Bab 10 Sayang Kalau Dibuang

by Parisya 08:00,Jan 01,1970
Bab 10 Sayang Kalau Dibuang

Angga menghalangi langkah Nadine, ia mengangkat alis sambil menghirup hirup. Ada aroma rokok dan bir di tubuh Nadine, seakan gadis ini habis pulang dari tempat yang mewah. Ya, aroma yang sangat unik.

Pupil matanya yang hitam langsung bersinar, ia bertanya, "Kemana kau kemarin?"

"Aku menemani Lidya pergi ke Klub Loewy." Kata Nadine tanpa dusta. Berdirinya tegak, sikapnya berani tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Angga memandangnya jijik, ia menghinanya, "Kau sangat menjijikkan."

Nadine pun tersenyum mengejek, "Alah kau juga kan. Kita sama."

Ia lalu melanjutkan langkahnya berjalan keluar.

"Tunggu." Kata Angga dingin.

Nadine menoleh.

Pandangan mata Angga ‘menyapu bersih’ meja, "Buang semuanya ini, aku takut masakan yang kau buat tak higienis."

Nadine terdiam mendengarnya, hatinya sakit. Sekotor kotornya dia, lebih kotor pria yang didepannya ini bukan? Pria kotor ini saja sudah punya banyak selingkuhan diluar sana. Hati Nadine langsung meledak ledak sampai ke otaknya.

"Kau memang tak pantas makan masakanku." Kata Nadine dingin. Nadine berjalan ke meja, lalu ‘membersihkannya’.

Terdengar suara pecahan-pecahan kaca jatuh. Makanan, sup, semuanya berserakan di lantai. Mata Angga langsung bersinar sinar jahat seakan ingin membunuh orang. Ia memegang lengan Nadine keras.

Tenaganya kuat, seakan ingin memutuskan lengannya, dengan kasar ia berkata, "Bersihkan ini semua baru kau boleh pergi."

"Mimpi saja kau." Jawab Nadine tanpa ragu.

Mata Angga terus berbinar binar seram. Ia mengulurkan tangan untuk mencekik leher Nadine, menyumbat saluran pernapasannya. Nadine merasa kesusahan bernapas, matanya yang dingin menatap benci Angga. Beginilah hidup pernikahan mereka, seperti neraka. Seandainya saja ini bisa berakhir. Tak papalah Nadine mati, toh nantinya Angga akan dipenjara, lalu keduanya akan sama-sama masuk neraka.

Nadine yang sengsara… merasa kesepian, sedih, depresi, kepahitan, tak punya tempat mengadu. Nadine menyunggingkan senyum, senyum licik dan jahat. Senyum yang mematikan, menusuk, senyum kesedihan dan kekecewaan.

Angga heran akan sikapnya ini, iapun merenggangkan cekikannya. Nadine merasa kehilangan keseimbangan, ia terjatuh ke bawah. Tangannya menyangga tubuhnya di lantai, tapi sayang telapak tangannya terkena pecahan kaca. Darah mengalir keluar.

Angga menunduk mengamatinya, alisnya terangkat, matanya bersinar tak seperti biasanya, "Kau pergi sajalah, jangan kemari lagi."

Nadine bangkit berdiri, ia menunduk sambil mengepalkan tinju. Darah bercucuran ke bawah sehingga tangannya berwarna merah segar. Nadinepun berjalan keluar pintu tanpa menoleh lagi. Luka ini, jika orang terdekatnya melihat pasti akan mengasihaninya, jika musuhnya melihat pasti akan merasa senang, jika orang asing melihat pasti biasa biasa saja. Nadine tak mau terlihat sedih, terlihat sakit hati, terlihat sedang menangis.

Ia pun pergi ke apotek membersihkan lukanya, lalu membeli plester. Setelah mengobati luka ditangannya tersebut, ia pulang ke rumah.

Lidya tiba-tiba menelepon, "Nadnad, aku ada di depan pintu rumahmu, kapan kamu pulang?"

Ada hal yang juga ingin Nadine tanyakan pada Lidya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi semalam, bagaimana bisa ia ada dirumah tentaraitu, "Sebentar lagi aku pulang."

Tak lama kemudian, Nadine muncul dari dalam lift. Lidya mengamati wajahnya, melihat raut wajah Nadia yang suram, hatinya bertanya tanya apa yang telah terjadi.

"Lidya, apa sebenarnya yang terjadi padaku semalam?" Tanya Nadine membuka topik pembicaraan.

"Oh, itu. Aku semalam juga mabuk, jadi aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Makanya aku kemari untuk bertanya denganmu." Kata Lidya hati-hati.

Nadine, "…"

"Aku juga tak ingat, kamu masuk dulu yuk." Nadine membukakan pintu.

Melihat Nadine tak mendesaknya untuk menjawab, Lidya langsung merasa lega. Ia mengikuti Nadine berjalan masuk. Ia lalu melihat kotak kosmetik di atas meja.

"Wah, ini kan brand Paris. Kamu menang undian ya, makanya beli kosmetik semahal ini." Lidya langsung membuka kotak kosmetik itu, matanya terbelalak, "Wah, ini semua harganya bisa bisa ratusan juta."

"Apa?" Nadine kaget.

Ia kira hanya berharga jutaan, tapi rupanya ratusan juta? Mana ada ia uang sebanyak itu, mana bisa ia mengembalikan uang sebanyak itu.

Lidya menemukan selembar voucher belanja, ia melirik, lalu mengambilnya. Sambil menggoyang goyangkannya di depan Nadine, ia berkata, "Tuh benar kan ratusan juta. Kamu menang undian ya?"

"Ini bukan punyaku. Bolehkah kamu membantuku untuk menjualnya kembali?" Tanya Nadine lemas.

"Kenapa dijual? Angga bukannya punya banyak uang?" Kata Lidya sambil memasukkan voucher itu kembali ke dalam kotak kosmetik.

Sorot mata Nadine meredup, dengan mantap ia berkata, "Aku tidak membutuhkannya."

"Sebagai perempuan kita memang harus mandiri, juga dalam hal finansial. Aku mendukung prinsipmu ini, tapi…" Lidya menatapnya jenaka, "Ini pemberian dari pria lain kan?"

"Kemarin ada tentarayang memberikannya dengan cuma cuma. Lain kali aku tidak akan berhubungan lagi dengannya, aku sungguh tak enak karena pemberiannya yang mewah ini." Kata Nadine menjelaskan.

Mata Lidya bersinar sinar. Pria yang kemaren kaya juga rupanya, ternyata pilihan dia tak salah. Tak lagi berhubungan dengannya? Wah, bahaya ini.

"Kembalikan, kamu harus mengembalikan uangnya. Ini kamu jual saja ke aku, nanti aku akan mentransfer uangnya padamu. Saat ketemu, traktirlah dia pergi makan. Oh ya, semalam apa kamu sudah melakukannya dengan dia?" Tanya Lidya bersemangat.

Wajah Nadine langsung memerah malu, "Tentu saja tidak, pertanyaan apa sih itu."

"Pria seperti itu pasti bisa kamu taklukkan." Saran Lidya.

Otak Nadine lalu membayangkan wajah Radit yang cool dan gagah serta aura tubuhnya yang sangat memikat.

"Dia bukan pria yang mudah ditaklukkan." Kata Nadine yakin.

"Kalau ada niat, pasti ada jalan. Asal kamu mau berusaha, pasti kamu bisa menaklukkan hatinya." Kata Lidya menyemangati Nadine.

"Berusaha saja belum tentu berhasil. Tapi tanpa usaha jauh lebih baik. Aku dan dia sama sekali tak mungkin." Kata Nadine sambil menyerahkan kotak kosmetik itu pada Lidya, "Ambillah."

Lidya tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia duduk di sofa sambil mentransfer uang ke Nadine melalui handphonenya. Dengan menyeringai ia bertanya, "Sudah aku transfer, bagaimana kamu akan mengembalikan uang ini padanya?"

Nadine berjalan ke arah kulkas, lalu mengambil dua botol minuman dari dalam. Satu botol diberikan pada Lidya.

"Aku punya nomor handphonenya, ia bilang kalau aku ke area militer, aku bisa menghubunginya." Kata Nadine, ia lalu duduk di samping Lidya.

Handphone Nadine bergetar, ada SMS masuk. Uang dari Lidya sudah sampai ke rekeningnya.

"Sekarang saja kamu menelepon dia, masih ada waktu. Lalu traktir dia untuk makan malam." Kata Lidya sambil menyeringai.

Nadine juga tak ingin berlama lama meninjam uang orang lain. Ia mengeluarkan kertas yang ditulis Radit tadi pagi dari dalam tasnya. Di kertas itu tertulis nama dan nomor telepon.

Lidya mengamati kertas itu, "Radit, tulisan tangannya bagus, kelihatan bahwa ia sangat berenergi, beradab, berpendidikan tinggi, wawasannya luas, seorang sosok pria yang susah untuk ditemukan di dunia ini."

Nadine ternganga menatap Lidya, "Kenapa kamu tidak jadi peramal saja?"

"Hehe, yah inilah ramalanku mengenai dia. Cepat telepon, cepat telepon." Desak Lidya.

Nadine menekan nomor nomor itu di handphonenya. Setelah terdengar tiga kali bunyi tut, akhirnya telepon tersebut diangkat.

"Halo, aku Nadine." Nadine buka suara.

"Oh, iya." Terdengar suara berat di ujung sana.

"Kira kira sejam lagi aku kesana untuk mengembalikan uang anda. Apakah anda ada waktu?" Tanya Nadine langsung tanpa basa basi.

"Datanglah." Kata Radit, ia langsung menutup teleponnya.

"Kok singkat singkat sekali jawabannya?" Lidya heran.

"Begitu saja sudah cukup." Nadine tersenyum.

Lidya, "……"

"Aku punya sepasang sepatu, aku kasih ke kamu ya. Sepatu itu terlalu kecil bagiku, sepatu bermerk, sayang kalau dibuang." Kata Lidya sambil menyeringai. Matanya bersinar jenaka.

Nadine langsung menerimanya, "Oke, makasih ya."

Download APP, continue reading

Chapters

899