Bab 5 Kau Boleh Pergi Sekarang
by Parisya
08:00,Jan 01,1970
Bab 5 Kau Boleh Pergi Sekarang
Di dalam sebuah villa yang terletak di daerah bukit yang sunyi. Di dalam kamar beraroma apel, dibawah cahaya lampu yang remang remang. Di atas tempat tidur berwarna pink, di atas sprei yang tergerai rapi.
Angga duduk disana, matanya setengah tertutup, bulu matanya yang hitam sehitam tinta menghalangi bola mata hitamnya yang saat itu sedang berbinar binar, ia sungguh menikmati momen itu. Bibirnya yang merah dan tipis terbuka pelan dengan ‘hot’.
Angga adalah seorang ‘malaikat tampan yang terpahat sempurna’, tubuhnya sempurna, pembawaannya menawan dan senyum di wajahnya selalu terlihat mempesona. Seorang perempuan sedang berjongkok di depannya, dengan lidahnya ia mencoba untuk memuaskan ‘bagian tersensitif’ pria itu, sambil mengeluarkan suara desahan yang merangsang.
"Aku ingin…" Pinta perempuan itu.
Angga menunduk, dengan senyum sinis ia memegang dagu perempuan itu agar ia mendongak, "Kau mau?"
"Iya."
"Hari ini aku agak lelah, lain kali saja ya." Ucap Angga dengan agak kasar. Ia berdiri, lalu masuk ke kamar mandi.
Hari ini ia tak mood. Angga meninggalkan ‘sangkar emas’ itu lebih awal dari biasanya.
Setelah keluar dari sana, ia mengeluarkan handphone dan menelepon Nadine.
Tut… tut… tut… Nadine tak menjawab.
Angga tersenyum jahat, "Mau bikin aku marah ya? Baikah!"
Ia lalu menelepon ke penginapan di pusat kota tempat Nadine tinggal.
Tut… Tut… Tut
Kesabarannya mulai habis.
"Hallo." Terdengar suara linglung tak jelas dari pelayan perempuan di rumah itu, Friska.
"Mana nyonya?" Tanya Angga dingin.
"Oh, tuan. Nyonya masih belum pulang hingga sekarang." Jawab Friska.
"Loh, malam ini kan dia gak bertugas?" Pandangan mata Angga bersinar heran.
"Iya benar."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Angga langsung memutuskan sambungan.
"Nadine, sejak kapan ia belajar nginap di luar rumah!" Angga mempercepat kecepatan mobilnya menuju rumah sakit.
……
Sesampainya di rumah sakit, Nadine membuka laci dan mengambil handphonenya. Jam dua lewat tiga puluh satu menit ada panggilan telepon dari Angga. Ia lalu menyunggingkan senyum penuh luka. Tanpa menelepon balik, ia menaruh lagi handphonenya. Dari dalam laci ia mengambil plester dan alkohol.
Nadine lalu berjalan ke arah kaca sambil memiringkan lehernya. Ada luka kecil disana. Tanpa perlu melihatnya lebih seksama, agar lebih aman dan tidak terlihat orang lain, ia menempelkan plester di atas luka itu.
Nadine kembali duduk di kursinya. Ia membasahi kapas dengan alkohol, lalu membersihkan luka di jari-jari tangannya dan menempelkan tiga buah plester. Setelah melakukan itu semua, ia berbaring dengan tenang di ranjang kantornya.
Pintu kantor tiba-tiba terbuka. Nadine kaget, ia langsung duduk lagi. Melihat Nadine ada di dalam, wajah Angga yang tadinya tegang langsung tersenyum, senyum yang sangat memikat hati.
Kedua tangan Angga dimasukkannya dalam kocek, dengan lambat ia berjalan maju, "Hari ini kan kau tidak bertugas, kenapa tidak tidur di rumah?"
Nadine melihat di lehernya ada bekas cupang, rupanya dia habis ‘main’ diluar!
"Ngapain kau kesini?" Nadine balik tanya. Ia memakai sepatunya, lalu berdiri.
"Habis lewat saja." Kata Angga santai, ia melihat plester di leher Nadine.
Wajahnya yang tampan itu kemudian menyunggingkan senyum mengejek, "Nadine, sejak kapan kau belajar melukai diri sendiri?"
Nadine melotot melihat sikap santai Angga ini, di wajah pria itu tak ada sedikitpun simpati atau perasaan malu, seakan pria itu sama sekali tak pernah berselingkuh, seakan ia tak pernah main diluar dengan perempuan lain hingga perempuan tersebut hamil. Hati Nadine mulai bergejolak marah, sorot matanya berubah tajam.
"Iya, memang aku melukai diriku sendiri! Tapi rasa sakit ini tidak sebanding dengan rasa sakit karena kau main di luar…"
Belum selesai Nadine menyelesaikan perkataannya, Angga menjulurkan tangan melepaskan plester di lehernya. Nadine langsung merasakan sakit di kulit lehernya akibat perbuatan pria itu. Sangat sakit hingga ke ubun-ubun sehingga perkataannya barusan seakan dipotong paksa.
Nadine hanya bisa diam, pandangan matanya seakan kabur. Angga mengamati lehernya yang putih itu, ia langsung merasa aneh.
"Di lehermu sama sekali tak ada bekas luka. Nadine, luka dihatimu sepertinya terlalu dalam. Bagaimanapun si jelek berakting di depan kamera, sebagus apapun aktingnya, tetap saja ia jelek." Sindir Angga.
Hati Nadine kesal mendengarnya, ia tak ingin lagi berbicara dengan pria ini.
"Kau boleh pergi sekarang." Ucap Nadine tanpa basa basi.
Sorot mata Angga langsung bersinar tajam.
Ia memegang dagu Nadine, lalu mendorong Nadine duduk di ranjang. Dengan wajah dingin ia menatap lekat-lekat wanita itu, dan menyindir, "Tahu kenapa aku seperti ini padamu?"
Nadine menggigit bibir tanpa mengatakan apapun. Ia hanya balik menatap lekat-lekat Angga. Hatinya seakan ‘ditampar’ oleh senar gitar yang sedang dimainkan, sangat sakit. itulah yang dirasakannya sekarang. Ingin rasanya Nadine melupakan segala sikap kejam dan tak berperi kemanusiaan yang dilakukan Angga selama ini di dalam otaknya agar hatinya bisa tenang, hingga rasa sakitnya hilang.
Melihat Nadine tak bersuara, Angga makin marah. Ia seakan tak bisa menyembunyikan rasa jijiknya pada Nadine, "Sikap angkuhmu ini membuat orang lain kesal, segala yang kau lakukan membuatku jijik denganmu."
Bulu mata Nadine bergerak, air mata mulai membasahi matanya, membuat pandangannya menjadi agak kabur. Tapi Nadine menatap lekat-lekat Angga, ia mencoba untuk menahan tangisnya, tapi ia pun tak melawan. Dadanya terasa sesak.
"Tahukah kau, kenapa aku yang sudah tahu kau benci denganku masih mau menikah denganmu?" Nadine balik tanya.
Angga terdiam sejenak, ia mengangkat alisnya sambil terus mengamati Nadine.
Nadine menyunggingkan senyum, senyum yang manis semanis bunga teratai. Senyum yang sangat cantik hingga membuat semua mahluk yang melihatnya terpana, bahkan mampu membuat tembok pertahanan sebuah kota runtuh. Anggapun mulai sedikit terhanyut oleh senyumnya ini.
"Karena aku ingin lihat kau menderita. Kau dan selingkuhanmu itu dulu sudah menculikku. Aku memang tidak punya bukti, makanya aku ingin membawamu mati bersamaku." Kata Nadine tanpa keraguan sedikitpun.
Angga menampar wajahnya.
"Setelah mendapat surat balasan dari pengacaraku, aku pastikan kita akan bercerai. Ingin mati bersamaku ya, mimpi saja kau!" Kata Angga tanpa belas kasihan.
Angga berbalik. Dari meja Nadine ia mengambil selembar tissue, lalu mengelap tangannya dengan kasar, seakan habis menyentuh benda kotor. Ia lalu menggulung tissue itu menjadi sebuah bola, lalu membuangnya ke tong sampah. Kemudian Angga berbalik dengan cepat berjalan menuju pintu, membukanya, lalu berjalan keluar. Terdengar suara pintu dibanting setelahnya
Nadine menatap lekat lekat pintu yang tertutup rapat itu. Ia duduk di ranjangnya, matanya mulai basah. Ia berbaring kembali di ranjang tersebut, lalu menutup mata. Rasa sakit yang dirasakan dadanya mulai muncul kembali.
Nadine pernah mencintai Angga dengan sepenuh hati. Tapi cintanya ini tidak dianggap oleh pria itu. Yang ingin menikahinya adalah Angga, yang mengkhianatinya adalah Angga, yang ingin bercerai dengannya juga adalah Angga. Nadine benar-benar merasa seperti badut yang jelek, yang saat beraksi membuat orang lain tertawa terbahak-bahak.
Luka di hati Nadine makin terasa sakit, membuatnya tak bisa bernapas. Ia meringkuk dengan erat memeluk tubuhnya sendiri, seakan ingin menghirup kehangatan dari tubuhnya sendiri agar dirinya tak mati kedinginan. Tapi tetap Nadine tak bisa tidur hingga matahari bersinar terang.
……
Di markasnya, Radit sedang membaca dokumen yang diserahkan oleh Dodi. Ia mengangkat alisnya, bola matanya yang jernih bersinar sedih. Ia tak menyangka, Nadine setelah menikah akan mengalami hal-hal yang menyakitkan seperti ini.
Nadine dan suaminya tinggal terpisah, hubungan mereka sangat tak baik, ibu Nadine masuk ke rumah sakit jiwa. Selingkuhan suami Nadine berjumlah 16 orang, dua setengah bulan ganti sekali.
Radit menutup dokumen itu, lalu memberi perintah pada Dodi, "Pergi dan informasikan kepada dekan disana untuk naik pangkat dia menjadi wakil direktur."
Di dalam sebuah villa yang terletak di daerah bukit yang sunyi. Di dalam kamar beraroma apel, dibawah cahaya lampu yang remang remang. Di atas tempat tidur berwarna pink, di atas sprei yang tergerai rapi.
Angga duduk disana, matanya setengah tertutup, bulu matanya yang hitam sehitam tinta menghalangi bola mata hitamnya yang saat itu sedang berbinar binar, ia sungguh menikmati momen itu. Bibirnya yang merah dan tipis terbuka pelan dengan ‘hot’.
Angga adalah seorang ‘malaikat tampan yang terpahat sempurna’, tubuhnya sempurna, pembawaannya menawan dan senyum di wajahnya selalu terlihat mempesona. Seorang perempuan sedang berjongkok di depannya, dengan lidahnya ia mencoba untuk memuaskan ‘bagian tersensitif’ pria itu, sambil mengeluarkan suara desahan yang merangsang.
"Aku ingin…" Pinta perempuan itu.
Angga menunduk, dengan senyum sinis ia memegang dagu perempuan itu agar ia mendongak, "Kau mau?"
"Iya."
"Hari ini aku agak lelah, lain kali saja ya." Ucap Angga dengan agak kasar. Ia berdiri, lalu masuk ke kamar mandi.
Hari ini ia tak mood. Angga meninggalkan ‘sangkar emas’ itu lebih awal dari biasanya.
Setelah keluar dari sana, ia mengeluarkan handphone dan menelepon Nadine.
Tut… tut… tut… Nadine tak menjawab.
Angga tersenyum jahat, "Mau bikin aku marah ya? Baikah!"
Ia lalu menelepon ke penginapan di pusat kota tempat Nadine tinggal.
Tut… Tut… Tut
Kesabarannya mulai habis.
"Hallo." Terdengar suara linglung tak jelas dari pelayan perempuan di rumah itu, Friska.
"Mana nyonya?" Tanya Angga dingin.
"Oh, tuan. Nyonya masih belum pulang hingga sekarang." Jawab Friska.
"Loh, malam ini kan dia gak bertugas?" Pandangan mata Angga bersinar heran.
"Iya benar."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Angga langsung memutuskan sambungan.
"Nadine, sejak kapan ia belajar nginap di luar rumah!" Angga mempercepat kecepatan mobilnya menuju rumah sakit.
……
Sesampainya di rumah sakit, Nadine membuka laci dan mengambil handphonenya. Jam dua lewat tiga puluh satu menit ada panggilan telepon dari Angga. Ia lalu menyunggingkan senyum penuh luka. Tanpa menelepon balik, ia menaruh lagi handphonenya. Dari dalam laci ia mengambil plester dan alkohol.
Nadine lalu berjalan ke arah kaca sambil memiringkan lehernya. Ada luka kecil disana. Tanpa perlu melihatnya lebih seksama, agar lebih aman dan tidak terlihat orang lain, ia menempelkan plester di atas luka itu.
Nadine kembali duduk di kursinya. Ia membasahi kapas dengan alkohol, lalu membersihkan luka di jari-jari tangannya dan menempelkan tiga buah plester. Setelah melakukan itu semua, ia berbaring dengan tenang di ranjang kantornya.
Pintu kantor tiba-tiba terbuka. Nadine kaget, ia langsung duduk lagi. Melihat Nadine ada di dalam, wajah Angga yang tadinya tegang langsung tersenyum, senyum yang sangat memikat hati.
Kedua tangan Angga dimasukkannya dalam kocek, dengan lambat ia berjalan maju, "Hari ini kan kau tidak bertugas, kenapa tidak tidur di rumah?"
Nadine melihat di lehernya ada bekas cupang, rupanya dia habis ‘main’ diluar!
"Ngapain kau kesini?" Nadine balik tanya. Ia memakai sepatunya, lalu berdiri.
"Habis lewat saja." Kata Angga santai, ia melihat plester di leher Nadine.
Wajahnya yang tampan itu kemudian menyunggingkan senyum mengejek, "Nadine, sejak kapan kau belajar melukai diri sendiri?"
Nadine melotot melihat sikap santai Angga ini, di wajah pria itu tak ada sedikitpun simpati atau perasaan malu, seakan pria itu sama sekali tak pernah berselingkuh, seakan ia tak pernah main diluar dengan perempuan lain hingga perempuan tersebut hamil. Hati Nadine mulai bergejolak marah, sorot matanya berubah tajam.
"Iya, memang aku melukai diriku sendiri! Tapi rasa sakit ini tidak sebanding dengan rasa sakit karena kau main di luar…"
Belum selesai Nadine menyelesaikan perkataannya, Angga menjulurkan tangan melepaskan plester di lehernya. Nadine langsung merasakan sakit di kulit lehernya akibat perbuatan pria itu. Sangat sakit hingga ke ubun-ubun sehingga perkataannya barusan seakan dipotong paksa.
Nadine hanya bisa diam, pandangan matanya seakan kabur. Angga mengamati lehernya yang putih itu, ia langsung merasa aneh.
"Di lehermu sama sekali tak ada bekas luka. Nadine, luka dihatimu sepertinya terlalu dalam. Bagaimanapun si jelek berakting di depan kamera, sebagus apapun aktingnya, tetap saja ia jelek." Sindir Angga.
Hati Nadine kesal mendengarnya, ia tak ingin lagi berbicara dengan pria ini.
"Kau boleh pergi sekarang." Ucap Nadine tanpa basa basi.
Sorot mata Angga langsung bersinar tajam.
Ia memegang dagu Nadine, lalu mendorong Nadine duduk di ranjang. Dengan wajah dingin ia menatap lekat-lekat wanita itu, dan menyindir, "Tahu kenapa aku seperti ini padamu?"
Nadine menggigit bibir tanpa mengatakan apapun. Ia hanya balik menatap lekat-lekat Angga. Hatinya seakan ‘ditampar’ oleh senar gitar yang sedang dimainkan, sangat sakit. itulah yang dirasakannya sekarang. Ingin rasanya Nadine melupakan segala sikap kejam dan tak berperi kemanusiaan yang dilakukan Angga selama ini di dalam otaknya agar hatinya bisa tenang, hingga rasa sakitnya hilang.
Melihat Nadine tak bersuara, Angga makin marah. Ia seakan tak bisa menyembunyikan rasa jijiknya pada Nadine, "Sikap angkuhmu ini membuat orang lain kesal, segala yang kau lakukan membuatku jijik denganmu."
Bulu mata Nadine bergerak, air mata mulai membasahi matanya, membuat pandangannya menjadi agak kabur. Tapi Nadine menatap lekat-lekat Angga, ia mencoba untuk menahan tangisnya, tapi ia pun tak melawan. Dadanya terasa sesak.
"Tahukah kau, kenapa aku yang sudah tahu kau benci denganku masih mau menikah denganmu?" Nadine balik tanya.
Angga terdiam sejenak, ia mengangkat alisnya sambil terus mengamati Nadine.
Nadine menyunggingkan senyum, senyum yang manis semanis bunga teratai. Senyum yang sangat cantik hingga membuat semua mahluk yang melihatnya terpana, bahkan mampu membuat tembok pertahanan sebuah kota runtuh. Anggapun mulai sedikit terhanyut oleh senyumnya ini.
"Karena aku ingin lihat kau menderita. Kau dan selingkuhanmu itu dulu sudah menculikku. Aku memang tidak punya bukti, makanya aku ingin membawamu mati bersamaku." Kata Nadine tanpa keraguan sedikitpun.
Angga menampar wajahnya.
"Setelah mendapat surat balasan dari pengacaraku, aku pastikan kita akan bercerai. Ingin mati bersamaku ya, mimpi saja kau!" Kata Angga tanpa belas kasihan.
Angga berbalik. Dari meja Nadine ia mengambil selembar tissue, lalu mengelap tangannya dengan kasar, seakan habis menyentuh benda kotor. Ia lalu menggulung tissue itu menjadi sebuah bola, lalu membuangnya ke tong sampah. Kemudian Angga berbalik dengan cepat berjalan menuju pintu, membukanya, lalu berjalan keluar. Terdengar suara pintu dibanting setelahnya
Nadine menatap lekat lekat pintu yang tertutup rapat itu. Ia duduk di ranjangnya, matanya mulai basah. Ia berbaring kembali di ranjang tersebut, lalu menutup mata. Rasa sakit yang dirasakan dadanya mulai muncul kembali.
Nadine pernah mencintai Angga dengan sepenuh hati. Tapi cintanya ini tidak dianggap oleh pria itu. Yang ingin menikahinya adalah Angga, yang mengkhianatinya adalah Angga, yang ingin bercerai dengannya juga adalah Angga. Nadine benar-benar merasa seperti badut yang jelek, yang saat beraksi membuat orang lain tertawa terbahak-bahak.
Luka di hati Nadine makin terasa sakit, membuatnya tak bisa bernapas. Ia meringkuk dengan erat memeluk tubuhnya sendiri, seakan ingin menghirup kehangatan dari tubuhnya sendiri agar dirinya tak mati kedinginan. Tapi tetap Nadine tak bisa tidur hingga matahari bersinar terang.
……
Di markasnya, Radit sedang membaca dokumen yang diserahkan oleh Dodi. Ia mengangkat alisnya, bola matanya yang jernih bersinar sedih. Ia tak menyangka, Nadine setelah menikah akan mengalami hal-hal yang menyakitkan seperti ini.
Nadine dan suaminya tinggal terpisah, hubungan mereka sangat tak baik, ibu Nadine masuk ke rumah sakit jiwa. Selingkuhan suami Nadine berjumlah 16 orang, dua setengah bulan ganti sekali.
Radit menutup dokumen itu, lalu memberi perintah pada Dodi, "Pergi dan informasikan kepada dekan disana untuk naik pangkat dia menjadi wakil direktur."
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved