Bab 2 Selama Ada Aku, Kau Tidak Akan Kenapa-Napa
by Parisya
08:00,Jan 01,1970
Bab 2 Selama Ada Aku, Kau Tidak Akan Kenapa-Napa
"Aku antar dia masuk." Tiga detik kemudian Radit mengambil keputusan.
Ia merenggangkan pegangan tangannya, lalu mundur selangkah.
"Tak bisa!" Seluruh orang disana berteriak dengan kompak.
Dodi dengan khawatir memperingatkan, "Ketua, sangat berbahaya kalau anda masuk. Kalau wakil presiden sampai tahu, bisa habis kami!"
"Jangan ngomong sembarangan, siapapun yang masuk tidak akan mendapat bahaya, tunggulah kalian disini!" Kata Radit bersikeras memberi perintah.
"Tapi ketua…" Dodi masih ingin mengatakan sesuatu.
Pandangan Radit yang dingin langsung dilemparkan kepadanya.
Dodi langsung menutup mulut, tanpa membantah lagi ia berkata, "Baiklah."
Dengan kuat Radit memegang lengan Nadine dan menariknya menuju pintu ruangan 801.
Nadine berjalan hendak mengetuk pintu, tapi kemudian tangan Radit tiba-tiba menggenggam erat tangannya. Nadine terkejut, tangannya seakan terkena sengatan listrik. Nadine langsung menarik tangannya, ia tak biasa digenggam pria seperti itu. Mata Radit bersinar dingin menatapnya selama beberapa menit.
Radit lalu mengambil handphone dan membuka aplikasi rekaman. Dengan wajah tanpa ekspresi ia berkata, "Sebelum masuk kesana, silahkan kau meninggalkan pesan terakhir, karena nantinya kalau kau mati, kami akan mengirimkan pesan ini pada orang terdekatmu."
"Kalau begitu, kirimkan pada suamiku ya." Kata Nadine datar, ia lalu mengambil handphone dari tangan Radit.
"Angga, kalau aku bisa lahir kembali, aku berharap kita tak akan bertemu lagi. Donasikanlah mayatku, kalau kau mau memotong-motongnya boleh saja, dicangkokkan kepada orang lain jauh lebih baik. Yang penting dengan begitu, kita tidak akan bisa bertemu lagi." Ucap Nadine tajam, kemudian ia menyerahkan kembali handphone itu pada Radit.
Dengan suram Radit menatapnya, matanya bersinar aneh, "Masih ada pesan lain?"
Sorot mata Nadine sedikit melemah, "Tolong berikan sisa tabunganku pada mama. Dan aku harap kalian bersedia merawat mamaku."
"Baiklah!" Janji Radit.
Nadine tak lagi khawatir, wajahnya kembali menghadap kamar itu, "Aku masuk sekarang."
"Wanita hamil di sekap di dalam adalah pacar seorang pejabat senior di tempat ini, kau harus menjamin wanita itu dan anaknya selamat. Selain itu, selama ada aku, kau tidak akan kenapa-napa, aku jamin." Kata Radit dengan suara berat.
Nadine terdiam. Matanya yang bening menatap mata Radit. Mata itu terlihat begitu dalam, begitu luas, seperti luasnya alam semesta. Hati Nadine merasa sedikit tersentuh. Seorang pria yang sangat tampan bisa berkata padanya: selama ada aku, kau tidak akan kenapa-napa. Janji seperti ini, meski diucapkan oleh seorang pria asing, tapi tetap bisa membuat orang yang mendengarnya merasakan kehangatan. Terutama saat itu, saat dimana hati Nadine merasa dingin dan kesepian.
"Aku tidak takut." Nadine pelan-pelan menyunggingkan senyum, "Tapi, terima kasih ya."
"Sama-sama." Ucap Radit.
Ia menarik Nadine ke sampingnya, lalu mengetuk pintu. Sebuah lubang kecil di pintu itu terbuka.
"Suruh wanita itu masuk seorang diri." Kata orang didalam dengan kasar.
"Ia membutuhkan asisten saat melakukan operasi, jadi harus kami berdua yang masuk." Ucap Radit tak peduli.
"Tak boleh! Siapa tahu kalian ternyata bersekongkol untuk mengacau disini."
"Kalau begitu biarin saja wanita hamil didalam sana mati. Apa kalian tidak punya hati nurani?" Ucap Radit dingin.
Ucapan yang tegas dan keras itu membuat orang yang mendengarnya sedikit takut. Orang tersebut terdiam selama tiga detik.
"Berani juga ya kau! Masuklah!"
Radit mendorong pintu tersebut dan berjalan masuk. Sebuah pistol dihadangkan di depan kepalanya. Melihat ini, Nadine mulai khawatir, sementara wajah Radit tetap datar. Beberapa orang disana datang menggeledah tubuh Radit, tapi tidak ditemukan senjata apapun.
"Kalian jangan main-main ya dengan kami." Ia memasukkan kembali pistolnya.
"Sakit, tolong aku, tolong!" Terdengar suara teriakan wanita hamil itu di dalam kamar utama.
Nadine langsung berlari menuju kamar tersebut. Gorden jendela dibuka, tapi lampu kamar tak dinyalakan sehingga kamar tersebut agak remang-remang. Dua pria lain mengarahkan pistol pada Nadine dengan tatapan garang. Nadine tak memedulikan mereka, ia berjalan ke arah wanita hamil itu.
Wajah wanita hamil itu pucat, ia memegangi perutnya. Ranjang tempat wanita itu berbaring sudah agak basah, "Tolong aku, tolong aku! Aku mau mati saja!"
"Perlihatkan kepadaku hasil medis yang terakhir." Ucap Nadine cepat.
"Dalam… dalam laci." Kata wanita itu. Wajahnya penuh keringat.
Nadine segera membuka laci itu. Di atas hasil medis itu ada sebuah foto, foto perempuan itu dengan Angga! Nadine ternganga. Ternyata senior yang dimaksud adalah Angga!Dan perempuan yang sedang hamil itu adalah selingkuhannya Angga yang lain!
"Dokter, tolong aku. Sakit sekali!" Kata perempuan itu sambil memegangi tangan Nadine.
Pelan pelan Nadine tersadar. Ia mengeluarkan hasil medis tersebut, lalu melihatnya. Raut wajah Nadine langsung berubah.
"Posisi janinmu tidak tepat, tali pusarmu melilit leher janin itu sehingga ia susah untuk keluar. Jadi kamu harus operasi sesar. Dan lagi, kondisimu sekarang sedang gawat, tidak bisa hanya dibius sebagian, seluruh tubuhmu harus dibius." Ucap Nadine panik. Ia lalu membuka kotak P3Knya.
Salah satu penjahat itu merampas kotak P3K tersebut. Setelah memastikan tidak ada senjata apapun, ia mengembalikannya pada Nadine.
Wanita hamil itu bergeleng geleng, matanya merah, ia memohon, "Bolehkah untuk tidak sesar? Dia pria yang menyukai perempuan yang tidak punya bekas luka di tubuhnya."
Menyukai perempuan yang tidak punya bekas luka? Ternyata benar pria itu Angga!
"Kalau tidak sesar, anak itu bisa tercekik." Kata Nadine dingin.
Mata wanita itu bersinar serius, ia menggertakkan gigi, "Biarkan saja anak itu tercekik."
Nadine menyipitkan matanya, ia tidak menyukai keputusan wanita itu, "Dia adalah anak yang kamu jaga selama 9 bulan di kandunganmu, sekarang ia sudah memiliki nyawa."
"Untuk apa punya anak tapi tidak mendapat cinta dari pria itu. Anak itu hanya akan jadi beban nantinya, pokok aku tidak ingin di sesar!" Ucap wanita itu keras dengan nada yakin.
Karena terlalu banyak bergerak, perutnya makin terasa sakit.
Nadine menggertakkan gigi. Ia lalu mengambil obat bius dari kotak P3K nya, dibukanya cairan obat bius itu dengan cepat dan dimasukkan ke dalam jarum suntik.
"Maaf ya, tapi sebagai seorang dokter aku tak bisa menyanggupi permintaanmu. Di mataku, anak itu sudah memiliki nyawa!" Ucap Nadine dingin.
Nadine berkonsentrasi menyiapkan jarum suntiknya, lalu bersiap untuk menyuntik wanita itu. Tapi Radit tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya, matanya yang hitam memancarkan sinar kepedulian. Ia sadar akan pentingnya memenuhi keinginan wanita hamil tersebut, jadi ia mencoba untuk membujuk Nadine.
"Turuti saja kemauannya, ia kan pasien disini." Ucap Radit mengingatkan Nadine.
Nadine menghempaskan tangan Radit, tapi tangan tersebut tidak bergerak.
Ia pun marah, dengan tegas ia menatap mata Radit, "Aku adalah seorang dokter kandungan, membantu wanita untuk sukses melahirkan anaknya adalah tanggung jawabku. Kalau sampai nantinya terjadi sesuatu, aku loh yang harus menanggungnya. Aku gak takut mati, aku takut jika tidak melakukan hal yang benar!"
Radit terdiam. Bukannya ia tak takut untuk melakukan yang benar, hanya saja, ia tak mau gadis yang sedang berbicara dengannya itu kenapa-napa.
Ia melonggarkan pegangannya, lalu berkata dingin, "Ya sudah, lakukan saja operasi sesar itu, ini adalah perintahku. Aku akan ‘menyapa’ ketua kalian."
Setelah itu, Nadine membungkuk lalu mengenakan sepasang sarung tangan karet. Dengan serius ia berkata pada para penjahat itu, "Tolong kalian semua keluar sebentar, aku mau melakukan operasi."
"Tak bisa! Ia harus ada dalam penjagaan kami. Kau lakukan saja operasinya di depan mata kami!"
"Apa dia bisa kabur dengan kondisi seperti ini?" Nadine tak ingin tubuh telanjang wanita itu dilihat mereka nantinya.
Penjahat itu mengangkat pistol dan mengarahkannya pada Nadine, "Kalau kau bicara lagi, akan kutembak kau!"
Radit langsung maju menghadang di depan Nadine, "Kalaupun kau menembaknya, kalian tetap tak akan bisa kabur!"
Para penjahat itu ragu.
"Dokter, tolonglah, aku tidak tahan lagi, anak ini mau keluar…" Teriak wanita hamil itu.
Mata Radit langsung bersinar tajam. Berlama lama seperti ini tak ada gunanya. Ia membuka lemari disana, mengeluarkan dari dalamnya sebuah selimut putih dan membentangkannya, menutupi Nadine dan wanita hamil itu di belakangnya.
"Aku tutupi kalian, segeralah lakukan operasi!" Ucap Radit tegas.
"Aku antar dia masuk." Tiga detik kemudian Radit mengambil keputusan.
Ia merenggangkan pegangan tangannya, lalu mundur selangkah.
"Tak bisa!" Seluruh orang disana berteriak dengan kompak.
Dodi dengan khawatir memperingatkan, "Ketua, sangat berbahaya kalau anda masuk. Kalau wakil presiden sampai tahu, bisa habis kami!"
"Jangan ngomong sembarangan, siapapun yang masuk tidak akan mendapat bahaya, tunggulah kalian disini!" Kata Radit bersikeras memberi perintah.
"Tapi ketua…" Dodi masih ingin mengatakan sesuatu.
Pandangan Radit yang dingin langsung dilemparkan kepadanya.
Dodi langsung menutup mulut, tanpa membantah lagi ia berkata, "Baiklah."
Dengan kuat Radit memegang lengan Nadine dan menariknya menuju pintu ruangan 801.
Nadine berjalan hendak mengetuk pintu, tapi kemudian tangan Radit tiba-tiba menggenggam erat tangannya. Nadine terkejut, tangannya seakan terkena sengatan listrik. Nadine langsung menarik tangannya, ia tak biasa digenggam pria seperti itu. Mata Radit bersinar dingin menatapnya selama beberapa menit.
Radit lalu mengambil handphone dan membuka aplikasi rekaman. Dengan wajah tanpa ekspresi ia berkata, "Sebelum masuk kesana, silahkan kau meninggalkan pesan terakhir, karena nantinya kalau kau mati, kami akan mengirimkan pesan ini pada orang terdekatmu."
"Kalau begitu, kirimkan pada suamiku ya." Kata Nadine datar, ia lalu mengambil handphone dari tangan Radit.
"Angga, kalau aku bisa lahir kembali, aku berharap kita tak akan bertemu lagi. Donasikanlah mayatku, kalau kau mau memotong-motongnya boleh saja, dicangkokkan kepada orang lain jauh lebih baik. Yang penting dengan begitu, kita tidak akan bisa bertemu lagi." Ucap Nadine tajam, kemudian ia menyerahkan kembali handphone itu pada Radit.
Dengan suram Radit menatapnya, matanya bersinar aneh, "Masih ada pesan lain?"
Sorot mata Nadine sedikit melemah, "Tolong berikan sisa tabunganku pada mama. Dan aku harap kalian bersedia merawat mamaku."
"Baiklah!" Janji Radit.
Nadine tak lagi khawatir, wajahnya kembali menghadap kamar itu, "Aku masuk sekarang."
"Wanita hamil di sekap di dalam adalah pacar seorang pejabat senior di tempat ini, kau harus menjamin wanita itu dan anaknya selamat. Selain itu, selama ada aku, kau tidak akan kenapa-napa, aku jamin." Kata Radit dengan suara berat.
Nadine terdiam. Matanya yang bening menatap mata Radit. Mata itu terlihat begitu dalam, begitu luas, seperti luasnya alam semesta. Hati Nadine merasa sedikit tersentuh. Seorang pria yang sangat tampan bisa berkata padanya: selama ada aku, kau tidak akan kenapa-napa. Janji seperti ini, meski diucapkan oleh seorang pria asing, tapi tetap bisa membuat orang yang mendengarnya merasakan kehangatan. Terutama saat itu, saat dimana hati Nadine merasa dingin dan kesepian.
"Aku tidak takut." Nadine pelan-pelan menyunggingkan senyum, "Tapi, terima kasih ya."
"Sama-sama." Ucap Radit.
Ia menarik Nadine ke sampingnya, lalu mengetuk pintu. Sebuah lubang kecil di pintu itu terbuka.
"Suruh wanita itu masuk seorang diri." Kata orang didalam dengan kasar.
"Ia membutuhkan asisten saat melakukan operasi, jadi harus kami berdua yang masuk." Ucap Radit tak peduli.
"Tak boleh! Siapa tahu kalian ternyata bersekongkol untuk mengacau disini."
"Kalau begitu biarin saja wanita hamil didalam sana mati. Apa kalian tidak punya hati nurani?" Ucap Radit dingin.
Ucapan yang tegas dan keras itu membuat orang yang mendengarnya sedikit takut. Orang tersebut terdiam selama tiga detik.
"Berani juga ya kau! Masuklah!"
Radit mendorong pintu tersebut dan berjalan masuk. Sebuah pistol dihadangkan di depan kepalanya. Melihat ini, Nadine mulai khawatir, sementara wajah Radit tetap datar. Beberapa orang disana datang menggeledah tubuh Radit, tapi tidak ditemukan senjata apapun.
"Kalian jangan main-main ya dengan kami." Ia memasukkan kembali pistolnya.
"Sakit, tolong aku, tolong!" Terdengar suara teriakan wanita hamil itu di dalam kamar utama.
Nadine langsung berlari menuju kamar tersebut. Gorden jendela dibuka, tapi lampu kamar tak dinyalakan sehingga kamar tersebut agak remang-remang. Dua pria lain mengarahkan pistol pada Nadine dengan tatapan garang. Nadine tak memedulikan mereka, ia berjalan ke arah wanita hamil itu.
Wajah wanita hamil itu pucat, ia memegangi perutnya. Ranjang tempat wanita itu berbaring sudah agak basah, "Tolong aku, tolong aku! Aku mau mati saja!"
"Perlihatkan kepadaku hasil medis yang terakhir." Ucap Nadine cepat.
"Dalam… dalam laci." Kata wanita itu. Wajahnya penuh keringat.
Nadine segera membuka laci itu. Di atas hasil medis itu ada sebuah foto, foto perempuan itu dengan Angga! Nadine ternganga. Ternyata senior yang dimaksud adalah Angga!Dan perempuan yang sedang hamil itu adalah selingkuhannya Angga yang lain!
"Dokter, tolong aku. Sakit sekali!" Kata perempuan itu sambil memegangi tangan Nadine.
Pelan pelan Nadine tersadar. Ia mengeluarkan hasil medis tersebut, lalu melihatnya. Raut wajah Nadine langsung berubah.
"Posisi janinmu tidak tepat, tali pusarmu melilit leher janin itu sehingga ia susah untuk keluar. Jadi kamu harus operasi sesar. Dan lagi, kondisimu sekarang sedang gawat, tidak bisa hanya dibius sebagian, seluruh tubuhmu harus dibius." Ucap Nadine panik. Ia lalu membuka kotak P3Knya.
Salah satu penjahat itu merampas kotak P3K tersebut. Setelah memastikan tidak ada senjata apapun, ia mengembalikannya pada Nadine.
Wanita hamil itu bergeleng geleng, matanya merah, ia memohon, "Bolehkah untuk tidak sesar? Dia pria yang menyukai perempuan yang tidak punya bekas luka di tubuhnya."
Menyukai perempuan yang tidak punya bekas luka? Ternyata benar pria itu Angga!
"Kalau tidak sesar, anak itu bisa tercekik." Kata Nadine dingin.
Mata wanita itu bersinar serius, ia menggertakkan gigi, "Biarkan saja anak itu tercekik."
Nadine menyipitkan matanya, ia tidak menyukai keputusan wanita itu, "Dia adalah anak yang kamu jaga selama 9 bulan di kandunganmu, sekarang ia sudah memiliki nyawa."
"Untuk apa punya anak tapi tidak mendapat cinta dari pria itu. Anak itu hanya akan jadi beban nantinya, pokok aku tidak ingin di sesar!" Ucap wanita itu keras dengan nada yakin.
Karena terlalu banyak bergerak, perutnya makin terasa sakit.
Nadine menggertakkan gigi. Ia lalu mengambil obat bius dari kotak P3K nya, dibukanya cairan obat bius itu dengan cepat dan dimasukkan ke dalam jarum suntik.
"Maaf ya, tapi sebagai seorang dokter aku tak bisa menyanggupi permintaanmu. Di mataku, anak itu sudah memiliki nyawa!" Ucap Nadine dingin.
Nadine berkonsentrasi menyiapkan jarum suntiknya, lalu bersiap untuk menyuntik wanita itu. Tapi Radit tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya, matanya yang hitam memancarkan sinar kepedulian. Ia sadar akan pentingnya memenuhi keinginan wanita hamil tersebut, jadi ia mencoba untuk membujuk Nadine.
"Turuti saja kemauannya, ia kan pasien disini." Ucap Radit mengingatkan Nadine.
Nadine menghempaskan tangan Radit, tapi tangan tersebut tidak bergerak.
Ia pun marah, dengan tegas ia menatap mata Radit, "Aku adalah seorang dokter kandungan, membantu wanita untuk sukses melahirkan anaknya adalah tanggung jawabku. Kalau sampai nantinya terjadi sesuatu, aku loh yang harus menanggungnya. Aku gak takut mati, aku takut jika tidak melakukan hal yang benar!"
Radit terdiam. Bukannya ia tak takut untuk melakukan yang benar, hanya saja, ia tak mau gadis yang sedang berbicara dengannya itu kenapa-napa.
Ia melonggarkan pegangannya, lalu berkata dingin, "Ya sudah, lakukan saja operasi sesar itu, ini adalah perintahku. Aku akan ‘menyapa’ ketua kalian."
Setelah itu, Nadine membungkuk lalu mengenakan sepasang sarung tangan karet. Dengan serius ia berkata pada para penjahat itu, "Tolong kalian semua keluar sebentar, aku mau melakukan operasi."
"Tak bisa! Ia harus ada dalam penjagaan kami. Kau lakukan saja operasinya di depan mata kami!"
"Apa dia bisa kabur dengan kondisi seperti ini?" Nadine tak ingin tubuh telanjang wanita itu dilihat mereka nantinya.
Penjahat itu mengangkat pistol dan mengarahkannya pada Nadine, "Kalau kau bicara lagi, akan kutembak kau!"
Radit langsung maju menghadang di depan Nadine, "Kalaupun kau menembaknya, kalian tetap tak akan bisa kabur!"
Para penjahat itu ragu.
"Dokter, tolonglah, aku tidak tahan lagi, anak ini mau keluar…" Teriak wanita hamil itu.
Mata Radit langsung bersinar tajam. Berlama lama seperti ini tak ada gunanya. Ia membuka lemari disana, mengeluarkan dari dalamnya sebuah selimut putih dan membentangkannya, menutupi Nadine dan wanita hamil itu di belakangnya.
"Aku tutupi kalian, segeralah lakukan operasi!" Ucap Radit tegas.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved