Bab 8 Kami Tidak Melakukan Itu
by Parisya
08:00,Jan 01,1970
Bab 8 Kami Tidak Melakukan Itu
Begitu sampai di kamar, Radit membaringkan Nadine di ranjangnya. Keduanya saling bercengkrama dan berguling-guling disana. Nadine tiba tiba merasa agak takut, ia dapat merasakan perasaan aneh dimana sesuatu yang hangat berenang di ‘dalamnya’.
"Pelan sedikit, Angga." Kata Nadine bergetar.
Tubuh Radit membeku, gerakannya berhenti. Ia mengernyitkan dahi, pupil matanya yang hitam menyorotkan sebuah perasaan yang rumit. Ia menatap wajah kecil Nadine yang sekarang memerah itu. Mata Nadine sedang tertutup, bulu matanya bergerak gerak. Radit menyadari sesuatu hal yang penting, Nadine sama sekali tidak tahu siapa pria yang saat ini bersamanya. Pupil matanya yang hitamnya langsung suram, dengan kesal ia bangkit berdiri.
Radit mempercepat langkahnya ke kamar mandi, lalu menyalakan shower. Air yang dingin membasahi kepalanya, lalu turun ke sekujur tubuhnya. Pandangan matanya bersinar gelap dan suram. Setelah bisa tenang, ia berjalan keluar.
Nadine sudah tidur, seluruh pakaiannya tergeletak di lantai. Kaki Nadine yang tinggi dan indah sedikit melekuk, perutnya yang halus membuatnya terlihat seperti putri duyung. Seksi, menawan, dan anggun.
Radit membantu Nadine memakai kembali pakaiannya, dengan lembut ia membaringkan kepala kecilnya ke atas bantal, lalu menyelimutinya. Radit pun duduk di samping ranjang sambil mengamat-amati Nadine. Kamar itu sangat sunyi, kesunyian yang tiba-tiba melenyapkan ‘peristiwa hangat’ tadi.
Tiga tahun yang lalu, Radit merenggut keperawanan Nadine. Hubungan Nadine dan suaminya yang sekarang sangat buruk, apa karena perbuatannya waktu itu? Ia menatap Nadine dengan perasaan kasihan dan berduka. Iapun berdiri dan berjalan keluar.
Tiba-tiba Dodi datang sambil menunjukkan alat kontrasepsi, "Ketua, anda bisa menyuruh dia untuk meminumnya dalam waktu 72 jam. Pasti ia tidak akan hamil."
Radit mengangkat alis, "Ia tak perlu meminum ini."
"Dia sedang mestruasi?" Tanya Dodi ingin tahu.
Radit menatap Dodi dingin. Ia hanya diam, pandangannya seakan ingin membunuh orang. Dodi tak berani menatapnya balik, oleh karena itu ia menunduk.
Radit menatap alat kontrasepsi di tangan Dodi, dengan pandangan suram dan perasaan yang rumit akhirnya ia buka suara, "Aku tidak menyentuh wanita itu."
"Ha?" Dodi ternganga.
Benarkah ketua tidak menyentuhnya? Kalau benar… wah, sayang sekali. Dodi tak mengerti pikiran sang ketua, kenapa ia membatasi dirinya?!
"Sekarang juga kau panggil seorang pelayan perempuan untuk merawat gadis itu. Kejadian malam ini, tolong kau hapus bersih bersih dari otakmu." Perintah Radit.
"Baik." Jawab Dodi.
"Kemudian pergilah membeli beberapa perlengkapan make up yang terbagus." Tambah Radit.
"Baik." Dodi menatap sang ketua agak bingung.
Sebenarnya apa sih yang ada dalam pikiran ketua? Daging lezat yang ada didepan mata tak mau dimakannya, eh tapi ia malah tetap mau membayar. Dodi tak mengerti.
