Anggun hingga mendongak.
“Maaf, Tuan. Aku permisi.” Tidak mau berlama-lama mendapat bentakan, Anggun memilih pergi.
“Heh!” Ares menarik ujung satu kepang Anggun. “Mau ke mana kau?” tanya Ares sinis.
Tak mau merasakan sakit di bagian kepala karena tarikan rambut, terpaksa Anggun mundur lagi. “A-aku ... aku mau pergi, tuan. Aku masih ada keperluan.”
“Enak saja!” sembur Ares. “Masuk!”
“Masuk ke mana?” tanya Anggun bingung.
“Ke dalam mobil. Kau pikir masuk ke mana, ha!” salak Ares melotot.
Anggun terjungkat hingga mengatupkan matanya lagi.
“Cepat!” hardik Ares.
Kali ini Anggun bukan hanya terjungkat melainkan langsung melompat. “I-iya, Tuan.”
Ares mendengus lalu ikut masuk. “Dasar merepotkan!”
Mobil melaju dalam kesunyian. Tak ada yang bicara hingga mobil sudah melesat semakin jauh. Anggun yang gugup dan ketakutan, masih tetap memeluk tasnya dengan erat.
“Apa yang kau bawa?” tanya Ares.
“E, yang mana, Tuan?” sahut Anggun bingung.
“Semuanya!” dengus Ares.
Anggun menggigit bibir bawahnya sambil meremas jemari yang gemetaran. Di samping Anggun—Ares yang sempat melirik sedikit terkejut dengan tingkah itu—jujur saja sedikit tergoda.
“Em, ini ... aku sedang mencari pekerjaan,” jawab Anggun akhirnya.
“Bukankah kau sudah bekerja?” tanya Ares.
Ares masih ingat saat dirinya berkunjung ke rumah Anggun waktu itu. Ibu dan saudara tirinya bilang kalau Anggun sedang bekerja.
“A-aku, aku dipecat.” Anggun menunduk sambil menggigit bibir lagi.
“Dipecat?” pekik Ares. “Kok bisa? Kau pasti tidak disiplin kan? Cih!”
“Tidak, Tuan. Bukan begitu, tapi ....”
“Tapi apa?” Ares menoleh sekilas sebelum kembali fokus menyetir lagi. “Bilang saja kalau kau memang tidak becus bekerja.”
“Kenapa Tuan bilang begitu?” Anggun meninggikan suaranya hingga membuat Ares menghentikan mobilnya mendadak.
Mobil sebenarnya berhenti tepat di halaman rumah Anggun.
“Heh, kau membentakku ya?” Ares tak kalah menyolot. “Berani sekali kau!”
“Bu-bukan begitu, Tuan.” Anggun menggigit bibirnya lagi sambil mengibaskan telapak tangan.
Sial! Kenapa dia terlihat seksi saat menggigit bibirnya? Ares sedang meracau di dalam hati.
“Halah, alasan!” timpal Ares. “Bilang saja kau memang tidak becus!”
“Terserah Tuan saja!” Anggun mendengus.
Anggun kemudian memutar badan—membuka pintu mobil—lalu kemudian keluar dengan wajah merengut.
“Dasar pria angkuh!” celetuk Anggun sambil menutup pintu.
“Kau bilang apa?” Ares membelalak saat mendengar kalimat pendek itu.
Merasa tak terima dengan perkataan Anggun, Ares yang awalnya tak berniat turun dari mobil terpaksa ikut turun.
“Tunggu!” teriak Ares. “Enak saja main kabur!” Ares mendekat.
Menghela napas panjang, Anggun berhenti lalu menoleh. “Aku tidak kabur. I ini kan rumahku, aku hanya mau masuk.”
“Berani sekali kau padaku!” Ares meraih lengan Anggun lalu mencengkeram dengan kuat.
Anggun yang mulai merasa kesakitan terlihat meringis. “Sakit, Tuan.”
“Aku sudah mengantarmu pulang, kau malah nyelonong begitu saja!” sembur Ares. “Dasar tidak tahu terimakasih!”
Anggun mendesis sambil mencoba menarik tangannya. “Bukan begitu. Aku, aku hanya kesal.”
Ares menyeringai dengan satu tangan menyugar rambut ke belakang. “Kesal ya? Kau kesal padaku? Iya begitu!” gertak Ares di akhir kalimat.
“Iya!” Anggun mengibas tangan hingga terlepas. “Aku kesal. Aku kesal padamu! Kau membuatku dipecat. gara-gara kau aku kemarin bolos kerja! Dan sekarang aku pengangguran!”
Ares melongo melihat racauan Anggun sambil menangis.
***
Bersama Anggun, benarkah? Ares termenung di tepian ranjang dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Matanya masih sayu menahan kantuk yang masih sedikit menempel erat.
Berdiri, kemudian Ares menguap. “Bahkan aku sampai malam mau ngapa-ngapain,” desah Ares sambil menuju ke arah kamar mandi.
Sementara Ares sedang mandi, tiga orang sedang bercengkerama di ruang makan.
“Apa pernikahanku akan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Ares?” tanya Rangga.
“Ayah belum tahu,” sahut Bian. “Ares bilang, dia ingin acara pernikahannya dilangsungkan sendiri.”
“Dia ingin pernikahan yang sangat mewah dan paling megah,” timpal Ana dengan nada sinis.
“Benarkah begitu?” Rangga nampak terkejut.
Ana menaikkan kedua alisnya. “Coba kau tanya ayahmu!” Ana melirik ke arah sang suami yang sedang mengelap bibir menggunakan tisu.
“Ayah,” panggil Rangga secara perlahan namun penuh penekanan.
Bian berdehem. Meneguk air putih barulah kemudian berbicara, “Kalau ayah, inginnya pesta pernikahan kalian dilangsungkan secara bersama saja.”
Rangga terdiam sejenak. Rangga seperti sedang memikirkan sesuatu. Beberapa detik setelah melamun, Rangga terlihat menoleh ke arah ayah dan ibunya bergantian.
“Aku setuju saja kalau di langsungkan bersamaan.”
Mata Ana sontak menyorot tajam ke arah Rangga. Dalam tatapannya itu, beliau mungkin bertanya ‘apa maksudnya'.
“Kita bicarakan nanti dalam pertemuan keluarga.” Bian berdiri. “Ayah sudah siang.”
Setelah mencium kening sang istri, Bian bergegas keluar meninggalkan ruang makan.
“Hei!” Ana menendang kaki putranya yang berada di kolong meja.
Rangga sudah mendelik. “Apa sih, Bu! Kenapa menendangku?”
Ana menoleh ke sana kemari untuk melihat ke sekeliling. “Kau yakin mau melaksanakan pernikahanmu bersamaan dengan Ares?”
Rangga mengangguk. “Aku mau-mau saja. Bukankah itu akan ramai?” seringaian muncul di wajah Ares.
“Apa kau yakin?” tanya Ana. “Ibu hanya mau kau yang dikagumi semua orang.”
“Ibu ....” Rangga tersenyum lalu meraih tangan ibunya. “Tentu saja semua orang anak mengagumiku dan Mareta. Memangnya siapa yang akan mengagumi Ares dan pasangannya itu?”
Saat Rangga menaikkan alis diikuti seringaian lagi, barulah Ana paham dengan maksud putranya itu.
“Ssht, di datang!” bisik Rangga saat melihat Ares menuruni anak tangga.
Rangga dan ibunya sontak pura-pura sedang asik ngobrol sambil tertawa. Melihat akan hal itu, Ares hanya acuh dan langsung berlenggak ke luar rumah.
“Picik sekali pikiran kalian!” seloroh Ares saat sudah duduk di dalam mobil.
Ares memasang sabuk pengaman dengan grusa-grusu. “Kalian pikir, hanya Rangga yang akan dikagumi semua orang? Dasar gila!”
Mobil melaju dengan cepat menembus angin dan jalanan yang mulai memadat di pertengahan jalan raya kota. Semua orang nampaknya tak ada yang mau mengalah untuk membiarkan mobil lain mendahuluinya.
Saat hendak berbelok mengarah ke Gareesa Resto, Ares mendadak mengerem mobilnya. Dan saat itu juga, terdengar teriakan dari luar sana.
Ares yang terkejut hingga tubuhnya terasa menegang, segera melepas sabuk yang melingkar di tubuhnya. tergesa-gesa, Ares langsung membuka pintu mobil dengan cepat dan keluar.
“Kau buta ya!” gertak Ares saat mendapati seorang wanita yang tengah berjongkok dengan kepala ditangkup di depan mobilnya.
Wanita yang berjongkok itu perlahan-lahan berdiri. Kedua tangannya terlihat memeluk tasnya dengan erat lalu kemudian memutar badan menoleh ke arah gertakan itu.
“Ka-kau!” Ares mendelik saat mendapati wajah wanita itu tidaklah asing.
“Tu-Tuan Ares?” pekik Anggun yang sama terkejutnya.
Tubuh Anggun terasa menggigil. Getaran tubuhnya pun terasa semakin hebat. Anggun sedang ketakutan.
“Kalau menyeberang lihat-lihat!” gertak Ares lagi. Anggun hanya mengerjapkan mata sambil bertahan memeluk tasnya.
Sepertinya bukan hanya tas yang ia peluk, tapi terlihat seperti ada lembaran kertas tang terbungkus map berbahan mika.
“Jangan-jangan kau mau mati ya?” seloroh Ares tanpa hati. “Lain kali kalau jalan pakai matamu! Singkirkan poni itu!” Ares menoyor kening Anggun hingga mendongak.
“Maaf, Tuan. Aku permisi.” Tidak mau berlama-lama mendapat bentakan, Anggun memilih pergi.
“Heh!” Ares menarik ujung satu kepang Anggun. “Mau ke mana kau?” tanya Ares sinis.
Tak mau merasakan sakit di bagian kepala karena tarikan rambut, terpaksa Anggun mundur lagi. “A-aku ... aku mau pergi, tuan. Aku masih ada keperluan.”
“Enak saja!” sembur Ares. “Masuk!”
“Masuk ke mana?” tanya Anggun bingung.
“Ke dalam mobil. Kau pikir masuk ke mana, ha!” salak Ares melotot.
Anggun terjungkat hingga mengatupkan matanya lagi.
“Cepat!” hardik Ares.
Kali ini Anggun bukan hanya terjungkat melainkan langsung melompat. “I-iya, Tuan.”
Ares mendengus lalu ikut masuk. “Dasar merepotkan!”
Mobil melaju dalam kesunyian. Tak ada yang bicara hingga mobil sudah melesat semakin jauh. Anggun yang gugup dan ketakutan, masih tetap memeluk tasnya dengan erat.
“Apa yang kau bawa?” tanya Ares.
“E, yang mana, Tuan?” sahut Anggun bingung.
“Semuanya!” dengus Ares.
Anggun menggigit bibir bawahnya sambil meremas jemari yang gemetaran. Di samping Anggun—Ares yang sempat melirik sedikit terkejut dengan tingkah itu—jujur saja sedikit tergoda.
“Em, ini ... aku sedang mencari pekerjaan,” jawab Anggun akhirnya.
“Bukankah kau sudah bekerja?” tanya Ares.
Ares masih ingat saat dirinya berkunjung ke rumah Anggun waktu itu. Ibu dan saudara tirinya bilang kalau Anggun sedang bekerja.
“A-aku, aku dipecat.” Anggun menunduk sambil menggigit bibir lagi.
“Dipecat?” pekik Ares. “Kok bisa? Kau pasti tidak disiplin kan? Cih!”
“Tidak, Tuan. Bukan begitu, tapi ....”
“Tapi apa?” Ares menoleh sekilas sebelum kembali fokus menyetir lagi. “Bilang saja kalau kau memang tidak becus bekerja.”
“Kenapa Tuan bilang begitu?” Anggun meninggikan suaranya hingga membuat Ares menghentikan mobilnya mendadak.
Mobil sebenarnya berhenti tepat di halaman rumah Anggun.
“Heh, kau membentakku ya?” Ares tak kalah menyolot. “Berani sekali kau!”
“Bu-bukan begitu, Tuan.” Anggun menggigit bibirnya lagi sambil mengibaskan telapak tangan.
Sial! Kenapa dia terlihat seksi saat menggigit bibirnya? Ares sedang meracau di dalam hati.
“Halah, alasan!” timpal Ares. “Bilang saja kau memang tidak becus!”
“Terserah Tuan saja!” Anggun mendengus.
Anggun kemudian memutar badan—membuka pintu mobil—lalu kemudian keluar dengan wajah merengut.
“Dasar pria angkuh!” celetuk Anggun sambil menutup pintu.
“Kau bilang apa?” Ares membelalak saat mendengar kalimat pendek itu.
Merasa tak terima dengan perkataan Anggun, Ares yang awalnya tak berniat turun dari mobil terpaksa ikut turun.
“Tunggu!” teriak Ares. “Enak saja main kabur!” Ares mendekat.
Menghela napas panjang, Anggun berhenti lalu menoleh. “Aku tidak kabur. I ini kan rumahku, aku hanya mau masuk.”
“Berani sekali kau padaku!” Ares meraih lengan Anggun lalu mencengkeram dengan kuat.
Anggun yang mulai merasa kesakitan terlihat meringis. “Sakit, Tuan.”
“Aku sudah mengantarmu pulang, kau malah nyelonong begitu saja!” sembur Ares. “Dasar tidak tahu terimakasih!”
Anggun mendesis sambil mencoba menarik tangannya. “Bukan begitu. Aku, aku hanya kesal.”
Ares menyeringai dengan satu tangan menyugar rambut ke belakang. “Kesal ya? Kau kesal padaku? Iya begitu!” gertak Ares di akhir kalimat.
“Iya!” Anggun mengibas tangan hingga terlepas. “Aku kesal. Aku kesal padamu! Kau membuatku dipecat. gara-gara kau aku kemarin bolos kerja! Dan sekarang aku pengangguran!”
Ares melongo melihat racauan Anggun sambil menangis.
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved