Bab 4 Aku Ingin Tahu Semua Tentangnya

by Parisya 08:00,Jan 01,1970
Bab 4 Aku Ingin Tahu Semua Tentangnya

Para penjahat itu juga ketakutan melihat perbuatan Nadine ini, mereka mematung di tempatnya tanpa berkata apa-apa.

Nadine tersenyum mengejek, matanya bersinar liar, "Kemarilah. Toh kalau aku sudah mati, kalianlah yang bertanggung jawab menguburku."

Sudah jelas ini adalah kematian yang ‘sembarangan’. Suasana disana terasa dingin. Pandangan mata Radit suram selama beberapa menit, ia terus menatap lekat-lekat Nadine.

"Bos, aku ingin ia mati!" Kata penjahat berambut kuning itu sambil mengepalkan tinju.

Penjahat yang berusia lanjut itu berdiri. Nadine juga ikutan berdiri sambil berjalan mendekat ke arah penjahat berambut kuning itu. Suasana disana sangat mencekam ibarat telur di ujung tanduk, disenggol sedikit saja akan langsung pecah.

Penjahat berusia lanjut itu bergetar oleh keberanian Nadine, ia mengarahkan pistol ke arahnya, "Jangan kemari!"

Nadine tersenyum sinis. Pandangan matanya lalu menangkap sosok Radit diluar. Ia terdiam.

"Aku mau ke WC dulu, boleh kan?"Kata Nadine cepat.

"WC nya di lantai atas." Kata pria berumur itu dengan hati-hati.

"Kalian sebenarnya tidak akan bisa kabur. Diluar sudah ada puluhan tentarayang sedang mengarahkan pistolnya tepat pada kalian." Ucap Nadine sembil menggerakkan kepalanya ke arah jendela.

Penjahat berusia lanjut itu terdiam, ia segera berjalan ke jendela. Dengan berhati-hati, ia melihat keluar. Nadine menggunakan kesempatan ini untuk kabur melalui pintu kamar. Penjahat berusia lanjut itu sadar dirinya telah dibohongi. Ia mengangkat pistol dan menembak ke arah kaki Nadine. Tapi Radit lebih cepat, ia menarik lengan Nadine. Nadine pun terjatuh dalam pelukannya, tubuhnya tertarik ke luar kamar.

Penjahat yang melihat Radit di dalam rumah itu lagi merasa terancam. Sadar akan adanya bahaya, mereka menembak ke arah Radit. Sambil menutupi kepala Nadine, dengan cekatan Radit menjatuhkan dirinya ke lantai. Gerakan ini sangat berbahaya, tapi kepala Nadine yang terjatuh di tangannya Radit tidak terasa sakit sedikitpun.

Kedua kaki Radit ‘memagari’ tubuh Nadine, napasnya yang hangat mengenai wajah wanita itu. Nadine menatap mata Radit, mata yang ‘seluas alam semesta’ itu. Menatapnya seperti ini, membuat wanita itu seakan dapat melupakan semua kepahitan dan kesulitan yang dialaminya, serta… luka hatinya yang begitu dalam.

"Kenapa kamu datang lagi?" Tanya Nadine.

Ia langsung merasa dirinya terlalu banyak bertanya. Mereka itu tentarayang melindungi masyarakat, itu adalah tugas mereka.

"Kamu berbaring saja disini, di dekat sofa. Jangan bergerak, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menjamin keamananmu." Janji Radit.

Nadine melihatnya seperti seekor serigala yang sudah siap untuk berburu. Dengan cepat Radit berlindung di belakang sebuah dinding. Penjahat yang tidak berhasil membunuhnya itu kembali menembakkan pistol ke arahnya. Nadine mendengar suara tembakan yang nyaring di telinganya. Batu di atas dinding serta kulit luar dinding tersebut mulai berjatuhan, tapi Radit sama sekali tidak menyerah.

Penjahat yang berusia lanjut itu terus menembakkan pistolnya ke dinding tersebut, ia berjalan mendekat. Nadine yang melihat ini merasa, kalau tembakan seperti ini terus berlanjut, Radit bisa mati. Ia lalu melepaskan sepatunya, dan melemparnya keluar dari belakang sofa. Penjahat berambut kuning segera mengarahkan tembakannya ke sofa.

Dor! Suara tembakan yang keras terdengar. Penjahat berambut kuning itu ternyata tertembak duluan. Setelah terhuyung sebentar, ia lalu terjatuh ke tanah. Penjahat berusia lanjut mulai merasa terancam. Ia lalu melompat ke arah sofa. Tapi Radit lebih cepat, ia menarik Nadine masuk ke belakang lemari TV. Keduanya berjalan di ruang yang kecil itu.

Radit mengarahkan tembakan ke luar agar penjahat itu tak mendekat, sementara Nadine mendongak menatap Radit. Ia tak menyangka, masih ada pria asing yang berusaha sekuat tenaga melindunginya seperti ini. Sementara suaminya sendiri yang seharusnya melindunginya, saat ini sedang berselingkuh di luar sana.

Radit dapat merasakan dirinya ditatap, ia lalu menunduk menatap balik Nadine. Tapi tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan, keduanya merasa seperti disengat listrik. Radit lalu memalingkan wajahnya cepat agar berjarak lebih jauh dari Nadine, hatinya berdegup kencang. Nadinepun lalu bersandar pada dinding. Angga saja tidak pernah berjarak sedekat ini dengannya. Sebelum ia mati, tidak rugi juga kalau ia bisa mencium seorang jenderal yang ganteng ini.

Penjahat itu menatap marah, lalu menembak ke arah TV. TV tersebut hancur, sosok Nadine dan Radit pun terlihat oleh penjahat itu. Tanpa berlama-lama, Radit berbalik badan untuk melindungi Nadine di belakangnya. Kepala Nadine didekapnya di dadanya, tubuh Radit saat itu ibarat perisai yang menjaga keselamatan Nadine. Dengan sigap ia mendekap Nadine dalam pelukannya, membuat Nadine merasa terlindungi.

Deg! Deg! Deg! Nadine mendengar suara detak jantung Radit yang kuat seperti bunyi drum. Aroma tubuhnya yang unik tercium di hidung Nadine. Sangat harum, sangat nyaman menghirupnya. Selama ini, Nadine tak pernah mengalami kehangatan dan ketenangan seperti sekarang. Luka yang tersimpan di hatinya selama ini selalu menghantuinya kemana-mana, yaitu luka akibat dikhianati dan dibohongi Angga. Kalau hidupnya memang harus berakhir saat itu juga seenggaknya sekarang ia bisa merasakan kehangatan yang memang selama ini didambakannya. Nadine menutup matanya, air keluar dari ujung matanya. Begitulah ia menangis diam diam dalam pelukan dan lindungan pria asing ini.

Tiba-tiba…

Dor! Dor! Terdengar dua kali suara tembakan!

Di bawah perintah Radit, 008 dan 101 yang bersembunyi di kegelapan sukses memusnahkan musuh itu. Mereka kemudian keluar dari tempat persembunyiannya untuk mengecek sebentar keadaan disana, kemudian kembali ke Radit, dan berkata hormat, "Lapor ketua, para musuh itu sudah di eksekusi."

Radit kemudian melepaskan Nadine.

Nadine pelan-pelan membuka mata, kemudian tersenyum, "Tak sangka aku masih bisa hidup."

Radit heran, nada bicara Nadine ini justru terdengar kecewa. Radit merasa dadanya basah, ia menundukkan kepalanya, melihat bajunya memang sedikit basah. Dengan kaget ia menatap Nadine. Nadine kemudian berdiri. Kedua matanya yang besar dan cantik menatap Radit. Di dalam bola mata yang jernih itu, terdapat kehampaan yang sangat dalam, seperti suasana di dalam air yang sunyi, tenang, dan dingin.

Radit juga berdiri, dengan khawatir ia bertanya, "Kamu tidak apa-apa?"

Nadine tersenyum, "Ketua melindungi dengan sangat baik. Aku tidak apa-apa. Tugasku sudah selesai, aku pulang dulu."

Nadine lalu berbalik badan.

"Berikan nama dan nomor teleponmu. Saat kembali aku akan melapor, lalu memberikan penghargaan padamu." Wajah Radit datar, seakan ia sudah biasa melakukan ‘prosedur’ ini.

Tapi yang aneh adalah, sebenarnya hal-hal sederhana seperti ini tidak perlu dilakukan olehnya, yang adalah seorang jenderal.

"Tak perlu. Memang sudah seharusnya kan kita harus bekerjasama dengan tentara." Nadine lalu menatap jam yang tertempel di dinding. Jam 2 lebih!

"Aku harus masuk kerja besok. Aku pergi dulu." Tanpa menunggu jawaban Radit, Nadine berjalan masuk ke kamar utama tadi untuk mengambil kotak P3Knya.

Radit berdiri di depan pintu, tubuhnya berdiiri tegak dan kaku disana sambil menatap Nadine suram. Nadine berjalan melewatinya, tanpa berkata apa apa lagi, ia membuka pintu lalu berjalan keluar.

Suasana dikamar itu kemudian berubah sunyi, seakan Nadine tidak pernah ada disana. Sekali lagi Radit mengamati dadanya yang basah, perasaannya tak enak.

"008, 101. Ikuti dia, pastikan ia sampai kerumahnya dengan selamat, barulah kalian kembali padaku." Ucap Radit memberi perintah dengan tegas.

"Baik!" 008 dan 101 segera pergi.

Dodi menghembuskan napas lega, ia berjalan masuk, lalu dengan hormat membungkuk di hadapan Radit.

"Lapor ketua, dengan perintah yang jelas dari ketua, misi berakhir dengan sempurna. 28 orang tentaradari tadi sudah bersiap diluar, mohon perintah ketua selanjutnya!"

"Kembalilah ke markas!" Ucap Radit singkat. Ia berjalan keluar.

Di bawah di sepanjang jalan, terlihat banyak tentarayang sudah siap untuk ‘berperang’. Dengan tenang Radit masuk ke dalam sebuah mobil, duduk di bangku belakang. Mobil tersebut melewati Nadine. Radit otomatis melihat ke luar jendela, Nadine sambil membawa kotak P3Knya berjalan kembali ke rumah sakit. Tubuhnya yang kecil terlihat lemah, dengan langkah santai ia melangkahkan kakinya.

"Dodi!" Teriak Radit.

"Iya." Dodi langsung berpaling mendengar teriakan Radit.

"Cari tahu tentang kehidupan wanita tadi, aku ingin data yang lengkap." Perintah Radit dengan wajah dingin, sorot matanya suram.

Download APP, continue reading

Chapters

899