Bab 9 Menjenguk Mama Di Rsj

by Parisya 08:00,Jan 01,1970
Bab 9 Menjenguk Mama Di Rsj

"Kau tidak mengatakan apa apa kok." Ucap Radit dingin.

Nadine lega. Ntah berapa lama ia terdiam disitu, akhirnya ia berdiri, lalu membungkuk hormat pada Radit, "Terima kasih ketua semalam sudah membiarkanku untuk tidur disini. Aku pamit dulu."

"Bawalah kosmetik ini." Perintah Radit.

"Tidak usah."

"Aku membelikannya khusus untukmu, kalau kau tidak mau, siapa lagi yang menginginkannya?" Kata Radit dingin.

Nadine agak takut melihatnya seperti ini. Oleh karena itu, ia mengambil perlengkapan kosmetik itu, "Akan ku transfer uangnya padamu sesampainya aku dirumah, tolong berikan nomor rekeningmu."

"Kalau ingin membayarnya, langsung saja ke area militer memberikannya padaku." Radit menulis dengan cepat di secarik kertas nomor teleponnya, lalu memberikannya pada Nadine, "Kalau kau datang, telepon aku."

"Baiklah." Nadine menerimanya dengan hormat.

Radit menatapnya sekilas dengan dingin, lalu menelepon seseorang, "Antar Nyonya Nadine ini keluar." Perintah Radit.

……

Hari ini adalah hari cutinya Nadine. Sesampainya dirumah, Nadine menaruh perlengkapan kosmetik itu di meja, berganti pakaian, lalu bersiap untuk pergi ke rumah sakit jiwa menjenguk ibunya, Irma.

Setelah bercerai, Irma mengidap suatu penyakit yang berhubungan dengan syaraf. Lima tahun yang lalu, atas bantuan Angga ia akhirnya bisa disembuhkan, kondisinya jauh lebih baik. Tapi peristiwa Nadine diculik tiga tahun yang lalu, dan dimana keperawanannya direnggut seorang pria membuat Irma shok dan terluka. Akhirnya ia terpaksa dimasukkan ke rumah sakit jiwa, hingga sekarang ia belum pernah keluar dari rumah sakit itu.

Dengan hati yang sedih Nadine berjalan masuk ke kamar ibunya. Irma sedang duduk tenang di dekat jendela tanpa bersuara, pandangan matanya kosong. Nadine mengambil sisir, berjalan mendekati Irma, lalu menyisir rambutnya.

Irma menoleh melihat Nadine, bertanya, "Kapan anakku akan kemari menjengukku?"

Sorot mata Nadine suram, selesai mengikat rambut Irma, ia duduk di hadapan ibunya itu. Dengan lembut ia berkata, "Ma, aku Nadine."

Irma terdiam, ia mengamati Nadine dengan seksama. Tapi setelah itu, matanya bersinar khawatir, "Mana Angga? Kenapa ia tidak datang? Kalian tidak sedang ada masalah kan?"

Nadine tersenyum pahit, sorot matanya makin terlihat suram. Saat Irma mulai sakit jiwa, dalam kondisi sekarat Irma memaksanya untuk menikah dengan Angga. Oleh karena itu tanpa memedulikan perasaannya sendiri, akhirnya Nadine setuju untuk menikah dengan pria itu. Kalau saja saat itu ibunya dalam keadaan waras dan mentalnya tidak tersiksa oleh peristiwa yang dialami Nadine, pasti Irma tak akan memaksanya menikah.

"Kami tidak apa-apa, Angga memperlakukanku dengan sangat baik. Oh iya ma, aku sebentar lagi akan diangkat menjadi wakil direktur." Kata Nadine sambil tersenyum.

"Lalu kenapa Angga tidak datang menjengukku? Suruhlah dia untuk datang besok, harus." Ucap Irma bersikeras. Ia seakan tak memedulikan kata-kata Nadine barusan.

"Angga besok harus pergi kerja." Nadine menjelaskan.

Irma tiba-tiba menampar wajah Nadine, berteriak, "Kalau lain kali kau datang, kau harus membawa Angga bersamamu. Kalau tidak, jangan kemari menjengukku. Aku tidak sudi punya anak sepertimu."

Wajah Nadine memerah sakit, ia menatap mata Irma yang bersinar marah. Seandainya mama tidak mengidap penyakit jiwa seperti ini, ia tidak akan memperlakukan Nadine dengan kasar kan?

"Baiklah, aku mengerti." Nadine menunduk, bulu matanya yang panjang berhasil menutupi matanya yang mulai berair.

"Pergi, sekarang juga kau pergi dari sini. Kalau tidak, kubunuh kau." Ucap Irma kasar.

Nadine berdiri, dengan lembut berkata, "Ma, istirahatlah yang baik, lain kali aku akan datang menjengukmu."

"Pergi!"

Nadine berbalik badan, lalu berjalan keluar. Ia menoleh sebentar menatap kamar Irma.

Nadine ingat saat SMA kelas 3 dulu, nilai-nilainya selalu bagus, tapi kondisi keluarganya miskin. Irma sampai berlutut di jalanan kota sambil mengemis. Tak peduli musim panas yang begitu panas dan malam hari yang dingin, Irma rela dalam waktu setahun penuh mengemis hanya untuk mengumpulkan uang agar Nadine bisa kuliah. Nadine tahu, mamanya sangat menyayanginya. Hanya saja, tidak ada orang yang ingin sakit, bukan? Apalagi sakit jiwa, tidak ada yang menginginkannya. Nadine menarik napas panjang, ia tidak ingin emosi mamanya tidak stabil, tidak ingin memperparah kondisinya yang sekarang.

Setelah pergi membeli sayur di pasar, Nadine pergi ke tempat Angga. Kode rumah kediaman Angga ternyata masih tetap 19920316, hari ulang tahun Nadine, kode tersebut sepertinya tak pernah diubah. Hati Nadine merasa sedikit terhibur.

Sambil membawa sayur-sayuran yang barusan dibelinya, Nadine berjalan masuk. Kamarnya dingin dan berantakan, tong sampah di dapur kosong, sepertinya pria ini jarang makan dirumah. Nadine membuka kulkas, didalamnya terisi penuh dengan bir, dan… kondom.

Sorot mata Nadine suram. Hatinya seketika seakan dihempaskan keras keras ke tanah. Aura dingin menyelimuti tubuhnya, hingga sampai ke otaknya. Tapi toh dia sudah terbiasa, iya kan? Hari ini ia datang, bukan untuk memeriksa rumah Angga, bukan juga untuk bercerita mengenai masa lalu, tapi meminta bantuannya.

Nadine lalu memasukkan sayur yang lebih ke dalam kulkas, lalu mulai bekerja. Ia mengeluarkan sebuah celemek yang pernah dipakainya dari dalam laci. Ia memakai celemek itu, mencuci sayur, memotong, memasak, serta membumbuinya. Semua dilakukannya dengan cekatan.

Nadine kemudian membersihkan rumah tersebut. Barulah ia sadar, selain ruang tamu, dapur, dan kamar mandi, semua ruangan lain dikunci rapat, termasuk kamar baru mereka. Dan Nadine tak mempunyai kuncinya. Nadine menggerak gerakkan bibir, ia memutuskan untuk berjalan ke arah telepon, lalu menelepon Angga.

Setelah bunyi tut tiga kali, akhirnya Angga menjawab panggilan tersebut.

"Hallo, aku Nadine."

Angga menyungginkan sebuah senyum, ia mengejek, "Kau ngapain dirumahku? Mau mencuri sesuatu ya?"

Nadine tidak memedulikan ejekan Angga ini, toh ia sudah terbiasa.

"Bukan, ini hari cutiku, aku memasakkanmu makan malam." Kata Nadine datar.

"Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan itu?" Suara Angga tiba-tiba berubah dingin.

"Hm." Nadine tersenyum. "Aku sendirilah yang ingin melakukannya."

Nadine langsung memutuskan sambungan telepon. Alisnya terangkat, matanya bersinar kesal. Tapi ia ingin meminta bantuan Angga, jadi ia harus bersabar sedikit.

Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu dibuka. Nadine melihat ke arah tersebut.

Angga berjalan masuk, matanya menatap Nadine lekat-lekat, sorot matanya bersinar jahat, ia tersenyum licik, "Kau kemari mau minta maaf ya, atau kau ingin memohon untuk tidak bercerai denganku?"

Nadine tak merasa berbuat salah.

"Angga, aku setuju untuk bercerai, tapi ada syaratnya." Nadine tak lagi berbasa basi.

Asalkan ia setuju untuk menemaninya menjenguk Irma sebulan sekali. Nadine rela melepas Angga, ya ia sudah yakin akan keputusannya ini.

Mata Angga bersinar tajam, lalu berubah marah. Ia menatap lekat lekat Nadine, "Kau tahu perempuan seperti apa yang paling aku gak suka?"

Nadine mengamatinya diam. Ia tahu, kata-kata yang akan dikeluarkannya nanti pasti tak enak didengar.

Angga mengamat amati Nadine tanpa bisa menyembunyikan rasa jijiknya, "Mengenakan celemek, memakai sandal jepit, penampilan acak-acakan seperti perempuan tua. Kau kira kau pantas denganku? Mau bercerai denganku saja kau mengajukan syarat, dasar tak tahu malu."

Nadine balik menatap Angga, "Bagaimana kalau aku mendeklarasikan ke publik bahwa kau mempunyai anak dari hasil hubungan gelapmu dengan perempuan lain. Pasti berita ini akan berpengaruh ke karirmu kan?"

"Anak itu bukan anakku. Tidak mungkin aku membiarkan spermaku masuk dalam tubuh wanita itu, kau terlalu banyak mengkhayal." Kata Angga yakin.

"Mana ada orang yang sering berjalan di tepi sungai tapi kakinya tak basah. Kalau aku bercerai denganmu, apa saja yang akan kau lakukan nantinya tak akan lagi jadi masalah bagiku. Aku hanya mau kau menemaniku menjenguk ibuku sebulan sekali." Kata Nadine.

Angga tersenyum mengejek, "Sebulan sekali, wah pintar juga kau. Kau terlihat mundur, tapi sebenarnya kau maju selangkah. Ini tak ada gunanya bagiku, jadi percuma saja kau meminta."

"Inilah syarat yang aku mau. Kalau kau sudah mengambil keputusan, teleponlah aku." Nadine malas untuk berdebat. Ia meraih tasnya di atas sofa, lalu berjalan keluar pintu.

Download APP, continue reading

Chapters

899