Bab 5 Kita Akan Menikah

by Irma W 16:02,Feb 01,2021
Masuk ke dalam kamar tersebut, Ares sedikit tercengang dengan kondisinya. Bukan karena kamar ini jelek, tapi hanya terlalu sempit menurut Ares.

Hanya ada satu kamar yang muat untuk satu orang saja, lalu ada satu lemari berukuran sekitar setengah meter. Dan ada meja rias komplit dengan kaca bulat di sudut ruangan. Jika di lihat, kamar ini berukuran sekitar 3 x 3 meter saja.

Berbalik badan, Ares mendapati sebuah pintu di samping lemari. Itu pasti kamar mandi.

“Bagaimana caranya dia tidur?” tanya Ares saat pandangannya kembali tertuju pada ranjang sempit itu.

“Aku baru tahu, ternyata ada ranjang sekecil ini. Kamar pembantu saja tidak seperti ini di rumahku.” Ares masih berbicara sendiri.

“Lho, kenapa pintu kamarku terbuka?” gumam Anggun. Dua kakinya berhenti tepat di depan pintu.

Secara perlahan dan sebisa mungkin tak mengeluarkan suara, Anggun mengintip dari pintu yang sedikit terbuka itu.

Mata Anggun langsung membelalak. Satu telapak tangannya membungkam mulut supaya tidak sampai berteriak. Dari posisinya berdiri, Anggun mendapati ada sebuah pria berbadan tinggi tegap tengah melihat foto di dalam pighora. Anggun tidak tahu siapa itu karena yang terlihat hanya bagian punggung.

Masih dengan mode diam mengendap-endap, Anggun berbalik. Bola matanya mencari sesuatu yang sekiranya bisa digunakan sebagai senjata.

“Nah, ini!” Anggun menyeringai saat satu tangannya sudah menggenggam gagang sapu.

Sudah siap dengan aksinya—dengan rahang mengeras kuat—Anggun nyelonong masuk ke dalam dan langsung memukuli Ares bertubi-tubi.

“Maling kau ya! Dasar kurang ajar! Maling sialan!” Anggun terus memukuli tubuh Ares dengan sapu.

Sementara Ares yang terkejut dan mulai merasa kesakitan mencoba menyingkir dari pukulan itu.

“Hei! Kau ini apa-apaan sih!” Ares berhasil meraih gagang sapu tersebut. “Sakit tahu! Kau sudah gila ya!”

Lagi-lagi bola mata Anggun membelalak saat wajah pria yang baru saja ia pukuli terlihat dengan jelas.

“Tu-Tuan Ares?” pekik Anggun dengan wajah kusut dan memejamkan mata sesaat.

“Iya, ini aku!” gertak Ares sambil melempar sapu tersebut ke sembarang tempat, membuat Anggun sempat terjungkat kaget.


“Kenapa kau memukulku, ha?” tanya Ares bernada membentak.

Anggun menunduk. “Maaf Tuan. Aku, aku tidak tahu. Aku kira ....”

“Apa?” hardik Ares. “Kau pikir aku maling?”

Anggun tersenyum getir. jemari-jemarinya terlihat saling memilin dengan gemetar. “Maaf,” ucap Anggun sekali lagi.

Sambil menyugar rambutnya ke belakang, Ares menghela napas. “Ambilkan aku minum, aku haus!” perintah Ares.

“Eh, iya, Tuan.” Anggun berjinjit lalu bergegas ke luar dari kamar.

“Sudah lusuh, menyebalkan pula!” gerutu Ares saat Anggun sudah berlalu pergi ke dapur.

“Dan rambutnya tadi, Uh, kenapa harus di kepang dua sih? Geli aku melihatnya.” Ares bergidik sambil mencebikkan bibir.

“Ini, Tuan.” Anggun kembali sambil membawa segelas jus jeruk.

“Hem,” sahut Ares dan langsung merebut gelas tersebut. “Ambilkan aku kursi,” pinta Ares kemudian.

Anggun langsung gelagapan dan menarik kursi yang semula berada di depan meja rias.

“Ini, Tuan.” Anggun mempersilahkan Ares duduk.

Ares sudah duduk. Duduk dengan dua kaki menyilang dan pandangan ke arah luar jendela yang terbuka. Dari dalam sini, terlihat beberapa tanaman yang tumbuh di halaman belakang.

Ragu-ragu Anggun secara perlahan mendaratkan pantat di tepian ranjang sambil melirik Ares yang sedang menikmati jus mangga.

“Apa ini sungguh kamarmu?” tanya Ares.

“I-iya, Tuan. Ini kamarku,” jawab Anggun diimbuhi anggukan kepala. Padahal Ares sama sekali tak tahu anggukan itu.

“Apa tidak ada kamar yang lebih luas?” Ares masih bertanya tanpa menatap Anggun.

Anggun mengatupkan bibir sesaat. Kedua kakinya nampak saling injak.

“Tidak ada, Tuan. Ada, tapi bukan kamarku.”

Ares meringis tanpa suara. Tentu saja kamar ibu dan saudara tirinya kan? Itu tebakan Ares. Di mana-mana seperti itu yang Ares ketahui. Mengingat jika dirinya bukan pria sukses, mungkin saja ibu tirinya akan memperlakukannya lebih buruk dari ini.

Ares berhenti bertanya. Setelah itu Ares berdiri dan meletakkan gelas di atas nakas samping ranjang.

“Maaf, Tuan. Kalau boleh saya tahu, ada urusan apa Tuan datang ke sini?” tanya Anggun gugup.

Bukannya menjawab, Ares justru maju dan membungkukkan badannya yang menjulang tinggi hingga sejajar dengan wajah Anggun. Satu tangannya terangkat kemudian cemarinya mencengkeram kedua pipi Anggun.

“Apa yang—” Anggun berhenti bicara karena bibirnya terlihat monyong ke depan.

Sambil mengangkat satu ujung bibirnya, Ares mengamati wajah Anggun mulai dari pipi kana dan pindah ke pipi kiri.

“Tidak buruk juga,” celetuk Ares saat bola matanya menangkap bulu mata lentik yang tertanam di kelopak mata Anggun.

“Kau lumayan, tidak jelek-jelek amat.”

Cengkeraman itu sudah terlepas. Anggun yang bingung, terlihat sedang mengusap rahangnya yang sedikit terasa sakit.

“Kau ingin tahu kenapa aku datang?” tanya Ares sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Anggun hanya mengangguk. Memang apa lagi yang bisa Anggun lakukan selain mengangguk atau menggeleng?

“Bukankah kita akan menikah?”

Gubrak! Anggun menjatuhkan rahang hingga bibirnya terbuka. “Me-menikah? Kita?”

Kali ini Ares yang menangguk. “Kau lupa ya?”

“Bu-bukankah Tuan menolak perjodohan kemarin?” Anggun mulai terlihat panik.

“Siapa bilang?” Ares menyeringai membuat Anggun menciut. “Aku setuju dengan perjodohan itu. Sepertinya menikah denganmu bukanlah kesialan.”

“Apa?” pekik Anggun dalam hati. “Kesialan? apa maksudnya?”

“Tuan pasti bercanda kan?” Anggun berdiri. Ragu-ragu, Anggun mendongak menatap wajah Ares.

“Tidak.” Ares menggeleng. “Aku sangat serius. Tapi ... jangan harap aku mau tidur di tempat seperti ini!” cibir Ares sambil mendengus.

“Kamar ini sangat tidak cocok denganku!”

Anggun tak bisa berkata-kata. Tubuhnya mendadak lemas. Menikah? Dengan Ares? Apa ini bukan permainan? Anggun masih ingat betul saat Ares menolaknya kemarin. Bahkan, Ares sempat menghina Anggun.

“Kenapa diam?” tanya Ares tiba-tiba. “Apa kau tidak mau?” jemari Ares sempat menyentil hidung mungil milik Anggun.

“Aku sudah punya kekasih, Tuan.” Anggun berkata sebuah kebohongan. “Jadi, mana mungkin aku bisa menikah dengan Tuan?

“Kalau begitu, putuskan saja dia,” sahut Ares dengan enteng. “Mudah bukan?”

“Tidak bisa begitu, Tuan. Itu namanya keterlaluan.”

“Oh ya?” Ares melengos. “Kalau kau sudah punya kekasih, kenapa kau mau di ajak datang ke rumahku?”

Degh! Anggun kehilangan ide. Selain pria yang mengerikan, sepertinya Ares tipe orang yang pandai dalam berdebat.

“Bagaimana?” Ares mendekatkan wajah lagi ke wajah Anggun.

Anggun mengerjap-kerjapkan mata sambil melangkah mundur. “Aku, Aku ... e—”

“Sudahlah!” Ares mengibaskan tangan sambil berjalan ke arah pintu. “Kau harusnya bersyukur karena aku bersedia menikah denganmu. Banyak di luar sana yang menginginkan aku.”

GREP! Ares keluar dan menutup pintu dengan keras hingga membuat Anggun berjinjit dan melongo.

“Besok aku akan datang lagi!” teriak Ares dari luar dengan lantang.

***

Download APP, continue reading

Chapters

57