Bab 12 Kalau Kamu Mabuk, Jangan Khawatir, Ada Aku Disini
by Parisya
08:00,Jan 01,1970
Bab 12 Kalau Kamu Mabuk, Jangan Khawatir, Ada Aku Disini
"Suka atau tidak suka, itu urusanku. Aku tidak perlu kan menjelaskannya padamu." Kata Radit dingin.
Sinta melihat Nadine dengan tatapan tajam dan benci, ia menyindir, "Kau pacarnya Radit? Memangnya kau kira kau pantas untuk menjadi pacarnya?"
Radit langsung melindungi Nadine dalam pelukannya, "Jangan pedulikan dia."
Sinta langsung gila dengan tindakan Radit ini. Ia langsung menggenggam tangan Nadine dengan keras hingga tangan Nadine terasa sakit. Dengan tidak sabaran ia berkata, "Eh, aku tanya, kau pacarnya Radit?"
Nadine langsung tahu bagaimana hubungan Sinta dan Radit. Ia hanya diam.
"Sinta." Radit menarik Nadine ke sebelahnya, lalu dengan dingin berkata, "Kau sudah menyakiti pacarku."
Sinta tak memedulikan Radit. Matanya memerah, ia berteriak pada Nadine, "Apa kau pacarnya Radit? Kenapa kau tak menjawab? Kau bisu ya? Pria ini bukan milikmu, kok kau tak tahu malu sih?"
"Bukannya kau yang tak tahu malu?" Balas Nadine dingin.
Sorot mata Sinta berubah seakan ingin membunuh orang, "Kau dimataku hanyalah seorang wanita buruk rupa. Memangnya berapa Radit membayarmu? Aku bisa menggantinya sepuluh kali lipat kalau kau pergi dari sini sekarang juga!"
"Kau tidak merasa dirimu sendiri ya yang buruk rupa sekarang? Wanita yang bodoh mengemis cinta, tapi wanita pintar menjaga harga dirinya." Kata Nadine tegas.
Sinta ingin menampar wajah Nadine. Tapi Radit lebih cepat selangkah. Ia berhasil menahan tangan Sinta, pupil matanya bersinar dingin, ia memperingatkan wanita itu, "Jangan keterlaluan."
"Akukah yang keterlaluan? Kamu itu tunangan aku Radit, tapi kamu datang bersama wanita lain." Sinta marah hingga seluruh tubuhnya bergetar, "Sudah cukup dengan kasus Belinda dulu, kamu jangan lagi membodohi aku."
"Aku tidak pernah mengakui kau sebagai tunanganku." Sorot mata Radit suram menatapnya, lalu ia melanjutkan dengan tegas, "Kalau kau merendahkan pacarku, aku tidak akan membiarkanmu."
Suasana disana seketika berubah menjadi dingin.
"Sudah sudah, jangan bertengkar lagi." Rizky melerai mereka. Ia menarik tangan Sinta, "Jangan ribut lagi, dek. Toh kamu belum menjadi tunangannya Radit."
Sinta menghempaskan tangan Rizky, matanya memerah, ia menatap Radit lekat, "Memangnya kamu berani menciumnya? Kalau berani, aku akan percaya bahwa dia pacarmu!"
Radit terdiam.
Sinta mengejek, "Tak berani kan? Radit, di dunia ini hanya aku yang pantas memilikimu, kamu jangan menghindar lagi."
Radit tersenyum licik, ia lalu berbalik menghadap Nadine. Matanya bersinar sinar aneh, membuat Nadine curiga. Gadis itu lalu mundur selangkah. Tapi Radit sudah memegang lembut kepalanya, lalu menyentuhkan bibirnya pada Nadine.
Serasa disengat listrik, kedua bibir mereka bertemu. Nadine kaget, matanya terbelalak, kenapa begitu mendadak? Tapi… bukannya Radit sudah pernah bersandiwara sebelumnya dengan wanita yang bernama Belinda itu.
Nadine menutup erat bibirnya agar bibir Radit tak bisa masuk. Tapi tangan Radit yang panjang masuk ke sela sela rambutnya, lalu turun ke leher, menekan lehernya agar ia mendongak. Akhirnya lidahnya bisa masuk ke dalam mulut Nadine, ‘bermain’ dengan asik di dalam mulutnya.
Hati Nadine berdegup kencang. Ia tak suka berciuman dengan seorang pria asing, dengan pria yang tak punya perasaan sedikitpun dengannya. Tangannya spontan mendorong tubuh Radit. Tapi Radit menangkap tangannya yang coba melawan itu, dan ciumannya malah makin ‘ganas’, dari ciuman yang lembut berubah jadi bermain lidah.
Napasnya yang berat mengenai wajah Nadine, ciuman Radit terasa makin ‘ganas’, makin bernafsu. Nadine ingat tiga tahun yang lalu, pria itu juga menciuminya dengan ganas seperti ini. perasaan itu ‘memukul mukul’ hatinya hingga hatinya ‘pecah berantakan’. Setelah kejadian itu, butuh waktu lama bagi Nadine untuk pulih dari sakit hatinya.
Tubuh Nadine bergetar, ia memukul mukul punggung Radit. Radit akhirnya dengan segan melepaskan bibirnya dari bibir Nadine yang merah itu. Nadine menatapnya marah, ingin sekali ia menampar Radit. Tapi… ia sudah berjanji untuk berpura-pura. Kalau ia menamparnya, bisa rusak dong rencana mereka.
Tatapan Nadine ini membuat pupil mata Radit suram. Sementara itu, mata Sinta bersinar marah, ia mengepalkan tinju. Kemudian ia membuang mukanya dan berjalan menuju meja bar. Ia duduk disana dan menuangkan bir. Cemburu membuat Sinta bertingkah gila.
Rizky menghembuskan napas, ia mencoba menghibur Sinta, "Lepaskanlah Radit, masih banyak kok lelaki lain di dunia ini."
"Tapi mereka semua bukan Radit." Kata Sinta keras kepala. Ia meminum habis bir dalam gelasnya.
Ia menatap Nadine dengan cemburu. Sambil menggenggam erat dua botol bir ia berteriak ke arahnya, "Eh, kaku! Kau berani tidak menemaniku minum bir?!"
Nadine hanya balas menatapnya.
"Kau mau bagaimana meminumnya? Biar aku menggantikan dia." Kata Radit kesal. Sinta langsung memecahkan botol bir yang satu, emosinya tak dapat dikendalikan, "Atas dasar apa kau ingin menggantikan dia minum? Ini pertarungan antar perempuan. Ya benar, aku sekarang mengumumkan perang pada perempuan itu. Radit, aku katakan sekali lagi, kau adalah milikku. Kalau kau tidak mau menjadi milikku, akan kubuat kau menderita."
Nadine menatap kegilaan perempuan di depannya ini, hatinya ikut bersimpati. Apa semua perempuan di dunia ini sama, jika tidak bisa mendapatkan orang yang dicintainya maka hati mereka terasa hancur? Patah hati dapat membuat seseorang rela melukai dirinya sendiri agar emosinya terlampiaskan.
Hati Nadine bergejolak. Tapi demi ibunya, demi dirinya sendiri, dan terlebih lagi demi Angga...
"Baiklah, aku temani kau minum." Ucap Nadine lembut, ia lalu berjalan mendekati Sinta.
Sinta heran Nadine berani untuk menerima tantangannya, ia tersenyum licik. Dirinya sendiri, minum seribu gelas birpun tak akan bisa mabuk. Perempuan di depannya ini pasti kalah.
"Kalau kau kalah, kau harus menari disini dengan telanjang. Kalau tidak mau, berikan pacarmu padaku." Kata Sinta dengan jahat.
"Kalau kau kalah?" Nadine bertanya dengan santai, matanya yang indah memantulkan sinar simpati.
Mungkin Sinta tak mengerti prinsip ini, kalau seorang pria tidak mencintainya, walaupun mereka menikah, pria itu tetap tak akan mencintainya. Rumah tangga mereka akan terasa seperti neraka. Tapi yah, Sinta sepertinya baru terjun di masyarakat.
"Aku tidak mungkin kalah." Ucap Sinta dengan penuh percaya diri.
"Kalau kau kalah, kau harus melepaskan segala emosimu itu. Kau harus berdiri di geladak kapal dan berteriak, ‘Radit, aku tidak mencintaimu lagi!’ Bagaimana?" Kata Nadine lembut, iapun menyunggingkan senyum pahit.
Kalau dirinya tidak mencintai Angga, ia akan rela melihat pria itu main di belakang dengan wanita lain. Kalau ia tidak mencintai Angga, ia tidak mungkin merasa sesakit ini. Ia harap, perasaan cinta ini segera hilang, sesegera mungkin, agar harga dirinya tidak jatuh karena telah mencintai orang yang salah.
"Baik, jangan bilang aku tidak memberikanmu kesempatan. Tiga botol bir, kita lihat siapa yang minumnya paling cepat." Kata Sinta dengan santai.
Nadine mengambil satu botol. Saat ia mau meminumnya, tangan Radit menahan.
Mata pria itu memancarkan sinar prihatin, "Jangan minum!"
Tapi Nadine tersenyum padanya, bola mata Nadine bergerak gerak, seakan ada cairan yang bergerak gerak di matanya.
"Kalau aku mabuk, masih ada kamu kan?" Ucap Nadine tenang.
Rasa percayanya pada Radit ini membuat pria itu terdiam. Bola mata Radit makin suram menatap Nadine yang terluka ini. Meski tak rela, perlahan ia pun melepaskan pegangannya.
"Kalau kamu mabuk, masih ada aku disini." Janji Radit.
Nadine mengangkat botol birnya, lalu mulai minum. Sebotol habis, lalu lanjut botol berikutnya. Bir yang tidak tertelan olehnya turun membasahi bajunya. Telah minum sebanyak ini, tapi kenapa hatinya masih terasa sakit.
Akhirnya ia berhasil minum tiga botol bir, Nadine meletakkan botolnya yang kosong ke meja, menyeka mulutnya yang habis meminum bir itu. Ia kemudian melihat tiga botol kosong milik Sinta didepannya, lalu tersenyum dingin.
"Aku kalah." Dia mengaku.
"Suka atau tidak suka, itu urusanku. Aku tidak perlu kan menjelaskannya padamu." Kata Radit dingin.
Sinta melihat Nadine dengan tatapan tajam dan benci, ia menyindir, "Kau pacarnya Radit? Memangnya kau kira kau pantas untuk menjadi pacarnya?"
Radit langsung melindungi Nadine dalam pelukannya, "Jangan pedulikan dia."
Sinta langsung gila dengan tindakan Radit ini. Ia langsung menggenggam tangan Nadine dengan keras hingga tangan Nadine terasa sakit. Dengan tidak sabaran ia berkata, "Eh, aku tanya, kau pacarnya Radit?"
Nadine langsung tahu bagaimana hubungan Sinta dan Radit. Ia hanya diam.
"Sinta." Radit menarik Nadine ke sebelahnya, lalu dengan dingin berkata, "Kau sudah menyakiti pacarku."
Sinta tak memedulikan Radit. Matanya memerah, ia berteriak pada Nadine, "Apa kau pacarnya Radit? Kenapa kau tak menjawab? Kau bisu ya? Pria ini bukan milikmu, kok kau tak tahu malu sih?"
"Bukannya kau yang tak tahu malu?" Balas Nadine dingin.
Sorot mata Sinta berubah seakan ingin membunuh orang, "Kau dimataku hanyalah seorang wanita buruk rupa. Memangnya berapa Radit membayarmu? Aku bisa menggantinya sepuluh kali lipat kalau kau pergi dari sini sekarang juga!"
"Kau tidak merasa dirimu sendiri ya yang buruk rupa sekarang? Wanita yang bodoh mengemis cinta, tapi wanita pintar menjaga harga dirinya." Kata Nadine tegas.
Sinta ingin menampar wajah Nadine. Tapi Radit lebih cepat selangkah. Ia berhasil menahan tangan Sinta, pupil matanya bersinar dingin, ia memperingatkan wanita itu, "Jangan keterlaluan."
"Akukah yang keterlaluan? Kamu itu tunangan aku Radit, tapi kamu datang bersama wanita lain." Sinta marah hingga seluruh tubuhnya bergetar, "Sudah cukup dengan kasus Belinda dulu, kamu jangan lagi membodohi aku."
"Aku tidak pernah mengakui kau sebagai tunanganku." Sorot mata Radit suram menatapnya, lalu ia melanjutkan dengan tegas, "Kalau kau merendahkan pacarku, aku tidak akan membiarkanmu."
Suasana disana seketika berubah menjadi dingin.
"Sudah sudah, jangan bertengkar lagi." Rizky melerai mereka. Ia menarik tangan Sinta, "Jangan ribut lagi, dek. Toh kamu belum menjadi tunangannya Radit."
Sinta menghempaskan tangan Rizky, matanya memerah, ia menatap Radit lekat, "Memangnya kamu berani menciumnya? Kalau berani, aku akan percaya bahwa dia pacarmu!"
Radit terdiam.
Sinta mengejek, "Tak berani kan? Radit, di dunia ini hanya aku yang pantas memilikimu, kamu jangan menghindar lagi."
Radit tersenyum licik, ia lalu berbalik menghadap Nadine. Matanya bersinar sinar aneh, membuat Nadine curiga. Gadis itu lalu mundur selangkah. Tapi Radit sudah memegang lembut kepalanya, lalu menyentuhkan bibirnya pada Nadine.
Serasa disengat listrik, kedua bibir mereka bertemu. Nadine kaget, matanya terbelalak, kenapa begitu mendadak? Tapi… bukannya Radit sudah pernah bersandiwara sebelumnya dengan wanita yang bernama Belinda itu.
Nadine menutup erat bibirnya agar bibir Radit tak bisa masuk. Tapi tangan Radit yang panjang masuk ke sela sela rambutnya, lalu turun ke leher, menekan lehernya agar ia mendongak. Akhirnya lidahnya bisa masuk ke dalam mulut Nadine, ‘bermain’ dengan asik di dalam mulutnya.
Hati Nadine berdegup kencang. Ia tak suka berciuman dengan seorang pria asing, dengan pria yang tak punya perasaan sedikitpun dengannya. Tangannya spontan mendorong tubuh Radit. Tapi Radit menangkap tangannya yang coba melawan itu, dan ciumannya malah makin ‘ganas’, dari ciuman yang lembut berubah jadi bermain lidah.
Napasnya yang berat mengenai wajah Nadine, ciuman Radit terasa makin ‘ganas’, makin bernafsu. Nadine ingat tiga tahun yang lalu, pria itu juga menciuminya dengan ganas seperti ini. perasaan itu ‘memukul mukul’ hatinya hingga hatinya ‘pecah berantakan’. Setelah kejadian itu, butuh waktu lama bagi Nadine untuk pulih dari sakit hatinya.
Tubuh Nadine bergetar, ia memukul mukul punggung Radit. Radit akhirnya dengan segan melepaskan bibirnya dari bibir Nadine yang merah itu. Nadine menatapnya marah, ingin sekali ia menampar Radit. Tapi… ia sudah berjanji untuk berpura-pura. Kalau ia menamparnya, bisa rusak dong rencana mereka.
Tatapan Nadine ini membuat pupil mata Radit suram. Sementara itu, mata Sinta bersinar marah, ia mengepalkan tinju. Kemudian ia membuang mukanya dan berjalan menuju meja bar. Ia duduk disana dan menuangkan bir. Cemburu membuat Sinta bertingkah gila.
Rizky menghembuskan napas, ia mencoba menghibur Sinta, "Lepaskanlah Radit, masih banyak kok lelaki lain di dunia ini."
"Tapi mereka semua bukan Radit." Kata Sinta keras kepala. Ia meminum habis bir dalam gelasnya.
Ia menatap Nadine dengan cemburu. Sambil menggenggam erat dua botol bir ia berteriak ke arahnya, "Eh, kaku! Kau berani tidak menemaniku minum bir?!"
Nadine hanya balas menatapnya.
"Kau mau bagaimana meminumnya? Biar aku menggantikan dia." Kata Radit kesal. Sinta langsung memecahkan botol bir yang satu, emosinya tak dapat dikendalikan, "Atas dasar apa kau ingin menggantikan dia minum? Ini pertarungan antar perempuan. Ya benar, aku sekarang mengumumkan perang pada perempuan itu. Radit, aku katakan sekali lagi, kau adalah milikku. Kalau kau tidak mau menjadi milikku, akan kubuat kau menderita."
Nadine menatap kegilaan perempuan di depannya ini, hatinya ikut bersimpati. Apa semua perempuan di dunia ini sama, jika tidak bisa mendapatkan orang yang dicintainya maka hati mereka terasa hancur? Patah hati dapat membuat seseorang rela melukai dirinya sendiri agar emosinya terlampiaskan.
Hati Nadine bergejolak. Tapi demi ibunya, demi dirinya sendiri, dan terlebih lagi demi Angga...
"Baiklah, aku temani kau minum." Ucap Nadine lembut, ia lalu berjalan mendekati Sinta.
Sinta heran Nadine berani untuk menerima tantangannya, ia tersenyum licik. Dirinya sendiri, minum seribu gelas birpun tak akan bisa mabuk. Perempuan di depannya ini pasti kalah.
"Kalau kau kalah, kau harus menari disini dengan telanjang. Kalau tidak mau, berikan pacarmu padaku." Kata Sinta dengan jahat.
"Kalau kau kalah?" Nadine bertanya dengan santai, matanya yang indah memantulkan sinar simpati.
Mungkin Sinta tak mengerti prinsip ini, kalau seorang pria tidak mencintainya, walaupun mereka menikah, pria itu tetap tak akan mencintainya. Rumah tangga mereka akan terasa seperti neraka. Tapi yah, Sinta sepertinya baru terjun di masyarakat.
"Aku tidak mungkin kalah." Ucap Sinta dengan penuh percaya diri.
"Kalau kau kalah, kau harus melepaskan segala emosimu itu. Kau harus berdiri di geladak kapal dan berteriak, ‘Radit, aku tidak mencintaimu lagi!’ Bagaimana?" Kata Nadine lembut, iapun menyunggingkan senyum pahit.
Kalau dirinya tidak mencintai Angga, ia akan rela melihat pria itu main di belakang dengan wanita lain. Kalau ia tidak mencintai Angga, ia tidak mungkin merasa sesakit ini. Ia harap, perasaan cinta ini segera hilang, sesegera mungkin, agar harga dirinya tidak jatuh karena telah mencintai orang yang salah.
"Baik, jangan bilang aku tidak memberikanmu kesempatan. Tiga botol bir, kita lihat siapa yang minumnya paling cepat." Kata Sinta dengan santai.
Nadine mengambil satu botol. Saat ia mau meminumnya, tangan Radit menahan.
Mata pria itu memancarkan sinar prihatin, "Jangan minum!"
Tapi Nadine tersenyum padanya, bola mata Nadine bergerak gerak, seakan ada cairan yang bergerak gerak di matanya.
"Kalau aku mabuk, masih ada kamu kan?" Ucap Nadine tenang.
Rasa percayanya pada Radit ini membuat pria itu terdiam. Bola mata Radit makin suram menatap Nadine yang terluka ini. Meski tak rela, perlahan ia pun melepaskan pegangannya.
"Kalau kamu mabuk, masih ada aku disini." Janji Radit.
Nadine mengangkat botol birnya, lalu mulai minum. Sebotol habis, lalu lanjut botol berikutnya. Bir yang tidak tertelan olehnya turun membasahi bajunya. Telah minum sebanyak ini, tapi kenapa hatinya masih terasa sakit.
Akhirnya ia berhasil minum tiga botol bir, Nadine meletakkan botolnya yang kosong ke meja, menyeka mulutnya yang habis meminum bir itu. Ia kemudian melihat tiga botol kosong milik Sinta didepannya, lalu tersenyum dingin.
"Aku kalah." Dia mengaku.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved