Bab 7 Bukan Wanita Bodoh
by Irma W
16:03,Feb 01,2021
Beruntung karena semua orang sudah tertidur. Namun, tetap saja Anggun meminta Nando untuk membawa Ares secara perlahan dan sebisa mungkin tanpa bersuara. Meskipun harus bersusah payah membawa Ares dengan setengah menyeret, akhirnya Ares jatuh bisa di atas ranjang Anggun.
Nando terlihat sedang mengatur napasnya sambil membungkuk bersangga pada tangan menekan lututnya. Sementara Anggun, sedang menggigit bibir sambil memandangi Ares yang tergeletak dan masih terpejam.
“Kalau sudah begini mau bagaimana, Tuan?” tanya Anggun sedikit panik.
Ya ... meskipun katanya sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri, tapi melihat ada Ares di dalam kamarnya tentu membuat Anggun gugup dan takut.
“Biarkan Tuan Ares menginap semalam di sini,” ucap Nando saat sudah berdiri tegak.
Dari cara Nando berbicara, terlihat kalau dia masih tersengal-sengal.
“Menginap di sini?” pekik Anggun. “Kenapa tadi Tuan Ares tidak dibawa pulang saja? Dan kenapa justru di bawa ke sini?” Anggun terus bertanya.
Nando menghela napas. “Jadi begini ... Tuan Ares mabok dan dia baru saja muntah-muntah. Aku tidak mau membawanya pulang karena jaraknya terlalu jauh,” ujar Nando.
Anggun mendesis dan sempat mondar-mandir. “Tapi kalau ayahku tahu bagaimana? Aku tidak mau terkena masalah.”
“Tenang, Nona. Besok pagi aku akan datang dan menjelaskan semuanya pada keluarga Nona. Bagaimana?” Nando menatap dalam-dalam wajah Anggun.
Karena tak tega melihat raut wajah Nando yang kelelahan, Anggun pada akhirnya mengangguk. Dan lagi, kalau Anggun lihat, sepertinya Tuan Ares sedang ada masalah. Mungkin itu kenapa dia sampai mabok.
Sesudah Nando pergi, di dalam kamarnya Anggun masih memutar-mutar memandangi wajah Ares yang terpejam. Anggun bingung harus berbuat apa sekarang. Rasa kantuknya saja mendadak hilang entah kemana.
“Mareta.” Suara berat itu membuat Anggun yang hendak duduk mendadak urung.
Anggun berdiri dan mengamati wajah Ares untuk memastikan suara itu apakah berasal dari bibir Ares atau bukan.
“Mareta ... kenapa kau tega padaku?”
Benar, suara itu memang milik Ares. Dan Mareta, siapa Mareta? Anggun nampak tertegun sambil menunggu bibir itu bergerak dan berbicara lagi.
“Mareta, kau harus tahu ... aku masih mencintaimu. Kenapa kau mau menikah dengan Rangga?”
Ares terus meracau dan kali ini membuat Anggun mulai bingung dan panik.
“Dia itu sedang meracau tentang apa?” gumam Anggun yang sudah berdiri dengan kepala miring.
“MARETA!”
Ares duduk tertegak dengan bola mata membelalak. Sementara Anggun yang terkejut, sudah terjungkat mental hingga jatuh di atas lantai.
Dalam posisi duduk dan dua telapak tangan masing-masing berada di atas paha, Ares terlihat seperti orang yang baru saja lari maraton. Napasnya berderu cepat dan ngos-ngosan.
Meskipun takut, pelan-pelan Anggun menaikkan kepala hingga pandangannya bertemu dengan Ares.
“Aaaaa!!! Kau siapa!” teriak Ares tiba-tiba sambil melempar bantal tepat mengenai wajah Anggun.
Anggun yang tidak siap sama sekali dengan serangan itu langsung gelagapan sendiri.
“Siapa kau!” tanya Ares lagi sambil berdiri dengan kedua lututnya di atas ranjang.
“I-ini aku, Tuan.” Anggun menggeser bantal yang jatuh di wajahnya.
“Ka-kau?” pekik Ares saat itu.
Ares langsung tergugah dan mulai menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
“Ini kan?” Ares memandangi kamar ini sekali lagi. “Kamar si kepang dua itu?”
Pandangan Ares kembali menyorot pada sosok gadis yang sedang mencoba berdiri sambil memeluk bantal.
“Hei kau!” hardik Ares dengan acungan jari. “Katakan, kenapa aku bisa ada di kamarmu!”
“Itu Tuan. Itu ....” Anggun mendadak gemetaran.
“Itu? itu apa?” gertak Ares tanpa peduli dengan ketakutan Anggun.
“Dia yang salah, kenapa aku yang ketakutan?” gumam Anggun dalam hati.
Tiba-tiba, Anggun berkacak pinggang dan memberanikan diri menatap Ares. “Coba kau ingat-ingat kenapa bisa sampai di sini? Jangan membentakku seenaknya!” salak Anggun.
“Kau!” Ares mengacungkan jari telunjuk, tapi Anggun langsung membalas dengan pelototan.
Ares menghela napas. Setelah itu beralih posisi duduk di bibir ranjang. Bibirnya mengatup rapat sementara punggungnya sedikit membungkuk dengan jemari memijat kening.
“Kenapa Aku bisa berada di sini?” batin Ares.
Ares tengah mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hingga waktu berlalu sekitar lima menit, barulah Ares mendongakkan kepala dan menatap Anggun yang masih berdiri berkacak pinggang.
“Apa kau sudah ingat?” sinis Anggun. “Dasar merepotkan!”
Ares melotot tajam. “Apa kau bilang?”
Anggun refleks meringis. “Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Dua telapak tangan Anggun mengibas berlawanan.
“Aku tidak tuli ya!” sungut Ares. “Katakan, siapa yang membawaku kemari?” tanya Ares kemudian.
“Tuan Nando,” jawab Anggun malas.
“Nando?” Ares menaikkan kedua alisnya.
“Hem,” sahut Anggun lagi. “Katanya kau muntah-muntah. Dasar tukang mabok!” untuk bagian terakhir tentunya Anggun hanya berkata dalam hati.
Ares seketika menghela napas lagi. “Ambilkan aku minum. Tenggorokanku kering,” perintah Ares tiba-tiba.
“Selalu saja minta minum,” gerutu Anggun tanpa bergerak.
“Kau bilang apa?” pekik Ares.
“Tidak, tidak ada.” Anggun berbalik badan. “Akan segera aku ambilkan.
Sampai di dalam dapur, Anggun masih menggerutu. Ini sudah lewat tengah malam dan bisa disebut dini hari, kenapa masih membulatkan mata? Anggun sungguh bernasib sial karena Ares.
“Ini, Tuan.” Anggun mengulurkan gelas dengar air mineral di dalamnya.
Tanpa ucapan terimakasih atau apapun, Ares langsung meraih gelas itu dan meneguknya hingga habis.
“Ini.” Gelas kosong Ares kembalikan pada Anggun.
Kalau saja boleh dan berani, Anggun ingin sekali menendang pria ini untuk segera keluar dari kamarnya.
Ares terlihat termenung setelah menghabiskan satu gelas air putih. Tatapannya kosong dengan pikiran yang macam-macam. Ada bayang-bayang Mareta sekilas melintas dengan cepat. Tak lama kemudian, muncul bayang-bayang Rangga yang sedang menggandeng lengan Mareta dengan mesra.
Menundukkan kepala sebentar, dan saat mendongak dengan mata terpejam, Ares justru mendapati bayang-bayang Anggun dengan rambutnya yang berkepang dua dan sebaris poni di keningnya.
“Dia tidak buruk,” gumam Ares dalam hati saat mendapati Anggun tengah duduk di kursi sambil menguap.
Rambut gadis itu tidak terlihat sedang di kepang, melainkan di biarkan tergerak jatuh hingga ke punggung. Ada beberapa helai yang nyangkut di pundak.
“Aku ngantuk. Aku mau tidur.” Ares membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Kau cari tempat lain untuk tidur.”
Anggun langsung melongo saat Ares berkata demikian. Karena tak mau berdebat dan rasa kantuk sudah mulai menyerang, Anggun segera meraih selimut lain kemudian menggelarnya di atas lantai.
Beberapa menit kemudian sudah tidak ada pergerakan, Ares memutar posisi tidurnya miring ke sebelah kiri hingga bisa melihat Anggun yang sudah tertidur di atas lantai beralaskan selimut.
“Dasar wanita bodoh!” gerutu Ares saat masih mengamati tubuh Anggun yang meringkuk.
“Mau-maunya tidur di atas lantai. Kau kan bisa cari sofa atau kamar lain mungkin.” Ares mendecih kemudian ikut memejamkan mata.
***
Nando terlihat sedang mengatur napasnya sambil membungkuk bersangga pada tangan menekan lututnya. Sementara Anggun, sedang menggigit bibir sambil memandangi Ares yang tergeletak dan masih terpejam.
“Kalau sudah begini mau bagaimana, Tuan?” tanya Anggun sedikit panik.
Ya ... meskipun katanya sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri, tapi melihat ada Ares di dalam kamarnya tentu membuat Anggun gugup dan takut.
“Biarkan Tuan Ares menginap semalam di sini,” ucap Nando saat sudah berdiri tegak.
Dari cara Nando berbicara, terlihat kalau dia masih tersengal-sengal.
“Menginap di sini?” pekik Anggun. “Kenapa tadi Tuan Ares tidak dibawa pulang saja? Dan kenapa justru di bawa ke sini?” Anggun terus bertanya.
Nando menghela napas. “Jadi begini ... Tuan Ares mabok dan dia baru saja muntah-muntah. Aku tidak mau membawanya pulang karena jaraknya terlalu jauh,” ujar Nando.
Anggun mendesis dan sempat mondar-mandir. “Tapi kalau ayahku tahu bagaimana? Aku tidak mau terkena masalah.”
“Tenang, Nona. Besok pagi aku akan datang dan menjelaskan semuanya pada keluarga Nona. Bagaimana?” Nando menatap dalam-dalam wajah Anggun.
Karena tak tega melihat raut wajah Nando yang kelelahan, Anggun pada akhirnya mengangguk. Dan lagi, kalau Anggun lihat, sepertinya Tuan Ares sedang ada masalah. Mungkin itu kenapa dia sampai mabok.
Sesudah Nando pergi, di dalam kamarnya Anggun masih memutar-mutar memandangi wajah Ares yang terpejam. Anggun bingung harus berbuat apa sekarang. Rasa kantuknya saja mendadak hilang entah kemana.
“Mareta.” Suara berat itu membuat Anggun yang hendak duduk mendadak urung.
Anggun berdiri dan mengamati wajah Ares untuk memastikan suara itu apakah berasal dari bibir Ares atau bukan.
“Mareta ... kenapa kau tega padaku?”
Benar, suara itu memang milik Ares. Dan Mareta, siapa Mareta? Anggun nampak tertegun sambil menunggu bibir itu bergerak dan berbicara lagi.
“Mareta, kau harus tahu ... aku masih mencintaimu. Kenapa kau mau menikah dengan Rangga?”
Ares terus meracau dan kali ini membuat Anggun mulai bingung dan panik.
“Dia itu sedang meracau tentang apa?” gumam Anggun yang sudah berdiri dengan kepala miring.
“MARETA!”
Ares duduk tertegak dengan bola mata membelalak. Sementara Anggun yang terkejut, sudah terjungkat mental hingga jatuh di atas lantai.
Dalam posisi duduk dan dua telapak tangan masing-masing berada di atas paha, Ares terlihat seperti orang yang baru saja lari maraton. Napasnya berderu cepat dan ngos-ngosan.
Meskipun takut, pelan-pelan Anggun menaikkan kepala hingga pandangannya bertemu dengan Ares.
“Aaaaa!!! Kau siapa!” teriak Ares tiba-tiba sambil melempar bantal tepat mengenai wajah Anggun.
Anggun yang tidak siap sama sekali dengan serangan itu langsung gelagapan sendiri.
“Siapa kau!” tanya Ares lagi sambil berdiri dengan kedua lututnya di atas ranjang.
“I-ini aku, Tuan.” Anggun menggeser bantal yang jatuh di wajahnya.
“Ka-kau?” pekik Ares saat itu.
Ares langsung tergugah dan mulai menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
“Ini kan?” Ares memandangi kamar ini sekali lagi. “Kamar si kepang dua itu?”
Pandangan Ares kembali menyorot pada sosok gadis yang sedang mencoba berdiri sambil memeluk bantal.
“Hei kau!” hardik Ares dengan acungan jari. “Katakan, kenapa aku bisa ada di kamarmu!”
“Itu Tuan. Itu ....” Anggun mendadak gemetaran.
“Itu? itu apa?” gertak Ares tanpa peduli dengan ketakutan Anggun.
“Dia yang salah, kenapa aku yang ketakutan?” gumam Anggun dalam hati.
Tiba-tiba, Anggun berkacak pinggang dan memberanikan diri menatap Ares. “Coba kau ingat-ingat kenapa bisa sampai di sini? Jangan membentakku seenaknya!” salak Anggun.
“Kau!” Ares mengacungkan jari telunjuk, tapi Anggun langsung membalas dengan pelototan.
Ares menghela napas. Setelah itu beralih posisi duduk di bibir ranjang. Bibirnya mengatup rapat sementara punggungnya sedikit membungkuk dengan jemari memijat kening.
“Kenapa Aku bisa berada di sini?” batin Ares.
Ares tengah mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hingga waktu berlalu sekitar lima menit, barulah Ares mendongakkan kepala dan menatap Anggun yang masih berdiri berkacak pinggang.
“Apa kau sudah ingat?” sinis Anggun. “Dasar merepotkan!”
Ares melotot tajam. “Apa kau bilang?”
Anggun refleks meringis. “Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Dua telapak tangan Anggun mengibas berlawanan.
“Aku tidak tuli ya!” sungut Ares. “Katakan, siapa yang membawaku kemari?” tanya Ares kemudian.
“Tuan Nando,” jawab Anggun malas.
“Nando?” Ares menaikkan kedua alisnya.
“Hem,” sahut Anggun lagi. “Katanya kau muntah-muntah. Dasar tukang mabok!” untuk bagian terakhir tentunya Anggun hanya berkata dalam hati.
Ares seketika menghela napas lagi. “Ambilkan aku minum. Tenggorokanku kering,” perintah Ares tiba-tiba.
“Selalu saja minta minum,” gerutu Anggun tanpa bergerak.
“Kau bilang apa?” pekik Ares.
“Tidak, tidak ada.” Anggun berbalik badan. “Akan segera aku ambilkan.
Sampai di dalam dapur, Anggun masih menggerutu. Ini sudah lewat tengah malam dan bisa disebut dini hari, kenapa masih membulatkan mata? Anggun sungguh bernasib sial karena Ares.
“Ini, Tuan.” Anggun mengulurkan gelas dengar air mineral di dalamnya.
Tanpa ucapan terimakasih atau apapun, Ares langsung meraih gelas itu dan meneguknya hingga habis.
“Ini.” Gelas kosong Ares kembalikan pada Anggun.
Kalau saja boleh dan berani, Anggun ingin sekali menendang pria ini untuk segera keluar dari kamarnya.
Ares terlihat termenung setelah menghabiskan satu gelas air putih. Tatapannya kosong dengan pikiran yang macam-macam. Ada bayang-bayang Mareta sekilas melintas dengan cepat. Tak lama kemudian, muncul bayang-bayang Rangga yang sedang menggandeng lengan Mareta dengan mesra.
Menundukkan kepala sebentar, dan saat mendongak dengan mata terpejam, Ares justru mendapati bayang-bayang Anggun dengan rambutnya yang berkepang dua dan sebaris poni di keningnya.
“Dia tidak buruk,” gumam Ares dalam hati saat mendapati Anggun tengah duduk di kursi sambil menguap.
Rambut gadis itu tidak terlihat sedang di kepang, melainkan di biarkan tergerak jatuh hingga ke punggung. Ada beberapa helai yang nyangkut di pundak.
“Aku ngantuk. Aku mau tidur.” Ares membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Kau cari tempat lain untuk tidur.”
Anggun langsung melongo saat Ares berkata demikian. Karena tak mau berdebat dan rasa kantuk sudah mulai menyerang, Anggun segera meraih selimut lain kemudian menggelarnya di atas lantai.
Beberapa menit kemudian sudah tidak ada pergerakan, Ares memutar posisi tidurnya miring ke sebelah kiri hingga bisa melihat Anggun yang sudah tertidur di atas lantai beralaskan selimut.
“Dasar wanita bodoh!” gerutu Ares saat masih mengamati tubuh Anggun yang meringkuk.
“Mau-maunya tidur di atas lantai. Kau kan bisa cari sofa atau kamar lain mungkin.” Ares mendecih kemudian ikut memejamkan mata.
***
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved