Bab 10 Membahas Pernikahan

by Irma W 16:07,Feb 01,2021
Mobil sudah memasuki pekarangan rumah. Saat sudah terparkir dengan benar, para penghuninya pun segera beranjak keluar melalui pintu masing-masing.

“Hei kau!” panggil Ares saat Anggun sedang berdiri sambil mengamati bangunan rumah mewah tersebut.

Anggun menoleh dengan cepat, hingga kedua kepang rambutnya terkibas sampai di atas pundak.

“Ada apa, Tuan?” tanya Anggun.

“Jangan membuatku malu. Ingat!” Ares mengacungkan jari telunjuk dengan sorot mata tajam.

“Memangnya aku membuat malu dalam hal apa?” tanya Anggun polos.

“Hei!” Ares menarik ujung kepang Anggun lagi. “Kau itu calon istriku, jadi bersikaplah layaknya wanita papan atas. Lihatlah dirimu! Aku menyuruhmu berdandan rapi kau tetap saja mengepang rambutmu. Dan bajumu itu, sungguh norak!”

Anggun merengut sambil mengamati tampilannya sendiri. “Sepertinya tidak ada yang salah kan?” gumam Anggun.

Ares mencebik lalu memutar pandangan ke arah Nando. “Bawa dia ke kamarku. Nanti aku menyusul.”

Nando mengangguk dan mempersilahkan Anggun untuk segera mengikutinya.

“Tu-tunggu!” Anggun berhenti di depan Ares. “Apa maksudnya ke kamar?” tanya Anggun panik.

“Hei lusuh! Kau jangan mengkhayal terlalu tinggi!” Ares mensejajarkan wajahnya dengan wajah Anggun. “Ikuti saja Nando.”

Anggun merengut dan berdecak sebal. Sambil meremas-remas bajunya Anggun terpaksa mengikuti langkah Nando yang katanya akan membawa masuk ke dalam kamar Ares.

Sementara Ares sendiri, dia memilih pergi ke taman belakang. Duduk di tepi kolam renang sambil memainkan air dengan satu kakinya yang menjuntai ke bawah.

“Tuan,” kejut seseorang sambil menepuk pundak Ares.

Ares lantas menoleh. “Bibi Rani,” ucap Ares sambil tersenyum.

“Kenapa di sini sendirian?” tanya Bibi Rani.

“Tidak apa, Bi. Aku sedang ingin duduk saja,” jawab Ares.

Bagi Ares, Bibi Rani adalah sosok wanita yang berhasil meraih hati Ares sejak pertama tinggal di sini. Bibi Rani bisa Ares anggap sebagai seorang ibu. Setidaknya Bibi Rani jauh lebih baik dari pada seorang ibu tiri.

Menghela napas, Bibi Rani ikut duduk. “Apa masih memikirkan perjodohan itu?” tanya Bibi Rani.

Ares mengangguk dengan senyum pias. “Aku tidak tahu apa aku memilih jalan yang benar atau tidak.”

Ares meraup wajahnya sendiri sambil membuang napas. Terkadang sebuah pilihan bisa membebani hari seseorang.

“Nona Anggun cantik,” celetuk Bibi Rani tiba-tiba. “Bahkan dia terlihat manis.”

“Apa Bibi sedang bergurau?” tanya Ares dengan ujung bibir terangkat. “Dia itu cantik dari mananya?”

“Entahlah, tapi menurut Bibi dia sangat cantik.” Bibi Rani tersenyum. “Lesung pipinya membuat gadis itu terlihat semakin menarik.”

“Lesung pipi?” Ares menaikkan kedua alisnya.

“Oh, itu ...” Bibi Rani tertawa kecil saat melihat ekspresi Ares yang bingung. “Beberapa hari yang lalu, saat Nona Anggun pertama datang kesini, Bibi tidak sengaja berpapasan dengannya. Dia langsung tersenyum pada Bibi. Saat itulah bibi tahu kalau Nona Anggun punya lesung pipi.”

“ Maksud Bibi yang di sini?” tanya Ares sambil menunjuk pipinya sendiri.

Bibi Rani mengangguk. “Bibi rasa tidak ada salahnya menerima perjodohan ini.”

“Apa menurut bibi begitu?” Ares sedikit khawatir mengingat keputusannya yang telah menyetujui perjodohan ini.

“Ini hanya sedar pendapat bibi saja. Semua yang merasakan tentunya Tuan Ares sendiri. Maka pikirkanlah sebelum memutuskan.”

Bibi Rani tersenyum kemudian beranjak berdiri.

“Tunggu, Bibi.” Ares ikut berdiri. Mata Ares sempat menatap Nando yang ternyata sedang berdiri di kursi kayu dengan model memanjang.

“Ada apa, Tuan?” tanya Bibi Rani.

“Nanti malam, ada makan malam bersama keluarga kan?”

Bibi Rani mengangguk. “Apa ada yang bisa bibi bantu?”

“Anggun ada di kamarku. Bantu dia bersiap-siap,” perintah Ares. “Buat dia dandan sesuai dengan levelku.”

Bibi Rani mengangguk lagi meskipun sebenarnya terkejut karena mendengar ada Nona Anggun di kamar tuan mudanya.

“Kau ke restoran saja hari ini. Minta laporan keuangan bulan lalu,” perintah Ares pada Nando.

“Baik, Tuan.” Nando mengangguk dan bergegas pergi.

Saat Ares hendak menyusul Bibi Rani yang kemungkinan sudah berada di lantai dua, seseorang memanggil Ares dari arah belakang.

“Hai, Ares.” Dengan senyum tersungging di wajahnya, Mareta berjalan ke arah Ares.

“Mareta?” celetuk Ares lirih. “Sedang apa di sini?” tanya Ares kemudian.

“Tentu saja untuk ikut makan malam bersama keluargamu,” jawab Mareta. “Bukankah kau juga ikut?”

“Tentu saja, ini kan acara keluargaku. Bagaimana mungkin aku tidak ikut?”

Mareta langsung tersenyum kecut. “Aku hanya mengira kau tak akan ikut.”

Saat Ares hendak menjawab kalimat Mareta lagi, dari arah belakang Rangga muncul sambil membawa paperbag yang entah apa isinya.

“Sedang apa kau di sini?” tanya Rangga sinis.

Ares menyeringai. “Ini rumah ayahku, kenapa kau tanya begitu?” sinis Ares.

Rangga hanya mencibir lalu memilih menggandeng lengan Mareta dan berjalan masuk ke dalam.

“Pacar bekasku saja, kau bangga!” dengus Ares saat mereka berdua sudah tak terlihat.

Tak mau peduli lagi dengan Rangga dan Mareta, Ares beranjak menaiki anak tangga. Mungkin bermain dengan wanita lusuh itu, lebih menarik.

“Tunggu dulu!” Ares berhenti melangkah. “Apa yang baru saja aku katakan? Bermain?”

Ares tiba-tiba bergidik cepat sambil nyengir kemudian berjalan lagi.

Saat Ares membuka pintu kamar, ternyata Bibi Rani juga sudah berdiri di depan pintu. Mungkin beliau akan keluar.

“Eh, Tuan?” Bibi Rani tersenyum. “Nona Anggun masih di dalam.”

Ares mengangguk. Sementara Bibi Rani sudah keluar, Ares kemudian masuk.

“Apa yang kau dan Bibi Rani bicarakan?” tanya Ares saat pintu sudah tertutup.

“Tidak banyak. Beliau hanya memintaku untuk bersiap-siap. Dan dia memberiku baju itu.” Anggun menunjuk ke arah baju dalam bungkusan plastik bening.

Ares berjalan gontai lai duduk bersandar di tepi ranjang. “Lalu, kenapa kau tak bersiap? Aku meminta Bibi Rani untuk membantumu berdandan.”

“Aku tidak mau,” jawab Anggun tanpa menoleh.

Berada di kamar yang luasnya tiga kali lipat dari kamarnya sendiri, membuat Anggun sudah merasa gugup luar biasa. Ares harus tahu kalau saat ini Anggun sedang ketakutan dan merasa panik.

Sedang apa atau akan terjadi apa nanti malam, bahkan Anggun tidak tahu. Ini acara apa dan untuk apa, Anggun tak tahu bagaimana cara bertanya supaya segera mengetahuinya.

Seperti paham dengan kegelisahan pada Anggun yang tetap memilih berdiri menghadap ke arah balkon, Ares kemudian mulai berkata.

“Nanti malam, ada acara keluarga. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dibahas nanti. Hanya saja kemungkinan keluarga besarku akan datang,” jelas Ares.

Anggun menoleh. Masih tetap diam, tapi Anggun mencoba mendengarkan. Ini yang tadi sempat di katakan Bibi Rani saat sedang ngobrol di kamar ini.

(Dengarkan dan jangan membantah.)

“Mungkin ayahku akan membahas pernikahan kita.”

“Pernikahan?” pekik Anggun. “Apa kita sungguh akan menikah?”

Ares berdecak dengan sorot mata mengerikan hingga membuat Anggun terpaksa memutar pandangan.

“Kalau tidak serius, mana mungkin aku mengajakmu kesini? Kau tahu, kau gadis pertama yang masuk ke kamarku.” Ares mencebik lalu menyeringai.

“Aku? Aku yang pertama kali?” Anggun sedang membatin.

“Jangan terlalu berbangga. Kau juga harus ingat, aku sama sekali tidak mencintaimu. Kita yang menikah karena sudah terlanjur dijodohkan.”

Anggun tersenyum getir.

***

Download APP, continue reading

Chapters

57