Bab 3 Memangnya Kau Berani
by Parisya
08:00,Jan 01,1970
Bab 3 Memangnya Kau Berani
Nadine juga tak membuang-buang waktu lagi, dengan pisau medis ia segera melepaskan celana wanita itu. Anak tersebut ternyata sudah keluar, sudah terlambat untuk melakukan operasi sesar. Tak lama lagi, anak itu pasti akan tercekik.
"Bertahanlah sedikit lagi." Nadine menyuntikkan obat bius pada wanita itu, lalu mulai merobek ‘bagian dalam’ wanita itu.
Tapi obat bius tersebut belum sepenuhnya bekerja di seluruh tubuhnya sehingga wanita itu berteriak kesakitan, "Kau wanita kurang ajar! Akan ku tuntut kau, akan ku tuntut kau yang kerjanya tak bagus ini!"
"Tunggu hingga anakmu sudah keluar dengan selamat barulah kau boleh menuntutku. Akan ku dengarkan tuntutanmu." Kata Nadine tak peduli.
Akhirnya wanita itu berhasil mengeluarkan anaknya. Nadine segera memotong tali pusar wanita itu.
"Uek… uek…!" Tangis keras seorang bayi pun terdengar.
Nadine menyunggingkan senyum lega sambil menatap wanita itu. Tapi wanita itu terlihat sangat lemah. Nadine ketakutan, ia segera menaruh anak itu di sisi lain, lalu mengecek keadaan wanita itu.
"Hei kamu." Teriaknya khawatir.
Radit melihat Nadine. Dahi dan hidung gadis itu basah dengan keringat. Hatinya langsung siaga.
"Ada apa?" Tanya Radit dengan suara berat.
"Tekanan darah wanita ini sekarang sangat rendah. Ia harus segera dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa dan diinfus." Lapor Nadine.
Radit menatap para penjahat itu, tanpa ragu ia berkata, "Biarkan mereka pergi, akulah yang akan menjadi sanderaan kalian."
Ketiga pria tersebut berpandang-pandangan satu sama lain, salah satu dari mereka yang adalah ketua melihat jam tangannya.
"Pesawat akan tiba 40 menit lagi. Kalau kami membiarkan mereka pergi dan kau jadi sanderaan kami, bukannya sama saja dengan bunuh diri!"
"Aku akan tinggal." Ucap Nadine.
Radit ternganga menatap Nadine. Bola matanya yang hitam memancarkan sinar tak mengerti.
Nadine tersenyum, nada bicaranya lembut, ia berkata pada Radit, "Cepat bawa mereka ke rumah sakit, kalau tidak anak dan ibunya ini akan mati."
"Tidak ada satupun dari kalian yang boleh pergi!" Teriak ketua itu.
Nadine menatap sang ketua, "Membiarkan wanita dalam keadaan sekarat serta bayinya yang sedang menangis keras ini pergi dengan seorang tentarayang telah terlatih dan cekatan, bukannya suatu pilihan yang bijaksana?"
"Biarkan mereka pergi." Kata salah satu dari pria itu yang kelihatannya lebih berumur dari mereka dan bertubuh tinggi besar.
Sang ketua akhirnya mengangguk, iapun minggir ke samping. Radit menatap Nadine sekilas tanpa berkata apa-apa. Ia lalu membungkuk dan membopong wanita itu, sementara tangannya yang satu lagi memeluk bayi si bayi. Dengan cepat ia berjalan keluar.
Orang-orang di luar masih berkumpul untuk menanti apa yang terjadi. Melihat wanita itu dan bayinya keluar dengan selamat, mereka menghembuskan napas lega.
"Bawa mereka ke rumah sakit!" Radit menyerahkan wanita itu serta bayinya ke para tentara.
Dengan tatapan tajam ia melihat ruangan 801, lalu memberi perintah, "Dodi, bersiaplah untuk beraksi."
"Ketua, mereka sudah berhasil diselamatkan, berarti tugas kita sudah selesai. Kita sudah bisa menyerahkan mereka kepada petugas keamanan pengamanan narkoba biasa untuk dibereskan. Anda istirahat saja dulu." Kata Dodi dengan hormat.
"Masih ada korban lain didalam, bagaimana bisa istirahat!" Ucap Radit keras sambil menatap Dodi.
Dodi tak mengerti kenapa sang ketua semarah ini. Ia juga tak mengerti kenapa ketua ingin langsung turun tangan untuk melakukan tugas sekecil ini.
"Baiklah kalau begitu, aku segera bersiap-siap." Ucap Dodi.
"Jika nyawa wanita di dalam terancam, segera lepaskan para ‘harimau’." Tambah Radit.
Dodi makin heran. Ketua yang biasanya bersemangat dan tegas ini, yang selalu punya tenaga ekstra untuk mengalahkan semua musuhnya ini, biasanya tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Tapi kenapa kali ini ia sangat aneh?!
……
Menit demi menit berlalu, detik demi dektikpun berlalu. Radit berdiri di muka jendela sambil melihat keluar, pandangan matanya suram tak bisa ditebak.
Tiga tahun lalu, Radit melakukan sebuah misi khusus, tapi misi tersebut berjalan diluar dugaan. Ia tersesat di daerah pedalaman, dan ia pun disuntikkan sebuah obat kuat yang sangat kuat efeknya. Saat sudah kehilangan kendali, saat rasanya ingin meledak dan mati, wanita itu muncul. Wanita itu, Nadine. Radit tak tahan, iapun memperkosanya.
Saat kesadarannya pulih, Radit sudah berada di rumah sakit tentara. Dengan berbagai macam cara, dalam waktu dua hari, akhirnya ia berhasil menemukan wanita itu. Nadine saat itu mengenakan gaun pengantin putih, rupanya cantik seperti malaikat. Wanita itu sedang berjalan di menara gereja, tanpa ragu ia bertukar cincin dengan Angga, yang adalah sang mempelai lelaki.
Ia awalnya mengira wanita yang disekap didalam itu adalah Nadine, jadi ia datang kemari. Tapi tak disangka, wanita yang hamil itu, ternyata adalah selingkuhan Angga. Ternyata suami Nadine itu telah main di belakang. Sementara Nadine… memilih untuk menyelamatkan selingkuhan dan anak hasil hubungan gelap mereka. Ia tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Nadine.
PENG. Terdengar suara tembakan dari ruangan 801.
Hati Radit berdegup kencang. Ia berbalik, dengan bergetar ia bertanya pada Dodi, "Apa yang terjadi di ruangan 801?"
"Kami juga tidak tahu." Ucap Dodi hati-hati.
Radit menatap dapur ruangan 802. Dapur tersebut berhadapan dengan dapur ruangan 801, keduanya hanya berjarak 200 meter.
Ia berjalan ke dapur tersebut, dengan suara berat ia bertanya, "Kapan helikopter akan tiba?"
Dodi yang mengikuti Radit di belakang melapor, "30 menit lagi ia akan sampai."
Radit tak berkata apa-apa lagi. Ia menaruh sebuah tangga di antara ke dua dapur itu, lalu melompat naik.
"Ketua, akan sangat berbahaya jika anda masuk sendirian." Kata Dodi khawatir.
Radit menatapnya tajam, "Jangan berpikir macam-macam!"
Dodi tak berani berucap lagi. Ia segera memberi perintah pada tentaralain di depannya, "008, 101, segera naik, sebisa mungkin lindungilah ketua!"
"Baik!" Setelah menerima perintah itu, merekapun naik ke atas.
Dodi memandang dengan khawatir kearah dapur itu, keringat membasahi tubuhnya. Masa depan ketua sangat cerah, ada kemungkinan kedepan ia akan menjadi presiden. Kalau sampai terjadi apa-apa, wakil presiden tak akan segan segan mematahkan lehernya.
Dengan cepat Radit melompat turun dari tangga, ia merasa kakinya sakit seperti terkena sengatan listrik. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dengan tatapan dingin ia mengamati ruang tamu disana. Ketua penjahat itu berada di ruang tamu, dua orang lainnya masih ada di kamar.
Radit berjongkok, sambil melangkah pelan ia menatap ketua itu tajam sambil menggenggam sebuah pisau, lalu langsung bergerak maju. Ketua itu melihat Radit, tapi sudah terlambat. Ia tak sempat minta bantuan, dirinya tahu-tahu sudah terbaring di lantai.
008 dan 101 segera membereskan TKP. Radit menatap 008 dan 101 sambil mengisyaratkan sesuatu dengan tangannya. 008 dan 101 mengangguk. Dengan hati-hati sekali, mereka menurunkan tirai jendela, dan tiba-tiba ruang tamu tersebut jadi terang.
Sementara para tentaralain sedang menunggu perintah. Radit berjalan mengendap endap kearah kamar, punggungnya ia ‘tempelkan erat’ pada dinding. Ia lalu mengintip pergerakan dalam kamar tersebut.
Nadine sedang duduk di tempat tidur, ia melamun sambil memandangi langit-langit kamar. suasana disana hening tanpa suara. Nadine seakan terlihat sedih dikurung disana. Kesedihan dan rasa terluka yang terlihat ini keluar dari dalam dirinya, sehingga orang yang melihatnya akan merasa kasihan.
"Bos, kenapa diluar tidak ada pergerakan apa-apa?" Tanya penjahat berambut kuning tak sabar. Ia sedang menghisap rokok sambil mengacak-acak rambutnya.
Penjahat yang usianya lebih tua menatap suram wajah Nadine yang cantik itu. Pandangan matanya lalu tertuju ke arah dada Nadine. Sambil menyeringai ia berkata, "Masih ada setengah jam lagi baru pesawat itu sampai. Mau gak kita menikmatinya?"
Penjahat berambut kuning langsung mengerti, ia mengamati-amati Nadine. Dengan kasar ia berkata, "Tubuh wanita ini bagus juga. Sebelum mati, lebih baik kita ‘menjelajahinya’."
Ia mematikan punting rokoknya, lalu berjalan ke arah Nadine. Mata Radit yang melihat ini semua tak berkedip selama beberapa menit, ia lalu bersiap untuk maju menyerang.
Sementara Nadine dengan tenang mengangkat jarum suntik dan mengarahkannya pada lehernya sendiri. Dengan dingin ia berkata, "Kalau kalian berani kesini, aku akan bunuh diri!"
"Memangnya kau berani?" Ejek penjahat berambut kuning itu.
Dengan sikap serius Nadine mendekatkan jarum suntik itu ke kulitnya. Hati Radit serasa ditusuk sesuatu, pandangan matanya bersinar tajam seakan siap untuk membunuh orang. Hatinya terasa gugup.
Nadine juga tak membuang-buang waktu lagi, dengan pisau medis ia segera melepaskan celana wanita itu. Anak tersebut ternyata sudah keluar, sudah terlambat untuk melakukan operasi sesar. Tak lama lagi, anak itu pasti akan tercekik.
"Bertahanlah sedikit lagi." Nadine menyuntikkan obat bius pada wanita itu, lalu mulai merobek ‘bagian dalam’ wanita itu.
Tapi obat bius tersebut belum sepenuhnya bekerja di seluruh tubuhnya sehingga wanita itu berteriak kesakitan, "Kau wanita kurang ajar! Akan ku tuntut kau, akan ku tuntut kau yang kerjanya tak bagus ini!"
"Tunggu hingga anakmu sudah keluar dengan selamat barulah kau boleh menuntutku. Akan ku dengarkan tuntutanmu." Kata Nadine tak peduli.
Akhirnya wanita itu berhasil mengeluarkan anaknya. Nadine segera memotong tali pusar wanita itu.
"Uek… uek…!" Tangis keras seorang bayi pun terdengar.
Nadine menyunggingkan senyum lega sambil menatap wanita itu. Tapi wanita itu terlihat sangat lemah. Nadine ketakutan, ia segera menaruh anak itu di sisi lain, lalu mengecek keadaan wanita itu.
"Hei kamu." Teriaknya khawatir.
Radit melihat Nadine. Dahi dan hidung gadis itu basah dengan keringat. Hatinya langsung siaga.
"Ada apa?" Tanya Radit dengan suara berat.
"Tekanan darah wanita ini sekarang sangat rendah. Ia harus segera dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa dan diinfus." Lapor Nadine.
Radit menatap para penjahat itu, tanpa ragu ia berkata, "Biarkan mereka pergi, akulah yang akan menjadi sanderaan kalian."
Ketiga pria tersebut berpandang-pandangan satu sama lain, salah satu dari mereka yang adalah ketua melihat jam tangannya.
"Pesawat akan tiba 40 menit lagi. Kalau kami membiarkan mereka pergi dan kau jadi sanderaan kami, bukannya sama saja dengan bunuh diri!"
"Aku akan tinggal." Ucap Nadine.
Radit ternganga menatap Nadine. Bola matanya yang hitam memancarkan sinar tak mengerti.
Nadine tersenyum, nada bicaranya lembut, ia berkata pada Radit, "Cepat bawa mereka ke rumah sakit, kalau tidak anak dan ibunya ini akan mati."
"Tidak ada satupun dari kalian yang boleh pergi!" Teriak ketua itu.
Nadine menatap sang ketua, "Membiarkan wanita dalam keadaan sekarat serta bayinya yang sedang menangis keras ini pergi dengan seorang tentarayang telah terlatih dan cekatan, bukannya suatu pilihan yang bijaksana?"
"Biarkan mereka pergi." Kata salah satu dari pria itu yang kelihatannya lebih berumur dari mereka dan bertubuh tinggi besar.
Sang ketua akhirnya mengangguk, iapun minggir ke samping. Radit menatap Nadine sekilas tanpa berkata apa-apa. Ia lalu membungkuk dan membopong wanita itu, sementara tangannya yang satu lagi memeluk bayi si bayi. Dengan cepat ia berjalan keluar.
Orang-orang di luar masih berkumpul untuk menanti apa yang terjadi. Melihat wanita itu dan bayinya keluar dengan selamat, mereka menghembuskan napas lega.
"Bawa mereka ke rumah sakit!" Radit menyerahkan wanita itu serta bayinya ke para tentara.
Dengan tatapan tajam ia melihat ruangan 801, lalu memberi perintah, "Dodi, bersiaplah untuk beraksi."
"Ketua, mereka sudah berhasil diselamatkan, berarti tugas kita sudah selesai. Kita sudah bisa menyerahkan mereka kepada petugas keamanan pengamanan narkoba biasa untuk dibereskan. Anda istirahat saja dulu." Kata Dodi dengan hormat.
"Masih ada korban lain didalam, bagaimana bisa istirahat!" Ucap Radit keras sambil menatap Dodi.
Dodi tak mengerti kenapa sang ketua semarah ini. Ia juga tak mengerti kenapa ketua ingin langsung turun tangan untuk melakukan tugas sekecil ini.
"Baiklah kalau begitu, aku segera bersiap-siap." Ucap Dodi.
"Jika nyawa wanita di dalam terancam, segera lepaskan para ‘harimau’." Tambah Radit.
Dodi makin heran. Ketua yang biasanya bersemangat dan tegas ini, yang selalu punya tenaga ekstra untuk mengalahkan semua musuhnya ini, biasanya tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Tapi kenapa kali ini ia sangat aneh?!
……
Menit demi menit berlalu, detik demi dektikpun berlalu. Radit berdiri di muka jendela sambil melihat keluar, pandangan matanya suram tak bisa ditebak.
Tiga tahun lalu, Radit melakukan sebuah misi khusus, tapi misi tersebut berjalan diluar dugaan. Ia tersesat di daerah pedalaman, dan ia pun disuntikkan sebuah obat kuat yang sangat kuat efeknya. Saat sudah kehilangan kendali, saat rasanya ingin meledak dan mati, wanita itu muncul. Wanita itu, Nadine. Radit tak tahan, iapun memperkosanya.
Saat kesadarannya pulih, Radit sudah berada di rumah sakit tentara. Dengan berbagai macam cara, dalam waktu dua hari, akhirnya ia berhasil menemukan wanita itu. Nadine saat itu mengenakan gaun pengantin putih, rupanya cantik seperti malaikat. Wanita itu sedang berjalan di menara gereja, tanpa ragu ia bertukar cincin dengan Angga, yang adalah sang mempelai lelaki.
Ia awalnya mengira wanita yang disekap didalam itu adalah Nadine, jadi ia datang kemari. Tapi tak disangka, wanita yang hamil itu, ternyata adalah selingkuhan Angga. Ternyata suami Nadine itu telah main di belakang. Sementara Nadine… memilih untuk menyelamatkan selingkuhan dan anak hasil hubungan gelap mereka. Ia tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Nadine.
PENG. Terdengar suara tembakan dari ruangan 801.
Hati Radit berdegup kencang. Ia berbalik, dengan bergetar ia bertanya pada Dodi, "Apa yang terjadi di ruangan 801?"
"Kami juga tidak tahu." Ucap Dodi hati-hati.
Radit menatap dapur ruangan 802. Dapur tersebut berhadapan dengan dapur ruangan 801, keduanya hanya berjarak 200 meter.
Ia berjalan ke dapur tersebut, dengan suara berat ia bertanya, "Kapan helikopter akan tiba?"
Dodi yang mengikuti Radit di belakang melapor, "30 menit lagi ia akan sampai."
Radit tak berkata apa-apa lagi. Ia menaruh sebuah tangga di antara ke dua dapur itu, lalu melompat naik.
"Ketua, akan sangat berbahaya jika anda masuk sendirian." Kata Dodi khawatir.
Radit menatapnya tajam, "Jangan berpikir macam-macam!"
Dodi tak berani berucap lagi. Ia segera memberi perintah pada tentaralain di depannya, "008, 101, segera naik, sebisa mungkin lindungilah ketua!"
"Baik!" Setelah menerima perintah itu, merekapun naik ke atas.
Dodi memandang dengan khawatir kearah dapur itu, keringat membasahi tubuhnya. Masa depan ketua sangat cerah, ada kemungkinan kedepan ia akan menjadi presiden. Kalau sampai terjadi apa-apa, wakil presiden tak akan segan segan mematahkan lehernya.
Dengan cepat Radit melompat turun dari tangga, ia merasa kakinya sakit seperti terkena sengatan listrik. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dengan tatapan dingin ia mengamati ruang tamu disana. Ketua penjahat itu berada di ruang tamu, dua orang lainnya masih ada di kamar.
Radit berjongkok, sambil melangkah pelan ia menatap ketua itu tajam sambil menggenggam sebuah pisau, lalu langsung bergerak maju. Ketua itu melihat Radit, tapi sudah terlambat. Ia tak sempat minta bantuan, dirinya tahu-tahu sudah terbaring di lantai.
008 dan 101 segera membereskan TKP. Radit menatap 008 dan 101 sambil mengisyaratkan sesuatu dengan tangannya. 008 dan 101 mengangguk. Dengan hati-hati sekali, mereka menurunkan tirai jendela, dan tiba-tiba ruang tamu tersebut jadi terang.
Sementara para tentaralain sedang menunggu perintah. Radit berjalan mengendap endap kearah kamar, punggungnya ia ‘tempelkan erat’ pada dinding. Ia lalu mengintip pergerakan dalam kamar tersebut.
Nadine sedang duduk di tempat tidur, ia melamun sambil memandangi langit-langit kamar. suasana disana hening tanpa suara. Nadine seakan terlihat sedih dikurung disana. Kesedihan dan rasa terluka yang terlihat ini keluar dari dalam dirinya, sehingga orang yang melihatnya akan merasa kasihan.
"Bos, kenapa diluar tidak ada pergerakan apa-apa?" Tanya penjahat berambut kuning tak sabar. Ia sedang menghisap rokok sambil mengacak-acak rambutnya.
Penjahat yang usianya lebih tua menatap suram wajah Nadine yang cantik itu. Pandangan matanya lalu tertuju ke arah dada Nadine. Sambil menyeringai ia berkata, "Masih ada setengah jam lagi baru pesawat itu sampai. Mau gak kita menikmatinya?"
Penjahat berambut kuning langsung mengerti, ia mengamati-amati Nadine. Dengan kasar ia berkata, "Tubuh wanita ini bagus juga. Sebelum mati, lebih baik kita ‘menjelajahinya’."
Ia mematikan punting rokoknya, lalu berjalan ke arah Nadine. Mata Radit yang melihat ini semua tak berkedip selama beberapa menit, ia lalu bersiap untuk maju menyerang.
Sementara Nadine dengan tenang mengangkat jarum suntik dan mengarahkannya pada lehernya sendiri. Dengan dingin ia berkata, "Kalau kalian berani kesini, aku akan bunuh diri!"
"Memangnya kau berani?" Ejek penjahat berambut kuning itu.
Dengan sikap serius Nadine mendekatkan jarum suntik itu ke kulitnya. Hati Radit serasa ditusuk sesuatu, pandangan matanya bersinar tajam seakan siap untuk membunuh orang. Hatinya terasa gugup.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved