Bab 7 Menyelamatkan Diri Sendiri

by Sisca 11:23,Nov 20,2021
Fajar Tang menyuruh Tania pergi membeli obat. Lalu dia pergi setelah menghibur Bibi Qi beberapa kalimat.

Bibi Qi terus berjaga di sana. Ketika hari mulai malam, dia mulai merasa takut.

Tania juga datang untuk menemaninya. Tidak ada yang berbicara, mereka menahan napas sambil menatap Adi, khawatir napasnya akan terhenti.

Tetapi Adi masih terlelap. Ketika mendekati tengah malam, barulah Adi bangun. Dia membuka sebelah mata dan menatap Bibi Qi. “Nenek, aku lapar.”

Bibi Qi melompat girang. Adi tidak kuat makan apa-apa sejak kondisi lukanya memburuk, bahkan susu kambing yang dia dapatkan dengan susah payah juga tidak sanggup diminum.

Bibi Qi meraba dahi Adi dan terasa tidak begitu panas lagi.

“Obat Tabib berkhasiat, berkhasiat!” ujar Bibi Qi dengan girang kepada Tania.

“Iya, obat Tabib berkhasiat!” Tania juga sangat senang.

Keesokan harinya, Tabib Li sekali lagi dipersilahkan ke Kediaman Pangeran Chu.

Tabib Li juga merasa sangat ajaib setelah mendengar bahwa anak itu belum mati. “Anak ini sungguh bernasib baik, awalnya pun sudah hampir meninggal.”

Bibi Qi berlutut dan mengetukkan kepala. “Tabib, berilah resep obat lagi, selamatkanlah cucu saya.”

Tabib Li termangu. Obat yang dia resepkan kemarin sama sekali tidak dapat menyembuhkan luka Adi, paling-paling juga hanya meredakan kesakitan, tidak memiliki khasiat besar terhadap kondisi luka.

Akan tetapi, mungkin itu adalah suatu kebetulan.

Setelah melakukan palpasi nadi, kondisi Adi memang sudah lebih baik daripada kemarin dan badannya juga tidak begitu menyengat lagi.

Maka Tabib Li memberikan resep obat lagi. “Suruh seorang dayang ikut saya pulang untuk mengambil obat. Obat ini dan obat bubuk untuk luka digunakan selama dua hari berturut-turut. Jika sudah membaik, datanglah lagi untuk membeli obat.”

“Terima kasih Tabib!”

“Siapa yang membayarkan biaya pengobatannya?” tanya Tabib Li.

Biaya pengobatan kemarin dibayarkan oleh Fajar Tang, tetapi biaya pengobatan hari ini perlu dibayarkan oleh Bibi Qi.

Melihat tangan Tabib Li yang terangkat, Bibi Qi mencoba bertanya, “Lima puluh koin perunggu?”

“Lima tael!” ujar Tabib Li dengan tidak senang.

Dia bukanlah tabib dermawan, tidak memberi resep obat yang seharga beberapa koin perunggu.

Mata Bibi Qi hampir jatuh keluar.

Lima tael perak? Itu adalah upah kerjanya selama setengah tahun.

Ini baru dua bungkus resep obat.

Tetapi nyawa cucunya tentu jauh lebih berharga daripada tael perak. Dengan terpaksa Bibi Qi mengeluarkan lima tael perak dan memberikannya kepada Tabib Li.

Tania menemani Tabib Li pergi mengambil obat. Ketika pulang dan mendapati Bibi Qi sedang meneteskan air mata, dia berkata menghiburnya, “Bibi jangan bersedih, Adi pasti akan membaik.”

Bibi Qi berkata dengan nada benci, “Mengapa ada orang yang begitu kejam? Teringat ketika aku mendobrak pintu ke dalam dan melihat dia memegangi pisau hendak menyayat mata Adi, ingin sekali aku membunuh dia. Jika terjadi sesuatu pada Adi, aku juga tidak ingin hidup lagi. Meski mengorbankan nyawa ini, aku juga akan membunuh dia.”

Tania berkata menghiburnya, “Jangan marah, tidak patut jika merusak badan sendiri. Pangeran sudah memberi perintah untuk jangan menghiraukan hidup dan matinya. Lukanya begitu berat, pasti tidak akan bertahan hidup. Tidak peduli bagaimana pun, aku juga tidak akan mengantarkan makanan untuk dia. Biarlah dia mati sakit atau mati kelaparan, setidaknya juga bisa melampiaskan emosi ini.”

Di Paviliun Phoenix.

Sudah entah berapa lama Windy Yuan pingsan. Ketika dia perlahan-lahan sadar kembali, di dalam kamar gelap gulita.

Dia sangat kecewa karena tidak mimpi kembali ke institut penelitian.

Dia merangkak ke sekitar meja dengan meraba-raba. Dia ingat ada air dan roti kukus di atas meja.

Dia butuh minum dan makan.

Tidak ada glukosa di dalam kotak medis sehingga dia tidak dapat menginfus dirinya sendiri.

Perjalanan beberapa langkah pun dia merangkak sekian lama barulah sampai. Dengan pelan dia berusaha untuk menopang diri, tetapi tidak sanggup berdiri. Dia jatuh berlutut, tetapi tangannya berhasil meraih sepotong roti kukus. Dengan merebah di lantai, dia melahapnya sedikit demi sedikit.

Dia tahu bahwa dirinya sedang demam. Dia tidak berani makan terlalu banyak agar tidak menambah beban untuk usus dan lambung.

Download APP, continue reading

Chapters

50