Bab 2 Antar Istriku Kencan Buta
by Evan Judika
18:11,Aug 28,2021
Saat bibir bersentuhan, wajah Fatima memucat, berteriak kaget dan mendorongku, “ Yugi,apa yang kau lakukan?!”
Setelah itu, Fatima menampar wajahku, melototiku dengan marah, terengah-engah. Dada besarnya yang memakai T-shirt putih terus-menerus naik turun.
Aku menatap wajah Fatima dan kembali sadar. Meskipun kesal, tindakan memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidaklah gentleman.
Tetapi, terkadang pria tidak boleh tunduk, kalau sampai saat ini aku masih tundukkan kepala, aku bukan seorang pria!
“Tidak apa-apa, kita cerai!” Aku mencoba menahan emosiku dan berbicara dengan dingin.
Fatima tercengang, menunjukkan ekspresi tidak percaya, wajahnya perlahan memerah, seolah aku yang pertama kali meminta cerai, merupakan penghinaan baginya. Dia segera berteriak: “Cerai? Beraninya minta cerai denganku? Kalau ingin cerai, aku yang ceraikan kamu, pecundang!”
Setelah itu, Fatima seperti orang gila, menarik pakaianku dan ingin memukulku.
Setelah menikah begitu lama, Fatima tidak hanya sekali memukulku, aku tidak pernah membalasnya.
Kali ini, kuputuskan menjadi seorang pria, sekalipun mati kelaparan di jalan, juga tidak ingin bergantung pada orang lain, aku meraih tangan Fatima dan mendorongnya ke sofa, “Aku tidak mau wanita sepertimu.”
Sebelum Fatima bangkit, aku berbalik berjalan ke kamarku, membanting pintu dan mulai mengemasi pakaianku. Bahkan jika semua uangku sudah habis digunakan untuk beli lotere, hanya menyisakan puluhan ribu. Aku harus pergi dari sini, tinggalkan keluarga ini!
“ Yugi,KELUAR, kukatakan dengan jelas. Buka pintunya!” Fatima teriak dari luar, mengetuk pintu. Aku mengabaikannya, berpikir ingin mencari bantuan dari teman sekampungku.
Setelah sepuluh menit mengemasi koper, memakai pakaian milikku, tidak mengambil barang apa pun milik keluarga Jelani.
Keluarkan tas kulit ular yang disembunyikan di kaki tempat tidur, masukkan semua yang perlu dibawa, lalu memikulnya di bahu, langsung buka pintunya, melihat sosok Fatima.
“Apa yang kau lakukan?! Balik ke kamar, mau cerai, kalau aku cerai denganku, mau jadi apa kau?” Fatima berbicara dengan nada memerintah dan menatapku dengan tatapan yang sangat menghina.
“Kenapa aku harus balik? Kau pikir kau siapa?” Aku tidak marah, dia tidak seperti seorang istri? Yang ada seperti musuh, musuh dengan kebencian mendalam.
Fatima mengerutkan kening, melototiku, berkata: “Berani?”
Sudah lama patuh, begitu melihat tatapan ini, aku sedikit takut, tetapi aku tahan perasaan pecundang ini, mengambil napas dalam-dalam dan mengambil langkah maju, “Kenapa tidak berani?”
Saat ini, terdengar suara buka pintu, begitu aku lihat ternyata Ibu Jelani sudah pulang, tidak perlu tanya, ini pasti kerjaan Fatima, dia takut tidak bisa tahan aku, makanya minta bantuan ibunya.
Benar saja, begitu Ibu Jelani masuk, ia buru-buru menghampiri, wajahnya tegang dan berkata: “ Yugi, apa yang kau lakukan! keluarga Jelani lakukan kesalahan apa padamu? Kenapa pergi sesukamu?”
Saat Ibu Jelani melihat barang yang kupikul, ekspresinya sama seperti Fatima, benar-benar buah yang jatuh tidak jauh dari pohon, aura ibu mertua langsung muncul.
Terlebih, apa yang dikatakan Ibu Jelani sangat terampil, membuatku merasa berasalah, sama sekali tidak bisa berkata-kata.
Adapun Fatima, aku merasa kasihan padanya, tetapi pada Ibu Jelani, sebagai seorang menantu, aku benar-benar takut, seperti anak muda yang takut pada orang tua.
“Letakkan barangmu, bukan tidak boleh pergi.” Ibu Jelani menenangkan wajahnya.
Begitu mendengar ini, aku langsung meletakkan tas kulit ular itu. Fatima yang berada di samping segera melihat dengan cemas, “Bu, mana bisa biarkan dia pergi?”
Ibu Jelani mengangkat tangan, menyela perkataan Fatima, menatapku dan berkata: “Ingin pergi, kan? Ingin cerai, kan? Boleh, kita bicarakan setelah Fatima kencan buta, orang itu sangat menyukai Fatima, setidaknya harus tunggu selesai kencan buta, baru boleh cerai.”
Ibu Jelani jelas takut terjadi sesuatu pada kencan buta, takut setelah cerai denganku, tidak berhasil mencuri ayam, malah kehilangan beras, kehilangan dua-duanya.
Hatiku sangat marah, sudah dua tahun, tidak ada usaha juga ada budi, ibu dan anak ini anggap aku apa? Anjing?
Dengan marah, aku memandang Ibu Jelani yang arogan dan mengucapkan, “Atas apa?”
“Atas apa? Atas aku bisa bantu kamu sembunyikan ini dari orang tuamu, tidak biarkan mereka tahu masalah perceraian ini. Bagaimana pun, ibumu teman sekolahku, gimana?” Ibu Jelani tersenyum, mengulurkan tangan menepuk bahuku.
Ancam, benar-benar ancam!
Ibu Jelani tahu kondisi kesehatan orang tuaku tidak baik, jadi sengaja ancam aku dengan ini!
Kalau tidak ungkit orang tua, aku pasti tidak akan takut.
Begitu melibatkan orang tuaku, aku langsung takut, diriku seperti bola yang kempes. Saat melihat wajah Fatima dan Ibu Jelani, aku tidak pernah merasakan kebencian seperti ini.
“Hanya tinggal beberapa hari, tahan saja.” Pikirku dalam hati, menelan ludah, membawa tas kulit ular itu kembali ke kamar.
Saat berbalik menutup pintu, mata penuh kemenangan Fatima menatap kemari, aku menutup pintu dengan keras, menyandarkan punggungku ke dinding.
Aku pernah mencintai Fatima, sewaktu kuliah dia menjadi dewi yang tidak tersentuh. Pada hari pernikahan, aku sangat bahagia, semua orang di desa memberi selamat padaku.
Tapi orang luar tahu penderitaanku setelah menikah.
Fatima yang asli tidak seperti yang dipikirkan. Cantik belum tentu memiliki hati yang baik. Setelah berkali-kali melayani seperti kuda, dia tetap tidak pernah menatapku, tidak pernah, sama sekali tidak pernah.
Harapan berubah menjadi kekecewaan, kekecewaan berubah menjadi keputusasaan, mungkin itu karena aku pernah mencintai Fatima, tetapi pada saat ini, aku tidak lagi mencintainya, tidak sama sekali.
Hari ini, untuk pertama kalinya aku tidak masak, tidak mencuci pakaian, tidak melakukan pekerjaan rumah di keluarga Jelani. Sejak bertengkar, aku terus di kamar dan tidur.
Keesokan harinya, sekitar pukul sebelas, aku dibangunkan oleh ketukan pintu Fatima.
“Bangun, temani aku kencan buta.”
“ Yugi,cepat bangun, jangan tunda waktuku.”
Aku bangun dengan marah, bertanya-tanya kenapa aku harus pergi kencan buta? Apa karena Fatima, tidak bisa mengemudi, biarkan aku menjadi supir?
Aku pikir begitu, Fatima sudah dimanjakan sejak kecil, seumur hidup ini hanya beberapa kali naik bus, tidak mungkin memintanya naik bus. Mobil yang ditinggalkan Ibu Jelani di rumah digunakan untuk antar jemput Fatima.
“Sudah bangun, jangan teriak.”Aku mengenakan celana besar, telanjang dada membuka pintu, membuat Fatima takut hingga menutup matanya dan membelakangiku, seolah seluruh tubuhku memiliki benjolan di mana-mana, sampai tidak berani melihat.
Fatima berkata: “Cepat pakai bajumu, cepat!”
“Kencan buta, kan? Aku sengaja pelan-pelan, gimana? Kalau berani naik bus?”Aku bersenandung beberapa kali, berpikir akan segera cerai, semuanya tidak tabu seperti sebelumnya, aku berjalan ke kamar mandi dengan santai, membuat Fatima menghentakkan kakinya dengan marah, melihat diriku senang.
Sudah berapa lama, ini pertama kalinya aku hadapi Fatima dengan perasaan semacam ini, terutama perasaan senang itu, seolah-olah adalah awal dari balas dendam.
Aku sengaja berlama-lama, membuat wajah Fatima berubah cemas, seakan dia sangat peduli dengan kesan pria itu tentang dirinya.
Aku mengeluarkan pakaian lama yang kukenakan di perguruan tinggi dan mengenakannya, seperti orang kampung. Kemudian mengambil kunci mobil di ruang tamu, melihat kembali ke Fatima, berkata, “Ayo.”
Melihat aku keluar dari kamar dengan setelan ini, Fatima langsung tercengang, berdiri dari sofa, “ Yugi ! Kenapa pakai baju ini? Kamu sengaja permalukan keluarga Jelani, ya?”
“Ya, aku sengaja, pergi atau tidak itu urusanmu, paling aku balik tidur ke kamar.”Aku mengerutkan kening, meletakkan kunci mobil kembali ke tempatnya.
Akhirnya, Fatima menggertakkan giginya, penuh ketidakberdayaan, “Kamu! Cepat pakai sepatumu!”
Lokasi kencan buta Fatima ada di Resto West, aku bertanggung jawab menjadi supirnya, mengantarnya ke restoran, kemudian menunggunya di luar.
Sejujurnya, sekalipun aku berubah menjadi tidak peduli seperti apa pun, Fatima tetaplah istriku.
Tidak peduli suami mana pun yang mengantar istrinya kencan buta, pasti akan merasa tidak senang. Begitu juga aku, agar perceraian berjalan mulus, aku tidak mengatakan sepatah kata pun sepanjang jalan.
Setelah tiba di pintu masuk Resto West, seorang pria berjas berusia sekitar 24/25 tahun muncul di depanku. Begitu melihat Fatima turun dari mobil, dia menyapanya dari pintu dengan gentle.
“ Fatima,aku Kusno Duaji, sebelumnya kita berdua pernah bertemu, masih ingat aku?” Pria bernama Kusno ini, dengan sopan membuka pintu mobil dan menutup pintu mobil untuk istriku, bahkan mengulurkan tangannya biarkan istriku merangkulnya.
Yang paling menyebalkan, Fatima mengangguk malu-malu, “Yah, ingat.”
Yang membuatku menggertakkan gigi adalah Kusno melihat ke arahku dan tersenyum penuh arti. Mengeluarkan uang beberapa ratus ribu dari dompetnya, menyerahkannya dari jendela, “Kamu, Yugi, kan? Terima kasih sudah menjaga Fatima. Ini, belilah rokok yang bagus.”
Setelah itu, Fatima menampar wajahku, melototiku dengan marah, terengah-engah. Dada besarnya yang memakai T-shirt putih terus-menerus naik turun.
Aku menatap wajah Fatima dan kembali sadar. Meskipun kesal, tindakan memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidaklah gentleman.
Tetapi, terkadang pria tidak boleh tunduk, kalau sampai saat ini aku masih tundukkan kepala, aku bukan seorang pria!
“Tidak apa-apa, kita cerai!” Aku mencoba menahan emosiku dan berbicara dengan dingin.
Fatima tercengang, menunjukkan ekspresi tidak percaya, wajahnya perlahan memerah, seolah aku yang pertama kali meminta cerai, merupakan penghinaan baginya. Dia segera berteriak: “Cerai? Beraninya minta cerai denganku? Kalau ingin cerai, aku yang ceraikan kamu, pecundang!”
Setelah itu, Fatima seperti orang gila, menarik pakaianku dan ingin memukulku.
Setelah menikah begitu lama, Fatima tidak hanya sekali memukulku, aku tidak pernah membalasnya.
Kali ini, kuputuskan menjadi seorang pria, sekalipun mati kelaparan di jalan, juga tidak ingin bergantung pada orang lain, aku meraih tangan Fatima dan mendorongnya ke sofa, “Aku tidak mau wanita sepertimu.”
Sebelum Fatima bangkit, aku berbalik berjalan ke kamarku, membanting pintu dan mulai mengemasi pakaianku. Bahkan jika semua uangku sudah habis digunakan untuk beli lotere, hanya menyisakan puluhan ribu. Aku harus pergi dari sini, tinggalkan keluarga ini!
“ Yugi,KELUAR, kukatakan dengan jelas. Buka pintunya!” Fatima teriak dari luar, mengetuk pintu. Aku mengabaikannya, berpikir ingin mencari bantuan dari teman sekampungku.
Setelah sepuluh menit mengemasi koper, memakai pakaian milikku, tidak mengambil barang apa pun milik keluarga Jelani.
Keluarkan tas kulit ular yang disembunyikan di kaki tempat tidur, masukkan semua yang perlu dibawa, lalu memikulnya di bahu, langsung buka pintunya, melihat sosok Fatima.
“Apa yang kau lakukan?! Balik ke kamar, mau cerai, kalau aku cerai denganku, mau jadi apa kau?” Fatima berbicara dengan nada memerintah dan menatapku dengan tatapan yang sangat menghina.
“Kenapa aku harus balik? Kau pikir kau siapa?” Aku tidak marah, dia tidak seperti seorang istri? Yang ada seperti musuh, musuh dengan kebencian mendalam.
Fatima mengerutkan kening, melototiku, berkata: “Berani?”
Sudah lama patuh, begitu melihat tatapan ini, aku sedikit takut, tetapi aku tahan perasaan pecundang ini, mengambil napas dalam-dalam dan mengambil langkah maju, “Kenapa tidak berani?”
Saat ini, terdengar suara buka pintu, begitu aku lihat ternyata Ibu Jelani sudah pulang, tidak perlu tanya, ini pasti kerjaan Fatima, dia takut tidak bisa tahan aku, makanya minta bantuan ibunya.
Benar saja, begitu Ibu Jelani masuk, ia buru-buru menghampiri, wajahnya tegang dan berkata: “ Yugi, apa yang kau lakukan! keluarga Jelani lakukan kesalahan apa padamu? Kenapa pergi sesukamu?”
Saat Ibu Jelani melihat barang yang kupikul, ekspresinya sama seperti Fatima, benar-benar buah yang jatuh tidak jauh dari pohon, aura ibu mertua langsung muncul.
Terlebih, apa yang dikatakan Ibu Jelani sangat terampil, membuatku merasa berasalah, sama sekali tidak bisa berkata-kata.
Adapun Fatima, aku merasa kasihan padanya, tetapi pada Ibu Jelani, sebagai seorang menantu, aku benar-benar takut, seperti anak muda yang takut pada orang tua.
“Letakkan barangmu, bukan tidak boleh pergi.” Ibu Jelani menenangkan wajahnya.
Begitu mendengar ini, aku langsung meletakkan tas kulit ular itu. Fatima yang berada di samping segera melihat dengan cemas, “Bu, mana bisa biarkan dia pergi?”
Ibu Jelani mengangkat tangan, menyela perkataan Fatima, menatapku dan berkata: “Ingin pergi, kan? Ingin cerai, kan? Boleh, kita bicarakan setelah Fatima kencan buta, orang itu sangat menyukai Fatima, setidaknya harus tunggu selesai kencan buta, baru boleh cerai.”
Ibu Jelani jelas takut terjadi sesuatu pada kencan buta, takut setelah cerai denganku, tidak berhasil mencuri ayam, malah kehilangan beras, kehilangan dua-duanya.
Hatiku sangat marah, sudah dua tahun, tidak ada usaha juga ada budi, ibu dan anak ini anggap aku apa? Anjing?
Dengan marah, aku memandang Ibu Jelani yang arogan dan mengucapkan, “Atas apa?”
“Atas apa? Atas aku bisa bantu kamu sembunyikan ini dari orang tuamu, tidak biarkan mereka tahu masalah perceraian ini. Bagaimana pun, ibumu teman sekolahku, gimana?” Ibu Jelani tersenyum, mengulurkan tangan menepuk bahuku.
Ancam, benar-benar ancam!
Ibu Jelani tahu kondisi kesehatan orang tuaku tidak baik, jadi sengaja ancam aku dengan ini!
Kalau tidak ungkit orang tua, aku pasti tidak akan takut.
Begitu melibatkan orang tuaku, aku langsung takut, diriku seperti bola yang kempes. Saat melihat wajah Fatima dan Ibu Jelani, aku tidak pernah merasakan kebencian seperti ini.
“Hanya tinggal beberapa hari, tahan saja.” Pikirku dalam hati, menelan ludah, membawa tas kulit ular itu kembali ke kamar.
Saat berbalik menutup pintu, mata penuh kemenangan Fatima menatap kemari, aku menutup pintu dengan keras, menyandarkan punggungku ke dinding.
Aku pernah mencintai Fatima, sewaktu kuliah dia menjadi dewi yang tidak tersentuh. Pada hari pernikahan, aku sangat bahagia, semua orang di desa memberi selamat padaku.
Tapi orang luar tahu penderitaanku setelah menikah.
Fatima yang asli tidak seperti yang dipikirkan. Cantik belum tentu memiliki hati yang baik. Setelah berkali-kali melayani seperti kuda, dia tetap tidak pernah menatapku, tidak pernah, sama sekali tidak pernah.
Harapan berubah menjadi kekecewaan, kekecewaan berubah menjadi keputusasaan, mungkin itu karena aku pernah mencintai Fatima, tetapi pada saat ini, aku tidak lagi mencintainya, tidak sama sekali.
Hari ini, untuk pertama kalinya aku tidak masak, tidak mencuci pakaian, tidak melakukan pekerjaan rumah di keluarga Jelani. Sejak bertengkar, aku terus di kamar dan tidur.
Keesokan harinya, sekitar pukul sebelas, aku dibangunkan oleh ketukan pintu Fatima.
“Bangun, temani aku kencan buta.”
“ Yugi,cepat bangun, jangan tunda waktuku.”
Aku bangun dengan marah, bertanya-tanya kenapa aku harus pergi kencan buta? Apa karena Fatima, tidak bisa mengemudi, biarkan aku menjadi supir?
Aku pikir begitu, Fatima sudah dimanjakan sejak kecil, seumur hidup ini hanya beberapa kali naik bus, tidak mungkin memintanya naik bus. Mobil yang ditinggalkan Ibu Jelani di rumah digunakan untuk antar jemput Fatima.
“Sudah bangun, jangan teriak.”Aku mengenakan celana besar, telanjang dada membuka pintu, membuat Fatima takut hingga menutup matanya dan membelakangiku, seolah seluruh tubuhku memiliki benjolan di mana-mana, sampai tidak berani melihat.
Fatima berkata: “Cepat pakai bajumu, cepat!”
“Kencan buta, kan? Aku sengaja pelan-pelan, gimana? Kalau berani naik bus?”Aku bersenandung beberapa kali, berpikir akan segera cerai, semuanya tidak tabu seperti sebelumnya, aku berjalan ke kamar mandi dengan santai, membuat Fatima menghentakkan kakinya dengan marah, melihat diriku senang.
Sudah berapa lama, ini pertama kalinya aku hadapi Fatima dengan perasaan semacam ini, terutama perasaan senang itu, seolah-olah adalah awal dari balas dendam.
Aku sengaja berlama-lama, membuat wajah Fatima berubah cemas, seakan dia sangat peduli dengan kesan pria itu tentang dirinya.
Aku mengeluarkan pakaian lama yang kukenakan di perguruan tinggi dan mengenakannya, seperti orang kampung. Kemudian mengambil kunci mobil di ruang tamu, melihat kembali ke Fatima, berkata, “Ayo.”
Melihat aku keluar dari kamar dengan setelan ini, Fatima langsung tercengang, berdiri dari sofa, “ Yugi ! Kenapa pakai baju ini? Kamu sengaja permalukan keluarga Jelani, ya?”
“Ya, aku sengaja, pergi atau tidak itu urusanmu, paling aku balik tidur ke kamar.”Aku mengerutkan kening, meletakkan kunci mobil kembali ke tempatnya.
Akhirnya, Fatima menggertakkan giginya, penuh ketidakberdayaan, “Kamu! Cepat pakai sepatumu!”
Lokasi kencan buta Fatima ada di Resto West, aku bertanggung jawab menjadi supirnya, mengantarnya ke restoran, kemudian menunggunya di luar.
Sejujurnya, sekalipun aku berubah menjadi tidak peduli seperti apa pun, Fatima tetaplah istriku.
Tidak peduli suami mana pun yang mengantar istrinya kencan buta, pasti akan merasa tidak senang. Begitu juga aku, agar perceraian berjalan mulus, aku tidak mengatakan sepatah kata pun sepanjang jalan.
Setelah tiba di pintu masuk Resto West, seorang pria berjas berusia sekitar 24/25 tahun muncul di depanku. Begitu melihat Fatima turun dari mobil, dia menyapanya dari pintu dengan gentle.
“ Fatima,aku Kusno Duaji, sebelumnya kita berdua pernah bertemu, masih ingat aku?” Pria bernama Kusno ini, dengan sopan membuka pintu mobil dan menutup pintu mobil untuk istriku, bahkan mengulurkan tangannya biarkan istriku merangkulnya.
Yang paling menyebalkan, Fatima mengangguk malu-malu, “Yah, ingat.”
Yang membuatku menggertakkan gigi adalah Kusno melihat ke arahku dan tersenyum penuh arti. Mengeluarkan uang beberapa ratus ribu dari dompetnya, menyerahkannya dari jendela, “Kamu, Yugi, kan? Terima kasih sudah menjaga Fatima. Ini, belilah rokok yang bagus.”
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved