Bab 11 Purna-Kaisar Sakit Kronis

by Sisca 11:23,Nov 20,2021
Dia merasa tidak dapat membedakan kenyataan dan ilusi. Dengan tangan gemetar dia mendorong kotak medis ke bawah ranjang. Tetapi kotak medis langsung menghilang ketika didorong ke bawah ranjang.

Dia tidak berani bernapas selama tiga detik. Dia mengulurkan tangan meraba bawah ranjang, sungguh tidak ada apa-apa.

Perlahan-lahan dia merangkak kembali ke atas ranjang dengan gemetaran dan terengah-engah.

Hal yang terjadi akhir-akhir ini telah melampaui lingkup pengetahuannya. Pengetahuan profesional dan non-profesional yang dia miliki tidak dapat memberinya sebuah jawaban. Manusia memiliki rasa ketakutan terhadap hal yang tidak diketahui. Dia benar-benar merasa ketakutan.

Pintu dibanting terbuka. Sebelum Windy Yuan mengangkat kepala untuk melihat, dia sudah merasakan hawa dingin di sekitar. Kulit kepalanya terasa sakit, lalu dia diseret turun dari ranjang ke lantai.

“Apakah kamu berpura-pura mati? Entah kamu segera mati, entah bangun mengenakan pakaian dan ikut aku memasuki istana.” Terdengar suara dingin di atas kepala, lalu dia diseret turun dengan kasar. Punggungnya terhempas ke lantai sehingga sekujur tubuhnya gemetaran karena sakit. Sebelum sempat merintih, dagunya dicengkeram oleh tangan besi. Dagunya hampir hancur karena tenaga yang kuat itu.

Matanya yang kesakitan bertemu dengan mata Pangeran Chu yang emosi. Wajah Pangeran Chu dingin dan kejam, serta ada rasa jijik dan kebencian yang tak tertutupi. “Kuperingatkan kamu, janganlah bermain trik lagi. Jika kamu asal bicara lagi di depan Ibu Suri, akan aku habisi nyawamu.”

Kesakitan Windy Yuan berubah menjadi kemarahan. Apakah nyawa manusia begitu tidak berharga di mata mereka? Dia sudah terluka begitu parah pun masih tidak mengampuninya.

Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk menjambak rambut Pangeran Chu. Dengan lutut yang menopang badan, dengan kuat dia membenturkan kepalanya ke wajah Pangeran Chu. Aksi ini sungguh seperti perlawanan terakhir yang tak gentar mati.

Ryan Ding tidak menyangka Windy Yuan akan melawan, serta membenturkan kepala padanya. Karena tidak sempat menghindar, pandangannya menghitam dan dia merasa pusing sesaat karena terbentur.

Windy Yuan hampir pingsan, tetapi dia berjuang untuk mempertahankan kesadaran. Di saat Ryan Ding belum sadar kembali, dia berlutut di punggung tangan Ryan Ding dan darah di mulutnya menetes ke wajah Ryan Ding. Rambut panjangnya tergerai. Dia berkata seolah-olah sudah gila, “Membunuh pun hanya memenggal kepala. Perlukan kamu begitu keterlaluan?”

Sebuah tamparan mendarat di wajahnya.

Kepalanya terkibas ke samping dan pandangannya menghitam. Samar-samar dia mendengar Bibi Qi bergegas berjalan masuk. “Pangeran, mohonlah berbelas kasih!”

Pangeran tidak berbelas kasih dan menampar Windy Yuan lagi. Setelah marah, dia berkata dengan dingin melihat air darah di punggung Windy Yuan. “Bantu dia menangani luka dan mengganti pakaian. Balut lukanya dengan erat dan cekoki semangkuk sup emas agar bisa bertahan setengah hari.”

Melihat bot katun warna hitam dengan garis emas dari Ryan Ding yang semakin menjauh dari pandangannya, Windy Yuan menghela napas pelan.

Bibi Qi dan Tania maju memapahnya, tidak ada yang berbicara. Ketika memapah Windy Yuan merebah di ranjang dan menggunting pakaiannya, mereka terkejut.

Tania berkata dengan nada terisak, “Tiga puluh pukulan tongkat, mereka sungguh tidak berbelas kasih, memukul dengan sungguh-sungguh.”

“Cepat ambilkan air hangat dan obat bubuk, lalu rebus sup emas!” perintah Bibi Qi dengan wajah suram.

Sekujur tubuh Windy Yuan terasa sakit. Terutama ketika pakaian yang menempel dengan kulitnya digunting dan ditarik secara pelan, sekujur tubuhnya gemetaran. Tetapi dia tidak mengerang sama sekali. Seolah-olah ada api yang membara di tenggorokannya, dia tidak dapat menuturkan sepatah kata pun.

Dalam seluruh proses membersihkan luka, membersihkan air darah dan menaburkan obat bubuk, dia menahan semuanya tanpa bersuara. Seolah-olah bermimpi buruk, akan membaik setelah bangun.

Dia mendengar Tania bertanya, “Bibi, benarkah harus minum sup emas?”

“Minumlah. Jika tidak, takutnya nyawa pun akan hilang.” Bibi Qi mendesah.

“Tetapi sup emas ini…”

“Jangan cerewet, cepat papah Nyonya bangun.”

Windy Yuan dipapah bangun bagaikan gumpalan kapas. Ada cairan hangat yang dicekoki ke dalam mulutnya, sangat pahit. Dia hampir kehilangan kemampuan untuk menelan.

“Minumlah, Nyonya. Akan membaik setelah diminum,” ujar Bibi Qi dengan pelan di telinganya.

Karena keinginan untuk terbebas dari penderitaan ini, Windy Yuan memaksakan diri meneguknya.

Download APP, continue reading

Chapters

50