Bab 1 Aku Tidak Ingin Hidupmu Bahagia

by Parisya 08:00,Jan 01,1970
Bab 1 Aku Tidak Ingin Hidupmu Bahagia

"Aku dan suamimu berada di Shangri-La, kamar nomor 1108. Kami sedang melakukan hal-hal yang kami sukai. Nadine, kenapa sih kau tak mau bercerai? Kok kau bodoh banget sih! Jangankan tubuhnya, hatinya saja kau tak bisa jaga!"

Nadine sedang berdiri di depan pintu kamar 1108 sambil mengamati dengan dingin SMS di handphone yang dipegangnya. Bulu matanya yang panjang menutupi lingkaran matanya yang gelap, wajahnya datar.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Angga yang sedang merangkul sekretarisnya yang cantik dan manja berjalan keluar. Melihat Nadine disana, ia terdiam sebentar, lalu menyunggingkan senyum jahat, "Kau datang untuk menangkap basah aku lagi? Kenapa tidak masuk saja ke dalam, di luar panas banget, gak capek apa berdiri di sini?"

Nadine menatap pria itu datar, "Aku tak mau mengganggu kesenangan kalian, aku memang sudah berdosa dulu. Tapi dirimu sendiri, kapan kau akan sembuh?"

Mendengar celaan Nadine ini, mata Angga bersinar marah, "Nadine, kaulah yang sejak awal sudah tidak suci lagi, jadi untuk apa kau bersikap seperti ini."

Nadine tersenyum, air matanya hampir tumpah.

Tiga tahun lalu, mantan Angga pernah menculiknya. Dalam usahanya untuk kabur, keperawanannya direbut oleh seorang pria asing bertopeng. Ia melihat mobil suaminya terparkir tidak jauh dari tempat Nadine berada. Nadine shok, ia melihat suaminya sedang berhubungan seks dengan seorang wanita di dalam mobil itu. Dan wanita itu, adalah wanita yang telah menculiknya.

Melihat pemandangan di dalam mobil itu, Nadine gemetar, hatinya seakan tertusuk pisau, bahkan rasa sakit yang dirasakan tubuhnya waktu itu kalah oleh rasa sakit hatinya. Ia tak tahu kenapa ini semua bisa terjadi, yang ia tahu hanyalah hatinya yang terasa sakit.

"Kalau kau tidak enak mendengarnya, maaf ya. Toh kau sudah sering melihatku bersikap seperti ini." Nadine mendongakkan kepalanya.

Tatapan Angga mulai mendingin, "Mau apa sebenarnya kau kesini? Jangan bilang kau sengaja datang untuk membuatku kesal."

"Wah, ternyata kau bisa menebaknya. Instingmu memang selalu tepat." Nadine menyunggingkan senyum datar.

"Pergi kau dari sini!" Kata Angga tanpa berbasa basi lagi.

Nadine mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tasnya, lalu menyerahkannya pada Angga.

Tanpa menerimanya, Angga bertanya dengan hati-hati, "Ini apa?"

"Dia…" Tatapan Nadine mengarah pada sekretaris Angga.

"Aku kenapa?" Kata sekretaris itu sambil menggandeng lengan Angga.

Ia mendengar gosip, bahwa meskipun adalah Nyonya Angga, tapi Nadine tak pernah dianggap oleh suaminya. Dan hari ini terbukti, wanita ini kelihatannya sangat menjijikkan bagi Angga. Jadi ia tak takut pada Nadine.

Nadine menggerak gerakkan dokumen di tangannya, "Kau adalah sekretaris utama yang terkenal di kota ini. Di kota ini, sudah ada 80% pengusaha yang tidur denganmu, dan salah satu pengusaha itu menderita penyakit AIDS, bulan lalu ia sudah diperiksa."

Sekretaris itu ketakutan hingga wajahnya pucat pasi.

Nadine kembali menatap Angga, "Kalian memakai kondom kan? Kalau tidak, aku mengenal seorang dokter, aku bisa mengenalkannya padamu."

Angga mengambil dokumen itu dari tangan Nadine, ia memicingkan mata, lalu sorot matanya berubah marah. Ia melempar dokumen itu ke wajah Nadine, "Kau selalu saja membuat orang lain kesal."

Nadine hanya bisa mematung di tempatnya. Dokumen itu mengenai wajahnya, ternyata sakit juga.

Nadine lalu tersenyum mengejek, "Kau tahu, aku memang tidak ingin kau hidup bahagia."

"Kalau begitu aku akan membuatmu lebih tak bahagia agar aku bisa kembali bahagia. Pulanglah hari ini juga, tak perlu menungguku!" Ucap Angga marah.

Ia berbalik, lalu berjalan ke arah lift.

Nadine berdiri mematung tanpa ekspresi sedikitpun. Ia mengerti apa maksud kalimat tidak perlu menunggunya itu. Malam ini Angga pasti akan bermalam di rumah seorang perempuan, pasti ingin merasakan kenikmatan perempuan itu.

Setelah kehilangan keperawanannya, Angga tak pernah sekalipun menyentuhnya. Bagi Angga, ia tak sebanding dengan seorang sekretaris kotor. Air mata perlahan memenuhi bola mata Nadine. Ia hanya diam mematung, tak menangis, tapi bukan berarti ia tak berduka.

Sekretaris Angga menampar wajahnya. Nadine tak bisa mengelak, ia mundur beberapa langkah lalu bersandar di dinding.

"Keterlaluan sekali kau! Kau sudah merusak nama baikku didepan dia. Memangnya dengan begini kau bisa mendapatkan hatinya?" Sekretaris itu berkata marah sambil mengepalkan tinju.

"Mana mau aku sama pria sampah seperti dia." Nadine balik menampar wajah sekretaris itu, "Aku tidak bisa kalian berdua permainkan."

"Kalau begitu kenapa kau tidak bercerai saja?" Teriak sekretaris itu.

"Kau tak punya hak untuk tahu. Besok dokumen ini akan beredar di internet, siapkan mentalmu baik-baik." Kata Nadine dingin. Ia lalu berjalan keluar hotel.

Hari sudah gelap. Nadine merapikan pakaiannya sambil berjalan di jalan yang sepi. Cahaya bulan menarik panjang bayangan tubuhnya. Ia merasa kesepian, merasa down. Sesampainya dirumah, hatinya makin tak sejahtera. Akhirnya ia pergi ke ruang shift malam di rumah sakit untuk tidur disana.

Sesampainya di kantor, ia menyalakan lampu. Seorang tentara yang mengenakan seragam hijau berlari mendekat dengan wajah tegang, dengan panik ia bertanya, "Kamu dokter kandungan yang sedang bertugas sekarang?"

Nadine terperangah oleh sikap panik pria ini, "Ada apa? Apa anda butuh bantuan?"

"Di dekat sini ada seorang wanita hamil yang ketubannya pecah. Keadaan dia sangat gawat sekarang, butuh pertolongan secepatnya. Tolong kamu ikut aku sebentar." Kata tentaraitu dengan panik.

Bagi ibu yang sedang hamil dan bayinya, ketuban pecah memang menandakan keadaan mereka sedang gawat.

Tanpa pikir panjang lagi Nadine berkata, "Aku ambil perlengkapanku sebentar, berikan aku waktu 5 menit, baru aku akan ikut denganmu."

Tak lama kemudian, ia pergi mengikuti tentaraitu ke sebuah area taman kecil di dekat rumah sakit. Disana, berdiri belasan tentaradengan wajah tegang. Mereka tidak bergerak sama sekali, seakan sudah terlatih untuk tidak panik hingga atasan datang atau atasan memberikan petunjuk.

Nadine diantar masuk ke TKP, yaitu ruangan 802, diseberang ruangan 801. Sekilas, ia melihat seorang pria yang sedang memberi komando pada bawahannya. Wajahnya tegas, pandangan matanya tajam, tubuhnya sempurna, seperti karya seni yang ‘dipahat indah’ oleh sang professional, wajahnya tampan seperti malaikat.

Yang membuat Nadine merasa heran adalah, di antara orang-orang yang sedang serius mendengarkan ini ternyata ada juga seorang pemimpin. Berarti apakah status pria ini adalah seorang jenderal?

Pandangan pria yang tajam itu beralih padanya, sangat tajam seakan mau membunuh orang. Nadine kaget, merasa diancam, ia lalu menunduk.

Pria itu berjalan ke arahnya. Tubuh yang tinggi besar menutupi bayangan tubuhnya, seakan menelan tubuhnya hidup hidup. Nadine ingat pria asing malam itu juga memiliki tubuh yang kuat seperti ini sehingga saat itu ia memberontak bagaimanapun juga tetap tak ada gunanya.

"Tatap wajahku." Perintah Radit.

Seperti elang ia menatap tajam wajah polos Nadine. Ia diam, tidak marah tapi terlihat mengancam. Nadine mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mendongak menatap pria itu. Wajah pria itu dingin, tatapannya tajam, membuat orang yang melihatnya seram.

Nadine yang baru pertama kali melihat sosok pria seperti ini tidak hanya tak bersuara, tapi juga seakan ‘takluk’ pada pria itu.

"Aku dokter, bukan seorang kriminal." Nadine buka suara.

Radit tetap menatapnya tajam. Dengan tegas ia memberi perintah pada bawahannya, "Suruh dia pergi, ganti saja dengan orang lain."

Nadine bingung, "Kenapa begitu?"

"Di dalam kau harus menghadapi tiga orang pecandu narkoba, mereka tidak segan segan akan membunuh orang yang tak disukainya. Kau berani?" Tanya Radit kasar.

"Kenapa tidak berani?" Tanya Nadine balik.

Radit menatapnya dingin, ia lalu memegang dagu Nadine dan mendekat, "Pikir dulu baik-baik baru kau jawab aku. Kalau masuk kedalam, kau berada diantara hidup dan mati. Ini bukan permainan anak kecil, bukan sandiwara asal-asalan."

Napasnya mengenai wajah Nadine, sangat menakutkan. Tapi Nadine langsung bermuka masam. Makin orang lain memandang rendah dia, makin dia ingin melakukannya.

"Kalau takut mati aku tidak akan kemari." Jawab Nadine berani. Ia balas menatap Radit tanpa takut.

Radit mengernyitkan dahi sambil memandangnya. Bola mata Radit hitam gelap, Nadine dapat melihat bayangan dirinya di bola mata itu…

Download APP, continue reading

Chapters

899