Bab 15 Sebuah Kecupan

by Irma W 16:42,Feb 01,2021
Keesokan harinya, seseorang datang membawa bungkusan di dalam paperbag berukuran besar. Tidak tahu siapa itu, karena orangnya hanya mengatakan kalau dirinya diperintahkan membawa hadiah untuk Nona Anggun.

“Benarkah ini untuk Anggun?” tanya Tika tidak percaya.

Pengantar barang itu mengangguk kemudian pamit pergi.

“Banyak sekali ...,” gumam Tika.

Tanpa rasa sopan, Tika memasukkan satu tangannya lalu membolak-balik sesuatu yang ada di dalam paperbag.

Bukan dibawa kepada si penerima yang asli, Tika justru membongkar bungkusan tersebut sesampainya di ruang tengah.

“Apa itu, sayang?” tanya Maya.

“Kiriman untuk Anggun katanya,” sahut Tika.

Maya mendekat dan langsung ikut mengecek isi bungkusan itu. Sementara di belakang mereka, Anggun yang sempat mendengar pembicaraan itu berjalan mendekat.

“Apa yang dimaksud untukku, ibu?” tanya Anggun.

“Tidak ada. Tidak ada apa-apa untukmu,” timpal Tika sinis.

Dua lembar baju sudah terjembreng oleh ulah tika. Sementara Maya juga sedang mengamati Tika yang sedang mengagumi pakaian tersebut.

Ada satu jumsuit, blus tipis berlengan gelembung dengan pasangan short jeans dan satu lagi ada dress sederhana polos. Tiga pakaian itu sedang di bongkar—amati—oleh Tika tanpa peduli pemiliknya.

“Aku tidak yakin kiriman ini untukmu,” cibir Tika sambil membopong pakaian tersebut. “Awas minggir!” Tika menyingkirkan Anggun yang dirasa menghalangi jalannya.

“Tapi, tapi itu kan?” Anggun mengejar Tika.

“Apa sih!” dengus Tika. “Ibu, kumohon singkirkan dia,” rengek Tika pada ibunya.

“Hei, Anggun.” Maya menarik lengan Anggun paksa. “Itu bukan baju untukmu.”

“Tapi, Bu ...”

“Sudahlah, jangan membantah! Semarang kau pergi saja sana. Kau kan harus cari pekerjaan baru,” perintah Maya sambil mendorong tubuh Anggun.

Anggun kemudian diam. Mengatupkan bibir rapat-rapat—menunduk—dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah.

Sampai di halaman rumah, ponsel di dalam tas berbunyi. Anggun akhirnya berhenti tepat di depan gerbang rumahnya yang hanya setinggi satu meter saja.

“Nomor siapa ini?” gumam Anggun saat nomor yang terpampang di layar pipih tersebut tanpa nama.

Ragu-ragu, akhirnya Anggun menjawab panggilan tersebut. “Halo, ini siapa?”

“Heh, culun!” suara di sana langsung menyembur hingga Anggun menjauhkan ponsel dari dekat telinga.

“Cepat datang ke rumah!” suara dari seberang sana terdengar nyaring lagi.

Anggun mengerjap-kerjapkan matanya. mengingat-ingat siapa pemilik suara serak berat tersebut.

“Apa ini Tuan Ares?” dengan polosnya Anggun bertanya.

“Kau pikir siapa!” salak Ares dan berhasil membuat Anggun mengerjapkan mata lagi. “Cepat ke sini!”

“Ta-tapi, Tuan. aku—”

“Tidak ada tapi-tapian!”

Tut! Ponsel terputus. Anggun sontak mendelik sempurna. Sesaat kemudian, Anggun menggeram sambil meremas ponselnya sendiri.

“Kalau begini, aku kapan bisa dapat pekerjaan!” Anggun merengek sendirian.

Belum selesai dengan rasa kesal, sebuah pesan singkat masuk membuat Anggun terhenyak semakin tersulut emosi.

(Cepat datang, atau kau mau mati!)

Pesan tanpa perasaan yang dikirim sari Ares.

“Ayah, kenapa ayah tega sekali menjodohkanku dengan pria seperti ini?” keluh Anggun saat dua kakinya sudah melaju untuk mencari angkutan.

Dan saat itulah—bis dikatakan sebuah keberuntungan atau bukan—sebuah taksi berwarna biru melintas. Anggun bergegas masuk ke dalamnya dan mengatakan pada supir menuju alamat tujuan.

“Di mana Anggun?” tanya Bian pada Ares.

“Belum datang.” Ares memutar tumit lalu duduk di sofa ruang tamu.

Sementara di dalam sana— di ruang keluarga—sudah ada Rangga, Mareta dan Ana.

“Kau sungguh setuju dengan pernikahan ini kan?” tanya Bian.

“Memangnya kalau aku tidak setuju, ayah tidak memaksaku untuk setuju?” Ares menyahuti dengan nada cibiran.

“Bukan begitu Ares ....”

“Sudahlah, Ayah.” Ares berdiri. “Jangan dibahas lagi. Intinya aku sudah menuruti kemauan ayah kan?”

Bian menghela napas sambil memandangi punggung Ares yang semakin menjauh menuju lantai dua.

“Siang, Paman?” sapa Anggun dengan sopan.

Pintu ruang tamu terbuka lebar, itu sebabnya Anggun langsung masuk saja. Dan beruntung, di ruang tamu sudah ada ayahnya Ares.

“Anggun, kau sudah datang?” kata Bian. “Ayo masuk.”

Anggun mengangguk kemudian menurut saja saat Paman Bian mengajaknya masuk ke ruang tengah.

Tiga orang yang sedang bercengkerama sambil cekikikan, mendadak senyap saat melihat kedatangan Anggun. Ada tatapan sinis dan tak suka dari mereka. Mungkin semuanya memang tidak suka.

Teruntuk Mareta sendiri, dia menaikkan satu ujung bibirnya sambil memandangi tampilan Anggun yang kuno. Rok plisket di bawah lutut, lalu bagian atas mengenakan blus polos berkerah.

Risih karena mendapat tatapan aneh, Anggun memilih menunduk.

“Anggun,” panggil Bian.

“Iya, Paman.” Anggun menoleh.

“Kau naik saja ke lantai dua. Ares di sana. Ajak dia untuk segera turun,” pinta Bian lembut.

“Tapi, Paman ...” Anggun ragu.

“Tidak apa-apa. Ares juga sudah menunggumu.”

Dari pada mendapat tatapan aneh tanpa diberi sambutan oleh ketiga orang itu, mungkin lebih baik menuruti perintah Paman Bian. Setidaknya Anggun lebih nyaman mendapat bentakan dari Ares ketimbang menghadapi orang sinis itu.

“Kenapa kalian sangat tidak sopan?” sesal Bian pada mereka bertiga.

“Apa maksudmu?” tanya Ana. Ana mendekati suaminya yang berdiri tak jauh dari anak tangga.

“Dia itu sebentar lagi juga bagian dari keluarga ini. Tidak bisakah kalian sedikit menyambutnya?” Bian geleng-geleng kepala diikuti helaan napas.

Mareta yang merasa ikut tersindir, segera membuang muka dan pura-pura tidak menghiraukan.

“Hei suamiku,” panggil Ana. “Bagaimana kita bisa menyambutnya kalau tampilannya saja sangat tidak selevel dengan kita,” kata Maya dengan sombongnya.

Lagi-lagi Bian menggelengkan kepala. “Kau yang memilihkan dia untuk Ares kan? Harusnya kau bisa menerima dia seperti kau menerima Mareta.”

“Hei, itu lain,” saur Ana. “Mareta sangat berkelas. Dan ingat, Aku memilih Anggun juga karena kau sendiri yang bilang kalau mereka berdua memang sudah dijodohkan sejak lama.” Kalimat itu Ana ucapkan dengan nada berbisik.

Bian kali ini menghela napas berat. Meraup wajahnya kemudian berjalan lebih dulu keluar dari rumah. “Aku tunggu di mobil,” kata Bian.

Beralih ke lantai atas, Anggun sudah berdiri sedari tadi di depan pintu kamar Ares. Anggun hanya mondar-mandir karena gugup saat hendak mengetuk pintu.

Ketika satu tangan Anggun sudah terangkat dan hampir mengetuk pintu, pintu tersebut justru terbuka. Seseorang berbadan tegap dan tinggi mengenakan jeans hitam dan kemeja biru laut, muncul dari balik pintu tersebut.

Anggun diam sejenak. Bola matanya tidak berkedip memandangi ketampanan pria di hadapannya saat ini. Sementara Ares sendiri, ia justru tengah terperanjat mendapati tampilan Anggun yang tak sesuai harapan.

“Hei, kau!” Ares menoyor kening Anggun hingga lamunan kekaguman buyar. “Kenapa berpakaian seperti ini?”

Anggun menunduk mengamati tampilannya sendiri. “Apa yang salah?” tanya Anggun.

Ares berdecak. “Kenapa baju yang aku kirim tak kau pakai, ha?” Ares melotot.

“Baju? Baju yang—” kalimat Anggun terhenti. Anggun teringat dengan baju yang Tika bongkar tadi pagi.

“Jadi ... jadi baju itu memang untukku?” tanya Anggun memastikan.

“Astaga!” Ares mengusap kasar wajahnya sendiri. “Kau pikir untuk siapa?”

“Ta-tapi, tapi Tika bilang ... itu bukan baju untukku.”

“Dan kau percaya?” Ares mendelik. “Dasar bodoh!”

Anggun terdiam, dua tangannya mencengkeram selempang tas dengan kuat. Sambil menggigit-bibir bawahnya yang tebal, Anggun kemudian menunduk.

“Jangan menggigit bibir di hadapanku!” hardik Ares.

***

Download APP, continue reading

Chapters

57