Bab 14 Sebuah Ciuman
by Irma W
16:41,Feb 01,2021
Ares mengejar Anggun masuk ke dalam rumah. Beruntung untuk mereka berdua karena tak ada siapapun di rumah ini. Mungkin semua penghuni masih
sibuk bekerja. Ah, tidak juga. Yang bekerja hanya ayah. Kalau yang lain, entahlah pergi kemana.
“Tunggu!” panggil Ares. “Kau kira aku akan kasihan padamu kalau menangis?”
Anggun tak peduli. Anggun terus saja menangis dan berjalan masuk ke dalam rumah.
“ANGGUN!” panggil Ares dengan penuh penekanan. “Berhenti atau kau mau kuhajar!”
Masih mengembis-embis, Anggun pun berhenti. Pria di belakang Anggun saat ini sungguh terlihat kejam. Suaranya yang menggelegar seperti sebuah petir di siang bolong.
“Berhentilah membentakku,” pinta Anggun masih dalam posisi memunggungi Ares.
Satu tangan Anggun sudah memegang knop pintu dan hampir membukanya.
Ares berdecak. “Kau sendiri yang membuatku membentakmu!” Ares membalikkan tubuh Anggun hingga berhadapan.
Entah kenapa, saat dua bola matanya mendapati Anggun yang sedang menangis, ada rasa iba di dada Ares. Dua bibir merah itu bergetar diikuti isak tangis yang membuat dua pundak terus bergerak.
“Apa kau tidak sadar, kau itu sudah jelek, jangan kau buat tambah jelek dengan menangis seperti itu,” seloroh Ares seenaknya.
“Biarkan aku jelek!” salah Anggun lantang. Dua telapak tangan mengusap wajah dengan kasar. “Kalau kau tidak suka, jangan menikahiku! Aku juga tak mau menikah denganmu!”
‘Kenapa dia selalu menggigit bibirnya seperti itu?’ desis Ares dalam hati. “Astaga! Aku bahkan berpikir kalau itu sangat seksi.” Ares masih membatin.
Ares masih diam mengamati kedua bibir Anggun yang basah. Bentuknya yang sedikit lebar dan lebih tebal di bagian bibir bawah, tampaknya akan enak jika dinikmati.
Tak tahan dengan apa yang dilihat, Ares maju lalu meraih tengkuk Anggun dengan satu tarikan saja. Satu tangan meraih bagian pinggang, lalu mendongakkan wajah Anggun dan memberinya sebuah ciuman ganas.
“Emmmhh! Apa yang Tuan—” Anggun tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya tersumpal rapat oleh sentuhan bibir Ares hingga membuat Anggun susah bernapas.
Anggun tak bisa menolak. Bukan karena mau, tapi karena cengkeram Ares sangatlah kuat.
“Bernapas bodoh!” kata Ares saat memberi jeda sesaat.
Anggun terlihat gelagapan dengan mata membelalak. Melihat Anggun seperti itu, justru membuat Ares tak terasa melengkungkan bibir membentuk senyuman.
Tidak lama, karena setelah satu tarikan napas, Ares kembali menghujani Anggun dengan sapuan bibir.
“Tuan! Su-sudah ...” Anggun mendorong dada Ares dan kegiatan itu pun usai.
Anggun masih terengah-engah mencoba mengumpulkan napasnya yang terasa hampir menghilang. Sambil menekan dada dan membuang muka, Anggun tak ingin Ares melihat betapa merahnya rona wajah saat ini.
“Bibirmu manis,” celetuk Ares dengan seringaian penuh arti.
Degh! Degup jantung tak bisa dikendalikan. Anggun sudah berkeringat dengan perasaan yang tidak karuan. Tak mau semakin menggila, Anggun menarik knop pintu—membuka pintu— lalu masuk meninggalkan Ares sendirian.
“Astaga!” desah Ares saat Anggun sudah menghilang. “Bagaimana mungkin aku bisa menciumnya?” mengacak-acak rambutnya sendiri.
Sementara di dalam sana—di balik pintu— Anggun tengah duduk bersandar pada dinding pintu dengan kedua kaki selonjor lurus. Satu tangannya masih menekan dada yang degupannya masih belum stabil.
“A-apa yang baru saja terjadi?” gumam Anggun. “Apa, apa aku baru saja berciuman? Ya ampun! Ini ciuman pertamaku!” Anggun kembali menangis.
Namun, sepertinya ada berbeda. Anggun menangis tapi seperti tak ada kesedihan di dalamnya. Hanya terbesit sebuah amarah yang entah bagaimana rasanya—sungguh tak bisa dijelaskan.
Sosok Ares sendiri, saat ini sudah kembali masuk ke dalam mobilnya. Mencengkeram kuat bundaran setir, otak Ares masih terngiang-ngiang dengan kejadian yang lumayan panas tadi.
“Kenapa Aku menciumnya?” tanya Ares pada udara yang tersisa di dalam mobil. “Apa aku sudah gila?”
Ares mengusap wajahnya. menepuk-nepuk kedua pipinya lalu merapikan tampilannya yang mungkin terlihat berantakan.
“Aku tidak akan melepaskan wanita itu!” celetuk Ares kemudian bersamaan dengan mobilnya yang sudah melaju.
Ares melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sedang. Hingga saat sampai di tempat tujuan, Ares mendapat sebuah pemandangan yang sangat ia benci. Rangga dan Mareta sedang makan di restoran milik Ares.
“Apa mereka sengaja?” Ares melajukan mobilnya masuk ke parkiran.
Melepas sabuk pengaman, Ares langsung buru-buru turun dari mobil. Sebenarnya bukan berniat menemui mereka, tapi Ares justru ingin menemui Nando di dalam sana.
“Ares!” panggil Rangga.
Niat menghindar sepertinya tidak berhasil. Rangga dan Mareta melihat Ares yang hendak berjalan masuk ke lantai dua.
Ares menoleh malas. “Apa?”
“Bergabunglah dulu. Kau harusnya menyambut kami di restoranmu. Jangan nyelonong begitu saja,” kata Rangga dengan senyuman.
Kalau boleh, Ares ingin muntah di sini melihat wajah sok akrab itu. Namun, karena tak mau jadi pusat perhatian pengunjung karena berbicara dengan jarak jauh, Ares pun mendekat.
“Untuk apa aku menyambut kalian?” tanya Ares sinis. “Kalau makan, ya silahkan.”
Mareta terlihat membuang muka dan memilih tidak melirik ke arah Ares sedikitpun.
“Hei, santai,” kata Rangga. “Kita datang berkunjung harusnya kau berterimakasih.”
“Aku lebih senang kalau kalian tidak berkunjung,” cibir Ares dengan satu ujung bibir terangkat.
Rangga berdiri. Dua tangannya yang kekar menekan tepian meja. Sementara wajahnya sudah sejajar lurus dengan wajah Ares karena memang tingginya sama.
“Dengar ya, kau jangan marah karena sekarang Mareta sudah menjadi milikku.” Rangga berkata sambil menyentuh ujung kemeja yang dipakai Ares.
“Mareta sudah menjadi milikku. Kau seharusnya bisa menerima itu tanpa harus ada permusuhan di antara kita.”
Ares mendecih. Meringis sesaat, kemudian Ares menatap wajah Rangga. “Mau kau menjadi kekasih Mareta atau bukan, aku tidak peduli. Kau ambil saja bekasku!”
“Apa kau bilang!” Rangga membelalak. Satu tangannya sudah mencengkeram kerah kemeja Ares.
“Lepas!” Ares menyingkirkan tangan itu. “Pergi saja dari sini. Aku tidak ingin melihat kalian berdua!” sembur Ares tanpa peduli dengan tatapan para pengunjung.
“Sudah, sayang. Jangan diladeni. Ayo kita pergi.” Mareta menarik lengan Rangga.
“Awas kau!” ancam Rangga dengan mengacungkan kepalan tangan.
Ares tak peduli. Ares hanya mendecih kemudian berbalik dam segera berlari menuju lantai dua.
“Harusnya kau biarkan aku menghajar dia dulu!” gertak Rangga saat sudah berada di dalam mobil.
“Bukan seperti itu caranya. Kalau kau mengamuk di sana, kau hanya akan menjadi bahan omongan semu orang. Mereka tahu siapa dirimu dan Ares. Jadi, tenangkan dirimu,” Kata Mareta sambil mengusap pundak Rangga.
Sampai di lantai atas, Ares langsung masuk ke dalam ruangannya yang di dalam sana ada Nando.
“Sialan!” sungut Ares saat mendapati Nando tengah bertengger di depan dua layar TV yang menunjukkan rekaman CCTV di lantai satu. “Jadi kau sedang melihatnya?”
Nando meringis. “Memangnya Tuan mau apa? Datang ke sana lalu memisahkan dua kakak adik yang sedang berdebat?” Nando terkekeh.
“Dasar sialan!” sembur Ares lagi. “Lagian, menapa mereka bisa datang ke sini?” tanya Ares.
Nando mengambil kursi lalu mempersilahkan bos mudanya duduk. “Mungkin sedang pamer.”
“Najis!” salak Ares.
“Ngomong-ngomong, tumben Tuan datang ke sini?” tanya Nando mengalihkan pembicaraan.
“Pesankan aku berbagai pakaian wanita bagus,” jawab Ares.
“Untuk apa?” tanya Nando.
“Belikan saja yang banyak. Setelah itu, kirim ke rumah Anggun.”
“Nona Anggun?” Nando menatap serius ke arah wajah Ares.
“Iya,” sahut Ares sambil menautkan dua alis. “Sudahlah, jangan menatapku begitu!”
***
sibuk bekerja. Ah, tidak juga. Yang bekerja hanya ayah. Kalau yang lain, entahlah pergi kemana.
“Tunggu!” panggil Ares. “Kau kira aku akan kasihan padamu kalau menangis?”
Anggun tak peduli. Anggun terus saja menangis dan berjalan masuk ke dalam rumah.
“ANGGUN!” panggil Ares dengan penuh penekanan. “Berhenti atau kau mau kuhajar!”
Masih mengembis-embis, Anggun pun berhenti. Pria di belakang Anggun saat ini sungguh terlihat kejam. Suaranya yang menggelegar seperti sebuah petir di siang bolong.
“Berhentilah membentakku,” pinta Anggun masih dalam posisi memunggungi Ares.
Satu tangan Anggun sudah memegang knop pintu dan hampir membukanya.
Ares berdecak. “Kau sendiri yang membuatku membentakmu!” Ares membalikkan tubuh Anggun hingga berhadapan.
Entah kenapa, saat dua bola matanya mendapati Anggun yang sedang menangis, ada rasa iba di dada Ares. Dua bibir merah itu bergetar diikuti isak tangis yang membuat dua pundak terus bergerak.
“Apa kau tidak sadar, kau itu sudah jelek, jangan kau buat tambah jelek dengan menangis seperti itu,” seloroh Ares seenaknya.
“Biarkan aku jelek!” salah Anggun lantang. Dua telapak tangan mengusap wajah dengan kasar. “Kalau kau tidak suka, jangan menikahiku! Aku juga tak mau menikah denganmu!”
‘Kenapa dia selalu menggigit bibirnya seperti itu?’ desis Ares dalam hati. “Astaga! Aku bahkan berpikir kalau itu sangat seksi.” Ares masih membatin.
Ares masih diam mengamati kedua bibir Anggun yang basah. Bentuknya yang sedikit lebar dan lebih tebal di bagian bibir bawah, tampaknya akan enak jika dinikmati.
Tak tahan dengan apa yang dilihat, Ares maju lalu meraih tengkuk Anggun dengan satu tarikan saja. Satu tangan meraih bagian pinggang, lalu mendongakkan wajah Anggun dan memberinya sebuah ciuman ganas.
“Emmmhh! Apa yang Tuan—” Anggun tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya tersumpal rapat oleh sentuhan bibir Ares hingga membuat Anggun susah bernapas.
Anggun tak bisa menolak. Bukan karena mau, tapi karena cengkeram Ares sangatlah kuat.
“Bernapas bodoh!” kata Ares saat memberi jeda sesaat.
Anggun terlihat gelagapan dengan mata membelalak. Melihat Anggun seperti itu, justru membuat Ares tak terasa melengkungkan bibir membentuk senyuman.
Tidak lama, karena setelah satu tarikan napas, Ares kembali menghujani Anggun dengan sapuan bibir.
“Tuan! Su-sudah ...” Anggun mendorong dada Ares dan kegiatan itu pun usai.
Anggun masih terengah-engah mencoba mengumpulkan napasnya yang terasa hampir menghilang. Sambil menekan dada dan membuang muka, Anggun tak ingin Ares melihat betapa merahnya rona wajah saat ini.
“Bibirmu manis,” celetuk Ares dengan seringaian penuh arti.
Degh! Degup jantung tak bisa dikendalikan. Anggun sudah berkeringat dengan perasaan yang tidak karuan. Tak mau semakin menggila, Anggun menarik knop pintu—membuka pintu— lalu masuk meninggalkan Ares sendirian.
“Astaga!” desah Ares saat Anggun sudah menghilang. “Bagaimana mungkin aku bisa menciumnya?” mengacak-acak rambutnya sendiri.
Sementara di dalam sana—di balik pintu— Anggun tengah duduk bersandar pada dinding pintu dengan kedua kaki selonjor lurus. Satu tangannya masih menekan dada yang degupannya masih belum stabil.
“A-apa yang baru saja terjadi?” gumam Anggun. “Apa, apa aku baru saja berciuman? Ya ampun! Ini ciuman pertamaku!” Anggun kembali menangis.
Namun, sepertinya ada berbeda. Anggun menangis tapi seperti tak ada kesedihan di dalamnya. Hanya terbesit sebuah amarah yang entah bagaimana rasanya—sungguh tak bisa dijelaskan.
Sosok Ares sendiri, saat ini sudah kembali masuk ke dalam mobilnya. Mencengkeram kuat bundaran setir, otak Ares masih terngiang-ngiang dengan kejadian yang lumayan panas tadi.
“Kenapa Aku menciumnya?” tanya Ares pada udara yang tersisa di dalam mobil. “Apa aku sudah gila?”
Ares mengusap wajahnya. menepuk-nepuk kedua pipinya lalu merapikan tampilannya yang mungkin terlihat berantakan.
“Aku tidak akan melepaskan wanita itu!” celetuk Ares kemudian bersamaan dengan mobilnya yang sudah melaju.
Ares melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sedang. Hingga saat sampai di tempat tujuan, Ares mendapat sebuah pemandangan yang sangat ia benci. Rangga dan Mareta sedang makan di restoran milik Ares.
“Apa mereka sengaja?” Ares melajukan mobilnya masuk ke parkiran.
Melepas sabuk pengaman, Ares langsung buru-buru turun dari mobil. Sebenarnya bukan berniat menemui mereka, tapi Ares justru ingin menemui Nando di dalam sana.
“Ares!” panggil Rangga.
Niat menghindar sepertinya tidak berhasil. Rangga dan Mareta melihat Ares yang hendak berjalan masuk ke lantai dua.
Ares menoleh malas. “Apa?”
“Bergabunglah dulu. Kau harusnya menyambut kami di restoranmu. Jangan nyelonong begitu saja,” kata Rangga dengan senyuman.
Kalau boleh, Ares ingin muntah di sini melihat wajah sok akrab itu. Namun, karena tak mau jadi pusat perhatian pengunjung karena berbicara dengan jarak jauh, Ares pun mendekat.
“Untuk apa aku menyambut kalian?” tanya Ares sinis. “Kalau makan, ya silahkan.”
Mareta terlihat membuang muka dan memilih tidak melirik ke arah Ares sedikitpun.
“Hei, santai,” kata Rangga. “Kita datang berkunjung harusnya kau berterimakasih.”
“Aku lebih senang kalau kalian tidak berkunjung,” cibir Ares dengan satu ujung bibir terangkat.
Rangga berdiri. Dua tangannya yang kekar menekan tepian meja. Sementara wajahnya sudah sejajar lurus dengan wajah Ares karena memang tingginya sama.
“Dengar ya, kau jangan marah karena sekarang Mareta sudah menjadi milikku.” Rangga berkata sambil menyentuh ujung kemeja yang dipakai Ares.
“Mareta sudah menjadi milikku. Kau seharusnya bisa menerima itu tanpa harus ada permusuhan di antara kita.”
Ares mendecih. Meringis sesaat, kemudian Ares menatap wajah Rangga. “Mau kau menjadi kekasih Mareta atau bukan, aku tidak peduli. Kau ambil saja bekasku!”
“Apa kau bilang!” Rangga membelalak. Satu tangannya sudah mencengkeram kerah kemeja Ares.
“Lepas!” Ares menyingkirkan tangan itu. “Pergi saja dari sini. Aku tidak ingin melihat kalian berdua!” sembur Ares tanpa peduli dengan tatapan para pengunjung.
“Sudah, sayang. Jangan diladeni. Ayo kita pergi.” Mareta menarik lengan Rangga.
“Awas kau!” ancam Rangga dengan mengacungkan kepalan tangan.
Ares tak peduli. Ares hanya mendecih kemudian berbalik dam segera berlari menuju lantai dua.
“Harusnya kau biarkan aku menghajar dia dulu!” gertak Rangga saat sudah berada di dalam mobil.
“Bukan seperti itu caranya. Kalau kau mengamuk di sana, kau hanya akan menjadi bahan omongan semu orang. Mereka tahu siapa dirimu dan Ares. Jadi, tenangkan dirimu,” Kata Mareta sambil mengusap pundak Rangga.
Sampai di lantai atas, Ares langsung masuk ke dalam ruangannya yang di dalam sana ada Nando.
“Sialan!” sungut Ares saat mendapati Nando tengah bertengger di depan dua layar TV yang menunjukkan rekaman CCTV di lantai satu. “Jadi kau sedang melihatnya?”
Nando meringis. “Memangnya Tuan mau apa? Datang ke sana lalu memisahkan dua kakak adik yang sedang berdebat?” Nando terkekeh.
“Dasar sialan!” sembur Ares lagi. “Lagian, menapa mereka bisa datang ke sini?” tanya Ares.
Nando mengambil kursi lalu mempersilahkan bos mudanya duduk. “Mungkin sedang pamer.”
“Najis!” salak Ares.
“Ngomong-ngomong, tumben Tuan datang ke sini?” tanya Nando mengalihkan pembicaraan.
“Pesankan aku berbagai pakaian wanita bagus,” jawab Ares.
“Untuk apa?” tanya Nando.
“Belikan saja yang banyak. Setelah itu, kirim ke rumah Anggun.”
“Nona Anggun?” Nando menatap serius ke arah wajah Ares.
“Iya,” sahut Ares sambil menautkan dua alis. “Sudahlah, jangan menatapku begitu!”
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved