Bab 11 Jadilah Pacarku

by Parisya 08:00,Jan 01,1970
Bab 11 Jadilah Pacarku

Baru saja Nadine sampai di depan pintu gerbang area militer, sebuah mobil Land Rover melewatinya, lalu berhenti. Mobil tersebut sepertinya pernah ia lihat di suatu tempat. Kaca jendela mobil yang berwarna hitam itu bergerak turun. Ternyata sang pengemudinya adalah Radit.

"Naiklah." Kata Radit pada Nadine.

Nada yang ia gunakan terdengar seperti perintah yang tak bisa ditolak. Nadine mempercayainya, jadi ia membuka pintu mobil di sebelahnya, lalu duduk disana.

Saat Nadine sudah ada dalam mobil, Radit tak berkata apapun, ia hanya duduk diam. Suasana disana terasa canggung.

"Bagaimana aku memberikan uangnya pada anda?" Tanya Nadine.

Radit sama sekali tak meliriknya, di mata pria itu sama sekali tak ada kesan hangat, "Aku tidak bisa disuap."

"Bukan, ini uang kosmetik yang anda berikan padaku." Nadine menjelaskan.

"Kalau kau tidak suka kosmetik itu, ya buang saja." Kata Radit dingin.

Perkataannya tidak terdengar sebagai candaan, tapi serius.

Nadine langsung merasa tak enak, ia tak suka akan kekeras kepalaan Radit ini, "Kalau anda seperti ini, aku sendiri merasa tak enak. Masak aku menerima dengan cuma-cuma barang yang anda kasik ke aku? Tidak baik kan, toh kita tidak ada hubungan apa apa."

Radit menatap gadis itu suram, lalu balik tanya, "Memangnya kau ingin punya hubungan denganku?"

Nadine, "……"

Mendengar perkataan yang terdengar ‘ramah’ ini, Nadine merasa agak gugup. Dengan hati-hati ia berkata, "Aku sudah punya suami."

"Kau kira aku tidak tahu?" Mata Radit tetap melihat kedepan, ia berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.

Nadine tak mengerti apa maksud Radit ini, dengan kesal ia hanya melihat keluar jendela.

"Bantulah aku melakukan sesuatu." Ucap Radit.

Kalimat yang ia gunakan tidak terdengar memohon. Nadine tak menjawab, ia hanya menggigit bibir.

"Kenapa tak bertanya melakukan apa?" Tanya Radit sambil meliriknya.

"Karena anda sudah mengundangku kemari, pastilah aku bisa membantu anda. Walaupun aku tidak bisa mengingat kejadian kemaren lalu, tapi aku yakin pasti anda juga sudah membantuku banyak. Jadi tentu saja, sudah seharusnya aku balas membantu anda." Kata Nadine tanpa keraguan.

Saling membantu. Kalimat ini seakan memperlebar jarak diantara mereka.

"Jadilah pacarku." Kata Radit datar.

Nadine terkaget kaget mendengarnya, wajahnya seakan tak percaya.

"Hanya pacar bohongan." Tambah Radit. Matanya yang hitam menatap Nadine, "Untuk menghadiri sebuah pertemuan."

"Aku sudah menikah, tidak pantas kan bagiku untuk pura-pura menjadi pacarmu?" Kata Nadine mengingatkan.

Radit tersenyum, pupil matanya terlihat dalam seperti samudra yang luas dan besar, "Karena kau sudah menikah makanya aku tak mungkin jatuh cinta padamu. Iya kan?"

Nadine melongo, tapi benar juga, perkataannya beralasan. Radit tak mungkin punya perasaan pada seorang wanita yang sudah bersuami, kalau tidak, kemaren malam pasti…

Nadine berdehem. Apa yang sedang ia pikirkan?!

Handphonenya bordering, ternyata Lidya yang menelepon. Nadine mengangkatnya.

"Bagaimana kencanmu dengan tentara itu?" Tanya Nadine bersemangat.

Nadine khawatir Radit mendengar pertanyaan temannya barusan, ia langsung malu sendiri. Dengan suara tertahan ia berkata, "Kencan apaan, jangan ngomong sembarangan."

"Bener kan, bener kan, bener kan. Dia pasti bisa membuatmu senang, hahahha."Terdengar tawa Lidya di seberang sana.

"Kalau kamu terus bicara sembarangan seperti ini, aku tutup saja teleponnya." Nadine agak jengkel.

"Aku hanya bercanda kok. Aku punya hadiah untukmu nanti. Sekarang bersenang-senanglah, oke? Cieee, asikkk, asikkk!!" Setelah berkata demikian, Lidya langsung mematikan sambungannya.

Suasana di dalam mobil jadi hening sejenak. Nadine membasahi bibirnya, ia melirik ke arah Radit. Dengan tenang Radit terus menatap kedepan sambil mengemudikan mobilnya. Dia tak tahu apakah Radit mendengar pembicaraannya tadi, ia ingin menjelaskan. Tapi kalau ternyata Radit tak mendengar apapun, pasti akan konyol kalau ia memberikan penjelasan. Akhirnya Nadine memilih untuk tak menjelaskan apapun. Ia hanya diam melihat pemandangan di luar kaca mobil.

Mobil itu melewati Hotel Camden. Disana terlihat Angga sedang berjalan keluar sambil merangkul seorang wanita cantik. Wanita itu bertingkah manja di samping suaminya. Saat itu, Angga yang kelihatan moodnya sedang baik berbisik bisik dengan gadis yang dipeluknya itu, nempel sekali mereka, keduanya kemudian saling tersenyum licik. Angga lalu mencium kening gadis itu dengan mesra.

Nadine yang kebetulan melihat pemandangan ini pelan-pelan memalingkan mukanya, lalu menyandarkan diri pada kursi mobil. Matanya pedih, dengan dingin ia menatap ke depan. Air mata mulai membuat kabur pandangannya. Ia ingin sekali dapat membuang segala ingatan mengenai perasaannya terhadap Angga di tempat yang nun jauh disana, tidak menyentuh dan memikirkannya, sehingga ia tidak perlu terluka seperti ini.

Tiba-tiba handphonenya berdering. Di layar tertulis, Angga. Nadine diam, tidak mengangkatnya. Tak lama kemudian, hanphone itu berdering lagi. Iapun mengangkatnya.

"Kau dimana?" Kata Angga dengan kasar seperti biasa.

Di seberang sana juga terdengar suara tawa dan manja seorang wanita.

"Aku dimana? Untuk apa kau tahu?" Nadine mulai marah, nada bicaranya dingin.

"Dalam waktu sejam, kembalilah ke apartmentmu, aku ke tempatmu sekarang." Kata Angga tak kalah dingin.

Nadine menutup sambungan telepon itu, lalu menonaktifkan handphonenya dan menaruhnya dalam tas.

Radit melirik dia, "Aku bisa menurunkanmu sekarang kalau kau mau."

"Tidak perlu." Tolak Nadine sambil tetap melihat ke depan.

Mata Radit memancarkan sinar kasihan. Ia mengangkat alis, hatinya kesal juga mendengar pembicaraan mereka yang dingin seperti itu. Ia menaikkan kecepatan mobilnya.

Mobil tersebut dikemudikan ke arah pelabuhan. Tak lama kemudian, mereka berhenti di depan sebuah kapal pesiar yang bannernya bertuliskan nama keluarga Radit. Radit membukakan pintu mobil bagi Nadine, Nadinepun turun dari mobil.

Tangan Radit kemudian ‘bersandar’ pada bahu Nadine dengan lembut, Radit merangkulnya sehingga jarak mereka tidak terkesan jauh. Di tubuh Radit tercium aroma yang disukai Nadine, seperti aroma tumbuh tumbuhan segar yang saat dihirup menimbulkan rasa tenang dan damai. Ya, Nadine menyetujui permintaannya untuk menjadi pacarnya, jadi rangkulan seperti ini bisa diterimanya. Walaupun hanya pacar bohongan, tapi adegan mereka harus diperankan dengan baik.

Mereka pun naik ke kapal pesiar itu. Rizky berjalan mendatangi mereka, dengan gaya santai kedua tangan lelaki dimasukkan ke dalam koceknya, pandangan matanya kemudian beralih ke Nadine. Dengan nada peduli ia melirik Radit, "Dia kemarin gak papa kan?"

"Iya." Ucap Radit. Rangkulannya kemudian membesar, seakan ingin menarik Nadine ke pelukannya.

Alis Rizky terangkat, ia lalu menghembuskan napas, "Sepertinya malam ini adik aku akan benar-benar patah hati. Masuklah, mereka sudah menunggumu lama."

Radit berjalan masuk sambil terus merangkul Nadine. Kapal itu mulai dikemudikan, tapi agak goyang. Nadine kehilangan keseimbangan. Tangan Radit yang semula berada di bahu Nadine berpindah ke pinggangnya, menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Nadine yang merasa pinggangnya disentuh ini seakan tersengat aliran istrik. Ia berdiri mematung sambil menatap Radit. Radit telah melindunginya.

"Sebentar lagi kapal ini akan bergerak dengan stabil, jangan takut ya." Kata Radit.

Nadine yang tahu diri, merasa dirinya hanya ‘rakyat biasa’ yang sedang berbicara dengan seorang ‘pangeran’ kemudian menjawab hormat, "Terima kasih."

Mereka pun melanjutkan langkah berjalan masuk.

Ruangan didalam terlihat seperti ‘bar kecil’, ada banyak orang disana. Orang-orang itu sepertinya kenal dengan Radit. Melihat Radit masuk dengan seorang wanita, mereka kaget. Ada yang terlihat cemburu, ada yang terlihat gusar, tapi ada juga yang terlihat kagum dengannya. Seorang wanita cantik yang pas berdiri di depan Nadine menatap Nadine seakan ingin membunuhnya saat itu juga. Nadine dapat merasakannya dengan jelas.

"Mari aku perkenalkan, ini adikku, Sinta." Rizky memperkenalkan Sinta dengan agak canggung.

Sinta terus mengamat amati Nadine. Tak lama, pandangannya kemudian beralih pada wajah Radit. Kedua matanya bersinar kesal, lalu tanpa sungkan ia berkata, "Perlukah kamu mencari pacar bohongan untuk menipu aku? Dia kan bukan tipemu."

Download APP, continue reading

Chapters

899