Bab 7 Efek Obat

by Parisya 08:00,Jan 01,1970
Bab 7 Efek Obat

"Minumlah sedikit lagi." Bujuk Lidya. Ia khawatir kalau Nadine minum terlalu sedikit, maka obatnya tak akan bereaksi.

Nadine merasa dirinya mabuk berat, kepalanya terasa sakit. Ia lalu minum lebih banyak. Perutnya terasa mual, ginjalnya seakan diaduk aduk, ia lalu berlari ke WC dan muntah disana.

Meski sudah muntah, bukannya merasa lega, kepalanya justru terasa makin sakit. Lidya membopong Nadine, ia khawatir obat tersebut telah dimuntahkan semua. Kalau begitu sia-sia saja semua usahanya ini.

Ia lalu mendekatkan gelas tadi ke mulut Nadine, "Minumlah lagi, pasti kamu akan merasa lebih baik."

Nadine tak mencurigainya, ia minum air di gelas itu hingga habis.

Tak lama kemudian, punggungnya terasa panas, panas ini kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangan Nadine mulai kabur, tubuhnya terasa lemah. Ia menyandarkan tubuhnya pada Lidya. Lidya membopong Nadine berjalan ke bilik permata, lalu mengetuk pintunya.

Radit membuka pintu, pandangan matanya tajam menatap Lidya, dengan dingin ia berkata, "Kau cari siapa?"

Lidya terpesona oleh aura Radit. Melihatnya dari jarak dekat, pria ini memang sungguh tampan, membuat napasnya tercekat. Demi kebahagiaan temannya, ia berkata pada Radit.

"Pacarmu mabuk, tolong kau antar dia pulang." Kata Lidya mendorong tubuh Nadine.

Mata Radit langsung bersinar waspada, pupil matanya berpindah menatap Nadine. Saking kagetnya, ia berdiri mematung disana. Melihat Nadine yang hampir jatuh ke lantai, dengan cepat Radit menarik tangannya. Nadine yang lemah sekarang bersandar pada lengan Radit. Efek bir yang kuat terlihat dari wajah Nadine. Radit agak curiga, kemudian ia menoleh kembali, tapi perempuan tadi sudah tak terlihat lagi.

"Dia pacarmu?" Tanya Rizky kaget melihat Nadine. Ia lalu tersenyum, "Cantik juga, sepertinya adik perempuanku akan patah hati nih."

Nadine memicingkan mata, ia merasa tak tahan, rasanya panas sekali. Ia menarik narik kerahnya, lalu berkata dengan pelan , "Tak nyaman."

Raditmenunduk. Sekilas melihat sikap gadis itu, pupil matanya membesar. Kalau seperti ini terus, ia pasti akan melepas seluruh pakaiannya di depan publik. Radit kemudian memeluknya dan membelakangi Rizky, dengan dingin ia berkata, "Aku antar dia pulang dulu."

"Tapi kita belum masuk ke pokok pembicaraan kita malam ini." Rizky berdiri.

"Mengenai perasaan, kau sudah mengatakannya di depan tadi. Sangat membosankan. Inti pembicaraan malam ini kita bicarakan di telepon saja." Radit langsung pergi sambil memeluk Nadine tanpa menoleh lagi.

Nadine memiringkan kepalanya, samar-samar ia melihat Radit. Ia melihat terlalu banyak bayangan orang yang sama di matanya, tapi ia tak bisa melihat jelas siapa orang itu. Saat merasa berkunang-kunang itu, muncullah berbagai macam imajinasi. Panas di tubuh Nadine makin terasa, ia tak tahan. Ia juga merasa agak ‘basah’, membuatnya membuka mulutnya.

Radit masuk ke lift khusus pengunjung VIP. Nadine tiba-tiba memeluk wajahnya, Radit langsung terdiam menatap lurus wanita di depannya ini.

"Malam ini kita melakukannya yuk!" Kata Nadine lembut.

Dengan wajah tanpa ekspresi Radit mengangkat alisnya. Pupil matanya yang bening langsung bersinar suram menatap Nadine.

Ingatannya tiga tahun yang lalu muncul kembali. Radit ingat dengan jelas perasaan itu, perasaan saat mereka melakukannya. Efek obat itu telah menghancurkan akal sehatnya, sehingga meski Nadine meronta ronta, meski dirinya sebenarnya juga tak ingin, tapi ia tak bisa berhenti bergerak. Bahkan, gerakannya makin kencang, ia ingin lebih.

"Kamu mabuk." Kata Radit dingin sambil mengalihkan pandangannya.

Nadine kesal. Kenapa pria ini tak mau menyentuhnya? Ia menggerakkan wajah Radit, lalu menciumnya. Saat bibir mereka bertemu, dunia serasa berhenti berputar. Radit hanya berdiri tegak tanpa memberikan reaksi apapun, tapi juga tak menghalanginya. Ia lah yang telah mengubah seorang Nadine yang polos menjadi seperti ini. Nadine berubah menjadi lebih mempesona.

Pintu lift tiba-tiba terbuka. Radit memalingkan wajahnya, dengan cepat ia berjalan ke arah mobil. Dodi sudah menunggu di sisi mobil. Ini pertama kalinya ia melihat sang ketua yang statusnya tinggi itu pertama kali dicium mesra oleh seorang wanita, tapi tidak mendorongnya marah. Ia melongo sambil membuka mulutnya lebar-lebar.

"Kok tidak buka pintu?" Tanya Radit.

"Oh, ya." Dodi segera membuka pintu belakang mobil.

Setelah meletakkan Nadine di bangku belakang mobil, Radit lalu duduk di sebelahnya. Nadine yang masih terpengaruh efek obat itu langsung sibuk melepaskan kancing baju Radit sambil menciuminya.

Mulut Nadine yang kecil menjelajahi permukaan tubuh Radit, terus turun sampai ke bawah perutnya. Radit mengangkat alis, ia mengepalkan tinju, akal sehatnya terus bergumul.

Karena tidak mendapat respon apapun, Nadine merasa tak tahan. Air memenuhi matanya, dengan manja ia berkata, "Cium aku."

Radit rasanya hampir meledak. Tiga tahun yang lalu, gadis ini tak mengerti apa-apa. Ia polos dan suci seperti selembar kertas putih. Tapi ia yang sekarang sangat menggoda.

Dodi yang penasaran dengan keadaan di belakang sana menoleh, tapi pandangan mata Radit dengan tajam menatap Dodi. Wajahnya tegang, dengan tegas ia memberi perintah, "Tanpa perintahku, kau tidak boleh menoleh sama sekali. Mengerti?"

Dodi akhirnya tak jadi melihat lagi. Dengan tegap ia mengemudikan setir, pandangannya menatap lurus ke depan.

Nadine kesal karena tidak ada pergerakan apapun dari Radit, dadanya terasa sesak. Ia menciumi kuping Radit, lalu bertanya lembut, "Kenapa kamu tidak mau menyentuhku?"

Radit bergetar, ia terus bergumul dengan perasaannya. Ia tak pernah sekalipun menyentuh perempuan lain, selain Nadine, yang itupun diluar kehendaknya. Padahal usianya sudah cukup untuk melakukannya.

Radit memegang dagu Nadine, memaksanya untuk melihat dia. Pandangannya menatap gadis itu tajam, napas beratnya mengenai wajah gadis itu, "Kamu yakin mau melakukannya?"

Nadine menatapnya lama. Ia merasa asing dengan pria ini, sehingga ia sedikit merasa takut, tapi ia tetap ingin melakukannya. Dirinya dan Angga adalah pasangan suami istri, seharusnya dari awal mereka sudah melakukannya, iya kan?

Bola matanya yang besar memerah, dengan malu Nadine mengangguk. Bola mata Radit yang hitam berbinar, wajahnya terlihat keras dan tegang. Dengan suara berat ia bertanya, "Kamu tidak akan menyesal?"

"Tidak akan." Ucap Nadine yakin.

Muka Dodi yang mendengar percakapan mereka langsung merah. Dengan hati hati ia bertanya, "Ketua, aku berhentikan mobil di pinggir jalan, atau aku antar anda ke sebuah hotel?"

"Kembali ke markas." Perintah Radit.

Kemudian Radit menunduk, mencium bibir Nadine. Bibirnya yang hangat menyentuh bibir lembut dan manis wanita itu. Kejantanan yang tiba-tiba muncul itu seakan membangkitkan gelora asmara di antara keduanya, membakar perasaan mereka hingga puncak.

Tangan Radit tanpa sadar pelan-pelan menjelajah di area sensitif Nadine dan bergerak perlahan di dalamnya. Nadine mendesah. Dirinya tidak pernah disentuh oleh seorang lelakipun, kecuali oleh pria misterius itu yang tiba-tiba dijumpainya itu.

Nadine terangsang, tubuhnya bergetar. Responnya ini diluar dugaan Radit. Apakah ia tidak pernah melakukannya dengan Angga? Bagaimana mungkin, mereka sudah menikah selama tiga tahun. Sadar akan hal ini, hati Radit merasa tidak nyaman. Tapi ia kemudian membuang pemikirannya ini. Sambil memegang pinggang Nadine, ia ‘memperhebat’ ciumannya.

Didalam mobil yang sempit itu, napas keduanya terdengar makin cepat dan berantakan, tapi mesra. Suasana disana makin memuncak.

Download APP, continue reading

Chapters

899