Bab 12 Semua karena Ada Alasan

by Irma W 16:40,Feb 01,2021
Melihat Ares sudah beranjak pergi, bukan Anggun yang mengejarnya, melainkan Rena. Anggun masih dalam posisi duduknya dengan perasaan yang entah seperti apa karena sulit dijelaskan.

“Ares, tunggu!” Rena menyusul Ares ke lantai dua.

Rena berhasil meraih tangan Ares sebelum berhasil masuk kamar. “Tunggu sebentar!” tekan Rena.

Ares membuang napas. Mengusap wajahnya sambil berdecak lalu berjalan ke arah balkon. Di belakang, Rena mengikuti.

“Dia sungguh calon istrimu?” tanya Rena.

“Iya. Apa? Kau mau bilang kau dia itu jelek kan?” sungut Ares sebal.

Rena terhenyak. Sebelum bersandar pada pondasi pembatas, Rena menaikkan satu ujung bibirnya kemudian menoyor pelipis Ares.

“Siapa bilang dia jelek?” sahut Rena. “Dia cantik, Cuma ... em—” Rena terlihat mengusap-usap dagu.

“Halah! Bilang saja kalau dia jelek!” sungut Ares. “Semua orang pasti akan berkata begitu.”

“Menurutku dia tidak jelek. Dia jauh lebih enak dipandang daripada Mareta,” kata Rena lagi.

Ares memutar kepala dengan lirikan tajam. “Jelas saja dia jauh dengan Mareta. Mareta berkelas dan cantik.”

Sekali lagi Rena menoyor kepala Ares. “Jadi, kau memang masih mencintai Mareta ya?”

Ares mendadak terdiam. Ares berekspresi datar sambil melipat kedua tangan di atas pondasi setinggi satu meter dengan tubuh membungkuk.

“Aku tidak tahu.” Ares menggeleng. “Aku hanya tidak suka melihat Mareta bersama Rangga.”

Rena diam sejenak. Diam untuk memikirkan sesuatu yang lebih pas untuk di katakan.

“Mareta itu sudah meninggalkanmu, tak seharusnya kau masih memikirkannya.”

Ares membalikkan badan dan kini bersandar pada pondasi tersebut. “Aku tahu. Aku hanya merasa tidak rela mereka bermesraan di hadapanku.”

“Kalau begitu, kenapa kau tidak membalasnya?” Anggun menaikkan kedua pundak di ikuti satu telapak tangan menengadah. “Jangan mau kalah dong!”

“Membalas dengan apa?” Ares melotot.

“Tentu saja bermesraan dengan Anggun.”

“Kau sudah gila ya!” gertak Ares saat itu juga. “Kau pikir aku apa, sampai harus bermesraan dengan Anggun, ha!”

Berdecak sebal, Rena kembali menggembeleng kepala Ares. Berbeda dengan tadi, kali ini Rena lakukan dengan sepenuh tenaga.

“Kenapa kau malah membentakku?” Rena gantian melotot. “Aku kan hanya memberi solusi.”

“Tapi tidak dengan Anggun juga, kan?” Ares mengacak rambutnya sendiri.

“Memangnya yang salah dari Anggun itu apa? Dia cantik. Em, hanya penampilannya saja yang kuno. Ah, bukan kuno juga, tapi lebih terlihat seperti anak kecil,” ujar Reba panjang lebar.

Ares mendesah. “Nah, itu kau tahu.”

“Eh, ngomong-ngomong, Anggun itu umur berama?” tanya Rena.

“Mana Aku tahu! Memangnya aku ayahnya!” tampis Ares.

“Bukan begitu, aku hanya melihat kalau dia itu masih umur belasan tahun.” Anggun menjawab lagi.

“Aku tidak peduli. Yang jelas aku benci dengan Anggun!” gertak Ares. “Aku heran, kenapa ayahku menjodohkanku dengan dia? Aku juga bisa cari wanitaku sendiri.”

“Hm, mungkin ada alasannya,” sahut Rena. “Yang jelas pasti untuk kebaikanmu.”

“Kebaikan apa!” Ares menaikkan kedua alisnya.

“Entahlah ....” Rena angkat bahu. “Tidakkah kau berpikir semua ini karena ulahmu sendiri?” Rena menatap serius.

“Apa maksudmu?” tanya Ares.

“Tidak ada wanita yang betah bersamamu. Mereka memilih meninggalkanmu dalam waktu dekat. Ya ... kecuali untuk Mareta yang bisa bertahan satu tahun denganmu.”

“Kau itu sedang bicara apa?” tanya Ares yang sama sekali tidak paham.

“Kau selalu ditinggalkan kekasihmu. Aku yakin itu karena sifatmu yang arogan dan posesif. Mungkin ayahmu sadar akan hal itu, lalu mencarikanmu wanita yang mungkin bisa bertahan lama denganmu.”

Degh! Ares terpaku diam. Bibirnya mengatup rapat seolah tak punya jawaban untuk membalas kalimat panjang yang dilontarkan Rena.

“Pikirkan matang-matang. Anggun itu gadis baik-baik. Kau harus putuskan, apa mau lanjut ataukah berhenti.”

Rena masih terus berceramah dan sepertinya berhasil menyihir Ares.

“Tidak ada yang salah dengan Anggun. Kenali dulu dia seperti apa, maka baru kau putuskan!”

Rena menatap dalam-dalam pada Ares lalu kemudian berlenggak pergi meninggalkan Ares yang masih terdiam.

Sampai di lantai bawah, posisi penghuni rumah sudah tidak di ruang makan lagi. Mereka kini sedang duduk di ruang keluarga. Namun, yang terlihat hanya keluarga Ares saja. Ayah, ibu dan adik Rena sudah tidak ada. Pun dengan Anggun dan Mareta.

“Di mana Ares?” tanya Bian saat Rena kembali tanpa Ares.

“Dia di atas,” jawab Rena. “Apa semua orang sudah pulang? Di mana Anggun?” tanya Rena saat mendapati Anggun sudah tidak ada di tempat.

“Dia sudah pulang, diantar Mareta,” jawab Rangga.

“Berdua saja?” tanya Rena lagi.

“Iya.” Rangga mengangguk. “Kenapa memangnya?” tanya Rena.

“Tidak. Harusnya biar Ares yang mengantarnya pulang,” sahut Rena kemudian duduk di atas sofa yang menghadap ke arah TV.

“Kau mau kemana?” tanya Ana saat suaminya beranjak dari tempat duduk.

“Aku mau ke atas dulu,” jawab Bian. “Mungkin aku harus bicara dengan Ares.

Ana mendesah dengan wajah pias. Kemudian Ana membiarkan suaminya pergi ke lantai dua.

“Hei, Rena! Bagaimana menurutmu?” Rangga dudu menjejeri Rena.

“Apa?” sahut Rena malas.

“Calon istri Ares? Bukankah dia sangat cocok dengannya?” Rangga tertawa geli.

Rena yang merasa terganggu dengan Rangga, langsung membalas. “Tentu saja. Anggun cantik. Menurutku dia juga bukan tipe wanita materialistis.”

Nada bicara itu terdengar sangat mengganggu untuk Rangga. “Apa maksudmu?”

“Tidak ada.” Rena angkat bahu. “Aku hanya merasa kalau Anggun memang cocok untuk Ares karena dia terlihat wanita sempurna.”

Rangga menguatkan gigi dan rahang. kemudian setelah mendesah berat, Rangga berdiri meninggalkan Rena.

“Dasar pria tidak waras!” sembur Rena saat sudah tidak ada orang di ruangan ini.

Sementara di lantai atas, Bian sudah berada di kamar Ares. Itupun karena tadi Bian sempat mengetuk pintu berulang-ulang kali.

“Ada apa? Apa tentang Anggun?” Ares langsung bertanya.

Bian menghela napas lalu duduk di kursi menghadap ke arah Ares yang sedang bersandar pada bibi pintu menuju balkon kamarnya.

“Ayah tidak main-main dengan perjodohan ini. Kau harus tahu, ini adalah wasiat dari kakekmu.”

“Kakekku?” pekik Ares.

Ares mulai penasaran. Ares pun duduk di tepi ranjang yang jaraknya lebih dekat dengan posisi ayahnya duduk.

“Suatu saat ayah akan ceritakan semuanya secara bertahap. Tapi untuk saat ini, ayah mohon seriuslah dengan pernikahanmu.”

Ares terdiam. Ia tak bisa marah ketika melihat ayahnya berwajah sendu. Jika seperti itu, itu berarti memang tidak ada kata main-main dalam perjodohan ini.

“Menikahlah dengan Anggun. Kenali dia dengan baik.” Ayah berkata lagi.

“Tapi kenapa harus gadis seperti Anggun? Aku terlihat seperti pria menyedihkan yang sudah tidak laku,” dengus Ares.

“Perlahan kau akan tahu jawabannya.”

Bian berdiri. Melempar senyum sekilas lalu berjalan keluar meninggalkan Ares.

***

Download APP, continue reading

Chapters

57