Paginya, Nadine bangun. Karena semalaman ia mabuk, kepalanya terasa sangat berat. Ia duduk sambil matanya mengamati sekitar. Karpet berwarna hijau tentara. Lemari di atas ranjang itu tersimpan dua buah buku, yang satu tertutup rapi dengan penanda buku didalamnya, yang satu adalah buku berbahasa Rusia. Nadine membukanya, buku Rusia itu penuh dengan catatan catatan. Di seberang ranjang itu terdapat lemari buku, semua disana hanyalah buku-buku. Diatas lemari itu terdapat sebuah banner dan belasan piala. Kamar itu beraroma pria, bukan kamarnya…
Nadine mengangkat alis, ingatannya berakhir hanya saat Lidya memberikan padanya segelas akhir, setelah itu Ia tak ingat apa-apa lagi, setelah ia meminum air itu. Saat ia berdiri, seorang pelayan masuk kedalam sambil membawakan sebuah piring yang diatasnya terdapat peralatan cuci muka.
Nadine heran, "Kau siapa? Bagaimana aku bisa ada disini?"
Pelayan itu tersenyum pada Nadine, "Semalam ketua menyuruh saya untuk merawat anda. Ini peralatan cuci muka, silahkan diambil.
"Ketua?" Nadine sama sekali tak ingat apa-apa tentang ketua mana yang dimaksud.
"Iya, benar. Silahkan anda mencuci muka dulu." Pelayan itu membuka pintu kamar mandi, menaruh barang-barang tersebut di atas wastafel, lalu pergi keluar.
Nadine yang masih dalam kebingungannya berjalan masuk ke kamar mandi. Di wastafel tersebut tersusun rapi segala macam perlengkapan pria. Hati Nadine merasa aneh dan heran. Jadi semalam ia memang tidur di atas ranjang seorang pria.
Nadine berjalan ke depan kaca. Melihat bayangan dirinya yang dipantulkan kaca itu, Nadine langsung melompat kaget. Lingkaran bola matanya sangat hitam, bulu mata palsunya letaknya tak seimbang, make upnya berantakan. Ia lalu segera mencuci muka dan gosok gigi. Tapi lingkaran bola mata hitam itu sama sekali tak bisa dibersihkan. Tiba tiba seseorang menyerahkan pembersih make up kepadanya, Nadine menoleh, rupanya orang itu Radit. Pria itu menatapnya dengan suram, kedua matanya bersinar jernih dan indah di bawah alisnya yang tebal, sorot matanya tak marah, tapi agak sedikit mengancam.
Nadine langsung mengenalinya, ia adalah ketua tentarayang hari itu menyelamatkan dirinya. Tapi bagaimana ia bisa ada disini, Nadine sama sekali tak tahu.
"Maaf, semalam aku mabuk berat." Ucap Nadine meminta maaf.
"Mm." Tenggorokan Radit mengeluarkan suara yang berarti mengiyakan, dengan nada berat ia berkata, "Pakailah penghapus make up ini."
"Iya, terima kasih." Nadine menerimanya.
Tangan Radit menggenggam perlengkapan kosmetik, ia menaruhnya di meja wastafel itu, "Pakailah ini semua, aku tidak memerlukannya."
Setelah itu Radit berbalik pergi.
Nadine memeriksa perlengkapan kosmetik itu, merk Paris. Merk ini, satu botol lotion berisi 30ml saja harganya sudah di atas Rp3.000.000. Ia sungguh tak memerlukan kosmetik semahal ini. Ia lalu membawa perlengkapan kosmetik itu keluar.
Diluar, Radit sedang duduk di atas sofa. Saat duduk saja ia terlihat gagah dan tampan. Tangannya sedang menggenggam buku Rusia yang penuh catatan tadi, ia membacanya dengan penuh konsentrasi. Di atas meja yang terletak di seberang sofa itu, terdapat semangkuk bubur, roti, segelas susu, dan satu mangkuk yang ntahlah sup apa itu.
Nadine berjalan mendekatinya. Tapi seakan tak menyadari kehadiran Nadine, Radit sama sekali tak mendongak.
"Aku tidak mau menggunakan kosmetik ini." Nadine menaruh perlengkapan kosmetik itu di sofa di sebelah Radit.
Pandangan mata Radit masih tertuju pada buku itu, seakan tak memedulikan Nadine. Nadine heran, begitu ia berjalan pergi ke arah pintu, Radit berkata, "Makan dulu sarapan di atas meja ini."
Nadine menoleh, Radit tetap saja sedang tidak menatapnya. Kalau bukan hanya mereka berdua yang ada di kamar ini, Nadine pasti akan merasa Radit sedang berbicara dengan orang lain. Nadinepun duduk di depan ‘meja makan’ itu.
"Mangkuk di sebelah itu adalah penangkal efek bir, minumlah itu dulu." Kata Radit.
Nadine memandangnya aneh. Radit jelas jelas tidak sedang melihatnya, tapi kenapa ia merasa pria itu dapat melihat segalanya meski dengan mata tertutup. Tapi kepala Nadine memang terasa berat. Ia mengambil mangkuk itu, lalu meminum sup yang ada didalamnya. Tapi hatinya tak lepas dari rasa heran. Sikap Radit yang aneh pada dirinya, apa karena saat mabuk kemaren, ia telah bicara macam macam.
"Aku semalam mabuk, apa aku ada mengatakan sesuatu yang menyakiti hatimu?" Tanya Nadine khawatir.
Dengan ‘anggun’ Radit menutup bukunya, lalu bertanya asal asalan, "Memangnya kamu kira, kamu akan mengatakan apa sehingga aku sakit hati?"
Berarti apa benar Nadine memang telah bicara macam macam? Mukanya langsung memerah.
Nadine tersenyum kikuk, "Aku dengar dari temanku, katanya kalau aku sedang mabuk pasti akan bicara asal asalan. Mohon ketua jangan mempercayai segala yang aku ucapkan semalam."
Radit mendongak, bola matanya yang hitam jernih bersinar suram menatap lekat wajah Nadine yang sedang memerah itu selama beberapa detik. Nadine yang terlihat gugup dan malu ini tertangkap pada lensa matanya, pupil matanya mengecil, lalu memancarkan sinar dingin. Hati Nadine bergetar.
Begitu sampai di kamar, Radit membaringkan Nadine di ranjangnya. Keduanya saling bercengkrama dan berguling-guling disana. Nadine tiba tiba merasa agak takut, ia dapat merasakan perasaan aneh dimana sesuatu yang hangat berenang di ‘dalamnya’.
"Pelan sedikit, Angga." Kata Nadine bergetar.
Tubuh Radit membeku, gerakannya berhenti. Ia mengernyitkan dahi, pupil matanya yang hitam menyorotkan sebuah perasaan yang rumit. Ia menatap wajah kecil Nadine yang sekarang memerah itu. Mata Nadine sedang tertutup, bulu matanya bergerak gerak. Radit menyadari sesuatu hal yang penting, Nadine sama sekali tidak tahu siapa pria yang saat ini bersamanya. Pupil matanya yang hitamnya langsung suram, dengan kesal ia bangkit berdiri.
Radit mempercepat langkahnya ke kamar mandi, lalu menyalakan shower. Air yang dingin membasahi kepalanya, lalu turun ke sekujur tubuhnya. Pandangan matanya bersinar gelap dan suram. Setelah bisa tenang, ia berjalan keluar.
Nadine sudah tidur, seluruh pakaiannya tergeletak di lantai. Kaki Nadine yang tinggi dan indah sedikit melekuk, perutnya yang halus membuatnya terlihat seperti putri duyung. Seksi, menawan, dan anggun.
Radit membantu Nadine memakai kembali pakaiannya, dengan lembut ia membaringkan kepala kecilnya ke atas bantal, lalu menyelimutinya. Radit pun duduk di samping ranjang sambil mengamat-amati Nadine. Kamar itu sangat sunyi, kesunyian yang tiba-tiba melenyapkan ‘peristiwa hangat’ tadi.
Tiga tahun yang lalu, Radit merenggut keperawanan Nadine. Hubungan Nadine dan suaminya yang sekarang sangat buruk, apa karena perbuatannya waktu itu? Ia menatap Nadine dengan perasaan kasihan dan berduka. Iapun berdiri dan berjalan keluar.
Tiba-tiba Dodi datang sambil menunjukkan alat kontrasepsi, "Ketua, anda bisa menyuruh dia untuk meminumnya dalam waktu 72 jam. Pasti ia tidak akan hamil."
Radit mengangkat alis, "Ia tak perlu meminum ini."
"Dia sedang mestruasi?" Tanya Dodi ingin tahu.
Radit menatap Dodi dingin. Ia hanya diam, pandangannya seakan ingin membunuh orang. Dodi tak berani menatapnya balik, oleh karena itu ia menunduk.
Radit menatap alat kontrasepsi di tangan Dodi, dengan pandangan suram dan perasaan yang rumit akhirnya ia buka suara, "Aku tidak menyentuh wanita itu."
"Ha?" Dodi ternganga.
Benarkah ketua tidak menyentuhnya? Kalau benar… wah, sayang sekali. Dodi tak mengerti pikiran sang ketua, kenapa ia membatasi dirinya?!
"Sekarang juga kau panggil seorang pelayan perempuan untuk merawat gadis itu. Kejadian malam ini, tolong kau hapus bersih bersih dari otakmu." Perintah Radit.
"Baik." Jawab Dodi.
"Kemudian pergilah membeli beberapa perlengkapan make up yang terbagus." Tambah Radit.
"Baik." Dodi menatap sang ketua agak bingung.
Sebenarnya apa sih yang ada dalam pikiran ketua? Daging lezat yang ada didepan mata tak mau dimakannya, eh tapi ia malah tetap mau membayar. Dodi tak mengerti.
Paginya, Nadine bangun. Karena semalaman ia mabuk, kepalanya terasa sangat berat. Ia duduk sambil matanya mengamati sekitar. Karpet berwarna hijau tentara. Lemari di atas ranjang itu tersimpan dua buah buku, yang satu tertutup rapi dengan penanda buku didalamnya, yang satu adalah buku berbahasa Rusia. Nadine membukanya, buku Rusia itu penuh dengan catatan catatan. Di seberang ranjang itu terdapat lemari buku, semua disana hanyalah buku-buku. Diatas lemari itu terdapat sebuah banner dan belasan piala. Kamar itu beraroma pria, bukan kamarnya…
Nadine mengangkat alis, ingatannya berakhir hanya saat Lidya memberikan padanya segelas akhir, setelah itu Ia tak ingat apa-apa lagi, setelah ia meminum air itu. Saat ia berdiri, seorang pelayan masuk kedalam sambil membawakan sebuah piring yang diatasnya terdapat peralatan cuci muka.
Nadine heran, "Kau siapa? Bagaimana aku bisa ada disini?"
Pelayan itu tersenyum pada Nadine, "Semalam ketua menyuruh saya untuk merawat anda. Ini peralatan cuci muka, silahkan diambil.
"Ketua?" Nadine sama sekali tak ingat apa-apa tentang ketua mana yang dimaksud.
"Iya, benar. Silahkan anda mencuci muka dulu." Pelayan itu membuka pintu kamar mandi, menaruh barang-barang tersebut di atas wastafel, lalu pergi keluar.
Nadine yang masih dalam kebingungannya berjalan masuk ke kamar mandi. Di wastafel tersebut tersusun rapi segala macam perlengkapan pria. Hati Nadine merasa aneh dan heran. Jadi semalam ia memang tidur di atas ranjang seorang pria.
Nadine berjalan ke depan kaca. Melihat bayangan dirinya yang dipantulkan kaca itu, Nadine langsung melompat kaget. Lingkaran bola matanya sangat hitam, bulu mata palsunya letaknya tak seimbang, make upnya berantakan. Ia lalu segera mencuci muka dan gosok gigi. Tapi lingkaran bola mata hitam itu sama sekali tak bisa dibersihkan. Tiba tiba seseorang menyerahkan pembersih make up kepadanya, Nadine menoleh, rupanya orang itu Radit. Pria itu menatapnya dengan suram, kedua matanya bersinar jernih dan indah di bawah alisnya yang tebal, sorot matanya tak marah, tapi agak sedikit mengancam.
Nadine langsung mengenalinya, ia adalah ketua tentarayang hari itu menyelamatkan dirinya. Tapi bagaimana ia bisa ada disini, Nadine sama sekali tak tahu.
"Maaf, semalam aku mabuk berat." Ucap Nadine meminta maaf.
"Mm." Tenggorokan Radit mengeluarkan suara yang berarti mengiyakan, dengan nada berat ia berkata, "Pakailah penghapus make up ini."
"Iya, terima kasih." Nadine menerimanya.
Tangan Radit menggenggam perlengkapan kosmetik, ia menaruhnya di meja wastafel itu, "Pakailah ini semua, aku tidak memerlukannya."
Setelah itu Radit berbalik pergi.
Nadine memeriksa perlengkapan kosmetik itu, merk Paris. Merk ini, satu botol lotion berisi 30ml saja harganya sudah di atas Rp3.000.000. Ia sungguh tak memerlukan kosmetik semahal ini. Ia lalu membawa perlengkapan kosmetik itu keluar.
Diluar, Radit sedang duduk di atas sofa. Saat duduk saja ia terlihat gagah dan tampan. Tangannya sedang menggenggam buku Rusia yang penuh catatan tadi, ia membacanya dengan penuh konsentrasi. Di atas meja yang terletak di seberang sofa itu, terdapat semangkuk bubur, roti, segelas susu, dan satu mangkuk yang ntahlah sup apa itu.
Nadine berjalan mendekatinya. Tapi seakan tak menyadari kehadiran Nadine, Radit sama sekali tak mendongak.
"Aku tidak mau menggunakan kosmetik ini." Nadine menaruh perlengkapan kosmetik itu di sofa di sebelah Radit.
Pandangan mata Radit masih tertuju pada buku itu, seakan tak memedulikan Nadine. Nadine heran, begitu ia berjalan pergi ke arah pintu, Radit berkata, "Makan dulu sarapan di atas meja ini."
Nadine menoleh, Radit tetap saja sedang tidak menatapnya. Kalau bukan hanya mereka berdua yang ada di kamar ini, Nadine pasti akan merasa Radit sedang berbicara dengan orang lain. Nadinepun duduk di depan ‘meja makan’ itu.
"Mangkuk di sebelah itu adalah penangkal efek bir, minumlah itu dulu." Kata Radit.
Nadine memandangnya aneh. Radit jelas jelas tidak sedang melihatnya, tapi kenapa ia merasa pria itu dapat melihat segalanya meski dengan mata tertutup. Tapi kepala Nadine memang terasa berat. Ia mengambil mangkuk itu, lalu meminum sup yang ada didalamnya. Tapi hatinya tak lepas dari rasa heran. Sikap Radit yang aneh pada dirinya, apa karena saat mabuk kemaren, ia telah bicara macam macam.
"Aku semalam mabuk, apa aku ada mengatakan sesuatu yang menyakiti hatimu?" Tanya Nadine khawatir.
Dengan ‘anggun’ Radit menutup bukunya, lalu bertanya asal asalan, "Memangnya kamu kira, kamu akan mengatakan apa sehingga aku sakit hati?"
Berarti apa benar Nadine memang telah bicara macam macam? Mukanya langsung memerah.
Nadine tersenyum kikuk, "Aku dengar dari temanku, katanya kalau aku sedang mabuk pasti akan bicara asal asalan. Mohon ketua jangan mempercayai segala yang aku ucapkan semalam."
Radit mendongak, bola matanya yang hitam jernih bersinar suram menatap lekat wajah Nadine yang sedang memerah itu selama beberapa detik. Nadine yang terlihat gugup dan malu ini tertangkap pada lensa matanya, pupil matanya mengecil, lalu memancarkan sinar dingin. Hati Nadine bergetar.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved