Bab 6 Melewati Satu Sesi

by Sisca 11:22,Nov 20,2021
Sebelum sadar kembali, lehernya dicekik oleh jari besi Pangeran Chu. Mata Windy Yuan membelalak dan melihat wajah Pangeran Chu yang gusar sampai hendak menyemburkan api. Udara disedot paksa dari rongga dadanya. Pandangannya menghitam dan dia hampir pingsan.

“Dia hanya anak yang berumur sepuluh tahun.” Suara Pangeran Chu yang menggertakkan gigi terdengar di telinganya, “Kamu bahkan bisa begitu kejam. Seret dia keluar dan beri hukuman tiga puluh tongkat!”

Sudah beberapa hari berturut-turut Windy Yuan tidak bisa tidur sehingga dia hampir tidak memiliki tenaga apa-apa. Setelah ditampar, saking lemahnya dia hampir tidak kuat berdiri. Begitu cekikan tangan Pangeran Chu dilepaskan, dia jatuh lemas di lantai. Dia menarik napas terengah-engah karena udara yang kembali mengalir masuk. Tetapi badannya tiba-tiba diseret keluar secara paksa.

Di tengah kelinglungan, dia hanya bisa melihat wajah tampan Pangeran Chu yang sedingin es, kebencian dalam matanya, serta bahan pakaian katun satin yang elegan…

Dia langsung diseret menuruni anak tangga semen. Kepalanya terasa sakit menusuk karena terbentur anak tangga semen yang keras dan tajam. Pandangannya menghitam dan akhirnya dia pingsan.

Dia tidak pingsan seberapa lama. Kesakitan yang dirasakan di badannya adalah kesakitan yang belum pernah dia alami selama seumur hidup ini. Satu demi satu tongkat dipukul ke pinggang dan pahanya. Setiap pukulan terasa sakit menusuk tulang. Dia merasa pinggang dan pahanya hampir putus.

Ada aroma darah di dalam mulutnya karena bibir dan lidah yang robek tergigit oleh dirinya. Pandangannya menghitam, tetapi dia tidak dapat pingsan lagi.

Rasa sakit membuat dia tetap sadar.

Setelah hukuman tiga puluh tongkat selesai, dia merasa seperti seumur hidup lamanya.

Windy Yuan sang jenius abad ke-22, panjang sekali barisan orang yang mengagumi dan menghormatinya. Di setiap acara yang dia hadiri, dia merupakan pusat dari pusat perhatian.

Betapa banyak pasien yang mengharapkan dan mendambakan dia untuk mengembangkan obat penyelamat hidup.

Namun, di tempat ini, sulit sekali baginya untuk menyelamatkan seorang anak laki-laki. Saking sulitnya bahkan hampir mengorbankan nyawanya sendiri.

Dia diseret kembali dan tidak ada orang yang menghiraukan hidup dan matinya. Paling bagus jika dia mati.

Dia dibuang di lantai batu marmer di Paviliun Phoenix dan kotak medisnya jatuh ke punggungnya dengan kuat.

Meski tidak dapat membalikkan badan dia juga tahu bahwa punggungnya sudah bonyok dan berlumuran darah. Dengan susah payah dia membalikkan tangan untuk menyeret kotak medis dan membukanya. Dia menelan satu butir pil dan menyuntikkan satu cairan suntik kepada dirinya sendiri, berharap dirinya dapat selamat.

Perlahan-lahan, dia pun pingsan.

Di pondok, setelah Ryan Ding sang Pangeran Chu menyuruh orang untuk memukuli Windy Yuan, emosinya tetap belum mereda. Lalu dia pergi setelah menghibur Bibi Qi beberapa kalimat.

Fajar Tang mengejarnya, “Pangeran, perlukah mengundang tabib untuk pergi menengok Nyonya?"

Dalam mata Ryan Ding memancarkan kebengisan. “Tidak perlu. Jika mati, laporkanlah kematiannya!”

“Lalu… bagaimana memberi penjelasan kepada Adipati Jing?” tanya Fajar Tang.

“Perlu memberi penjelasan bagaimana?” tanya Ryan Ding dengan suara dingin.

Fajar Tang paham. “Baik!”

Ryan Ding berjalan pergi dengan langkah besar.

Fajar Tang kembali ke pondok dan menyuruh Tania membelikan obat untuk Adi.

Begitu masuk ke pondok, Adi sudah tertidur.

Bibi Qi menyeka air mata sambil mengemasi kapas-kapas yang berdarah dan bernanah. Lalu dia berkata sambil terisak, “Baguslah bisa tidur. Dia terus tidak bisa tidur karena kesakitan.”

Fajar Tang tertegun setelah melihat mata Adi. “Sepertinya tidak begitu bengkak lagi.”

Bibi Qi bergegas mendongakkan kepala. Benar bahwa mata Adi yang bengkak sudah memudar sebagian, serta tidak terlihat adanya nanah dan darah.

Melihat barang-barang yang Bibi Qi kemas tadi, Fajar Tang mengambil tabung suntik. “Barang apa ini?”

“Tidak tahu, wanita itu melemparkannya di sini tadi,” ujar Bibi Qi.

Karena sangat membencinya, Bibi Qi menyebut Windy Yuan dengan wanita itu.

Fajar Tang tidak pernah melihat baarang seperti ini. “Dia tidak memberi racun lagi kan?”

“Apakah tabib sudah pergi?” tanya Bibi Qi dengan cemas.

“Sudah pergi setelah meninggalkan resep obat.” Fajar Tang melirik Adi. “Tenanglah, saya hanya sekedar menebak. Kelihatannya tidak diberi racun.”

Bibi Qi mengangkat matanya yang merah bengkak dan hatinya sedikit lega. Dia berkata kepada Fajar Tang, “Hamba ingin menjaganya, bisakah Tuan Tang membolehkan hamba…”

“Tidak perlu dikatakan. Kamu temanilah Adi,” ujar Fajar Tang.

“Terima kasih Tuan!”

Fajar Tang mendesah, “Kata Tabib, mungkin malam ini. Kamu jagalah dia.”

Bibi Qi meneteskan air mata lagi.

Download APP, continue reading

Chapters

50