Bab 8 Suaranya Familiar

by Chasandra Florence 10:31,Mar 04,2022
Apa yang Brenda katakan tadi hanyalah sebuah alasan.

Pada saat yang sama, Brenda juga ingin memberitahu pria di depannya jika dia adalah wanita yang sudah menikah.

Hanya saja Brenda tidak menduga jika identitasnya sebagai wanita yang sudah menikah sepertinya sama sekali tidak penting bagi Tuan-tuan di depannya. Mereka menginginkan wanita, baik sudah menikah ataupun belum menikah. Jika mereka sudah menginginkannya, mereka akan mendapatkan apa yang mereka mau.

Brenda benar-benar meremehkan orang-orang itu.

Dylan tersenyum puas, dia yakin suami yang disebut oleh Brenda tidak akan muncul karena pada kenyataannya memang tidak ada sama sekali.

Dan beberapa pria yang hadir tampak seperti sedang menonton pertunjukkan yang sangat bagus saat melihat kedua wanita itu, terutama wanita yang bernama Brenda. Dia tampak seperti wanita yang sangat keras kepala. Mata indahnya tampak penuh amarah.

Ck ck wanita kecil ini. Penampilannya yang menyedihkan semakin membuat para pria ingin bermain dengannya.

Apakah wanita itu tidak tahu betapa cantiknya dia hingga membuat pria sangat terpesona?

Edric menatap Dylan dengan senyumnya yang ambigu. Matanya memancarkan sesuatu yang hanya diketahui oleh pria.

Rara melihat situasi ini. Meskipun dia juga merasa takut, namun dia tidak akan membiarkan mereka berdua dipermalukan oleh pria-pria yang berada di depan mereka malam ini.

Rara mencoba memberanikan dirinya dan berkata, “Tuan Alaric, aku adalah seorang pengacara dari firma hukum Rodrigo Aldebaran.”

“Firma hukum Rodrigo?”

“Ya.”

“Oh…lalu kenapa? Apa masalahnya? Firma hukum Rodrigo belum memenuhi syarat, jadi biarkan aku menjual wajahnya.”

“...”

Wajah Rara seketika menjadi pucat.

Bukankah mereka saat ini benar-benar sedang dipaksa untuk tinggal malam ini?

“Duduklah dan minum, sesederhana itu.”

Dylan tertawa kecil dan menepuk sofa di sampingnya. Beberapa orang terlihat tersenyum mengejek.

Tepat saat Brenda merasa sangat malu dengan pria-pria di depan mereka, suara pria yang dihalangi wanita itu tiba-tiba terdengar.

Suaranya terdengar sangat dingin dan penuh emosi.

“Keluar dari sini.”

Para pria yang duduk di kursi semuanya tercengang, sementara Brenda dan Rara yang mendapat kesempatan seperti itu segera berbalik dan pergi. Tidak ada yang bisa mengganggu mereka lagi.

Setelah Brenda dan Rara keluar, Austin dengan jijik mendorong Bianca menjauh. Bianca merasa sangat bingung. Padahal barusan Austin memeluknya dengan sangat erat, kenapa sekarang dia terlihat jijik padanya?

Setelah itu mata dingin Austin menyapu semua orang yang berada di meja.

“Asik?”

Dylan buru-buru tersenyum dan berkata, “Kalau kakak ketiga bilang membosankan, maka itu membosankan.”

Kemudian Edric juga buru-buru mengusir Bianca. Suasana ruangan itu seketika menjadi sangat hening dan canggung. Mereka sangat gelisah hingga tidak berani bernafas saat melihat wajah dingin dan tegas Austin.

Mereka sama sekali tidak menyadari jika penampilan mereka saat ini sama seperti saat Brenda menghadapi mereka barusan.

Austin tidak mengatakan apa-apa, dia hanya bangkit dan meninggalkan ruangan itu. Beberapa orang yang tersisa saling memandang, sementara Dylan buru-buru mengikuti Austin.

Austin masuk ke dalam mobil, Dylan berdiri di luar pintu, membungkuk dan nelihat kakak ketiga dari luar.

“Kakak ketiga, apa yang terjadi malam ini adalah kesalahanku. Aku hanya mau memberimu sambutan, tapi aku tidak menyangka itu tidak membuatmu senang.”

Austin mengangkat mata gelapnya dan bibir tipisnya terbuka sedikit, “Dylan, sekarang aku enggak tertarik dengan wanita dan juga jangan cari masalah sama 2 wanita tadi.”

“Baik saudara ketiga, aku pasti enggak akan melakukannya.”

Setelah mobil Austin pergi, Dylan masih berdiri di sana dan tenggelam dalam pikirannya. Jari-jarinya membelai dagunya.



Brenda dan Rara masih merasa syok meskipun mereka sudah berada di dalam mobil.

“Mereka enggak akan mencarimu kan? Aku pasti baik-baik saja setelah pulang ke kampung halamanku, tapi kalau mereka pergi ke firma hukummu buat cari kamu, pasti bakal bikin repot. Apa yang harus kita lakukan?”

Kemudian Rara menggelengkan kepalanya, “Kayaknya ngakpapa. Jangan khawatir. Orang yang barusan bicara tadi keliatan sangat marah, jadi kayaknya mereka enggak punya waktu buat ingat sama kita.”

Saat Rara mengatakan itu, Brenda tampak seperti memikirkan sesuatu.

Brenda hanya diam dan sedikit mengerutkan kening.

“Kenapa?”

Brenda menggelengkan kepalanya, “Enggak, aku cuman ngerasa kalau pria yang bicara terakhir punya suara yang agak familiar.”

“Familiar? Siapa? Kamu kenal dia?”

“Enggak, kayaknya itu cuman ilusiku aja. Lagian gimana mungkin aku kenal pria kayak gitu?”

“Ya, sekelompok pria mesum berkuasa.”

Rara terus mengutuki pria-pria yang mereka temui barusan. Karena takut temannya akan khawatir, jadi Brenda banyak mengeluarkan candaan dan mengubah topik pembicaraan.

Setelah kembali ke apartemen Rara, Brenda mendapat panggilan dari Austin.

Brenda merasa sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Austin akan memiliki inisiatif untuk meneleponnya.

Melihat tatapan ambigu Rara, Brenda berjalan ke balkon untuk menjawab telepon.

“Halo.”

Suara Austin masih terdengar rendah dan acuh tak acuh. Brenda tidak dapat mendengar emosi apapun. Seperti yang biasanya dia rasakan, dingin dan acuh tak acuh.

“Kamu jadi pulang besok?”

Brenda menjawab, “Ya, aku udah pesan tiket buat besok pagi dan bakal sampai di rumah sebelum siang hari.”

“Oke, hati-hati di jalan.”

“Oke.”

Kemudian saat hening, Brenda tidak tahu harus berkata apa. Austin hanya diam tapi dia tidak mengakhiri panggilan.

Brenda merasa sangat tidak nyaman dengan keheningan itu jadi dia berkata.

“Aku tadi keluar makan malam sama temanku. Kalau kamu gimana? Kamu makan malam sendiri di luar? Atau masak sendiri?”

Brenda tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan oleh suami dan istri di telepon. Jadi lebih baik dia mengatakan apa saja daripada langsung menutup telepon.

Mereka berdua adalah pasangan, jadi harus memiliki inisiatif untuk membuat hubungan mereka menjadi hangat. Jadi Brenda hanya bisa mengambil inisiatif itu.

Kemudian Austin berkata, “Makan di laur.”

“Oh…makan apa?”

“...masakan rumahan”

“Lumayan enak. Aku juga makan beberapa hidangan di restoran mahal dan rasanya sangat enak. Kalau punya kesempatan buat datang ke Dracania di masa depan, ayo kita makan bareng.”

“Baik.”

Brenda hanya mengatakan beberapa hal lagi tanpa menyebutkan tentang masalah yang menimpa dirinya malam ini.

Setelah menutup telepon, Brenda berbalik dan tiba-tiba teringat jika saat berada di restoran tadi, suara pria itu sangat mirip dengan suara Austin.

Download APP, continue reading

Chapters

220