Bab 3 Hampir Mati

by Prilly Latuconsina 09:49,Jun 17,2022
Saat Zea sadar kembali, dia berada sendirian di bangsal.

Ponselnya mati, Zea tidak tahu berapa lama dia tertidur, tapi saat melihat ke luar jendela, langit masih gelap.

Zea bangkit dan memakai sepatunya, kemudian mengambil tasnya dan berjalan keluar, saat melewati bangsal Naura, di depan pintu, dia tidak bisa mengendalikan kakinya dan berhenti.

Orang yang berada di dalam bangsal itu adalah Naura dan ditemani oleh suaminya sendiri, Aron.

Naura memiliki wajah yang cantik dan lembut, bahkan pakaian rumah sakit bergaris biru dan putih yang dikenakan olehnya tidak bisa menutupi temperamennya yang lembut dan elegan, kulitnya sangat putih dan mata almondnya bersinar dengan cerah.

Zea merasa sangat cemburu melihat cara Aron memperlakukan wanita itu, benar-benar berbanding terbalik dengan cara pria itu memperlakukannya, semakin lama melihatnya, hatinya terasa semakin sakit.

Orang-orang yang tidak mengenal Aron pasti akan mengira jika pria itu dilahirkan dengan sifat sedingin es, namun Zea tahu betul jika pria itu sebenarnya hanya memberikan semua kelembutan dan kehangatannya kepada Naura, tidak bisa membaginya sedikit pun untuk orang lain.

Tentu saja pria itu sebenarnya baik kepadanya dulu, namun sekarang, tidak ada sedikit pun kebaikan yang tersisa untuknya.

Kedua orang yang berada di dalam bangsal tersebut akhirnya menyadari jika ada yang mengintip mereka. Naura melihatnya dengan gemetar dan bersembunyi di belakang Aron.

Penampilan ketakutan wanita itu seolah seperti melihat penjahat keji.

Aron menepuk bahu Naura dengan lembut, saat pria itu melihat Zea berdiri di depan pintu bangsal, perasaan kesal muncul di hatinya.

Kejengkelan itu berubah menjadi rasa jijik dan naik tak terkendali ke wajahnya, “Untuk apa kamu berdiri di sana? Berpura-pura menjadi hantu?”

Zea berdiri di ambang pintu dan memandang 2 orang di dalam bangsal yang menempel seperti lem, untuk sementara, itu terasa menyakitkan, dia tidak ingin melihatnya, tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melihatnya, karena itu adalah perlakuan Aron yang belum pernah dia lihat sebelumnya, Aron yang selalu dia dambakan.

Setelah melihatnya lebih lama, mata Zea menjadi kabur, sangat kabur dan hatinya seperti mati rasa.

Aron melindungi Naura di belakangnya, matanya menyapu Zea dan melihat wajahnya yang pucat, emosi yang rumit tiba-tiba muncul di dalam hatinya, dia mengerutkan alisnya bersamaan dengan munculnya emosi tersebut.

“Karena kamu sudah bangun, pulanglah!”

Zea ragu-ragu sejenak, kemudian bertanya dengan suara serak, “Apakah kamu akan kembali malam ini?”

Melihat ketajaman dan kedinginan di mata Aron, Zea tahu jika seharusnya dia tidak perlu repot-repot bertanya, dia tidak tahu hal keji apa yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun hingga membuat pria itu selalu memberinya tatapan seperti itu.

Meskipun memang dirinyalah yang menjadi penghalang Aron untuk bersama dengan Naura, tapi selama 4 tahun pernikahan mereka, dia selalu melayani pria itu seperti pengasuh.

Meskipun mereka tidak mungkin mencapai keluarga yang harmonis dan pernikahan yang bahagia, Zea tidak pernah menghitung perselingkuhan pria itu dengan Naura selama bertahun-tahun.

Sebelumnya Aron akan datang kepada Naura secara diam-diam, tapi setelah keluarga Bonita mengalami banyak kemunduran dan perlahan tersingkir dari keluarga kaya, dia tidak lagi menjadi ancaman bagi pria itu.

Zea memang tidak pernah menghitung perselingkuhan Aron dengan Naura, tapi untuk tidak memikirkannya, bagamana ini mungkin?

Bagi Aron, Zea tidak berarti apa-apa, dia mengidap kanker lambung dan hampir mati, namun tetap harus membantu orang lain untuk melanjutkan hidupnya sedangkan hidupnya sendiri hampir berakhir, tapi siapa yang akan berpikir untuk membantunya melanjutkan kehidupan?

Hati Zea tiba-tiba terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum, rasa sakitnya menyebar dari seluruh pembuluh darahnya ke seluruh tubuhnya, bahkan ujung jarinya gemetar karena kesakitan.

Zea tidak membantah perintah Aron, setelah bertahun-tahun, dia sudah terbiasa dengan hal itu, dari awal yang menyenangkan hingga seperti pengikatan diri.

Saat Zea berbalik, dia mendengar suara Naura datang dari dalam.

“Apakah dia tidak apa-apa setelah kehilangan begitu banyak darah? Wajahnya terlihat sangat buruk.”

“Tidak apa-apa, dia selalu dalam keadaan sehat.”

Seperti itulah pria yang dicintainya, bahkan saingan cintanya pun bisa melihat jika wajahnya tidak baik, tapi pria itu tidak.

Aron bukanlah orang yang bodoh, dia bisa melihat masalah di perusahaan secara cepat dan dapat segera mengetahui apa yang terjadi pada Naura, tapi pria itu sama sekali tidak memiliki perhatian atau kepedulian terhadap dirinya sendiri yang telah mengenalnya selama 6 tahun.

Zea menarik napas dalam-dalam dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang, hujan di luar semakin deras.

Zea perlahan berjalan pulang dengan kepala tertunduk, dia tidak membawa payung di tasnya, jadi dia membiarkan tubuhnya basah kuyub terkena air hujan begitu saja, hawa dingin menembus sampai ke tulangnya, bulu matanya juga terkena tetesan air hujan.

Zea merasa sangat kedinginan hingga kepala dan matanya terasa beku, perutnya juga sangat dingin sehingga terasa sakit, dia mengulurkan tangannya untuk menutupi perutnya, tapi malah tidak sengaja menjatuhkan cincin di jari manisnya.

Cincin tersebut sudah dia gunakan selama 4 tahun, kilau aslinya telah hilang digantikan dengan warna hitam, Zea ingat jika saat mereka menandatangani kontrak pernikahan, dia berkata dengan santai, “Karena kita sudah menikah, kita harus memiliki cincin kawin.”

Saat Aron mendengar itu, dia membeli satu cincin di sebuah toko perhiasan pinggir jalan seharga 1 juta dan melemparkan ke arahnya.

Lalu pria itu berkata dengan sinis, “Ambilah, kamu hanya layak menerima nilai itu.”

Zea hanya tersenyum saat itu, hanya sangat disayangkan, cincin itu berukuran terlalu kecil, dia memasukkan cincin itu ke jarinya secara paksa dan terus memakainya meskipun jari manisnya merah dan berdarah.

Dengan keras kepala, Zea berpikir jika cincin itu akan pas setelah memakainya untuk waktu yang lama, tapi dia tidak menduga cincin itu akan terlepas dari jarinya pada akhirnya.

Sama seperti hubungannya dengan Aron.

Zea meringkuk di tengah hujan lebat, perutnya terasa seperti diremas-remas, dia buru-buru menutup mulutnya dan munta 2 kali, matanya memerahn karena kesakitan dan air mata mengalir tidak tak terkendali.

Saat ini masih hujan dan pejalan kaki mengangkat payung satu demi satu, sementara di sisi lain Zea berjongkok di jalan, mengambil cincin itu dan meletakkannya di dadanya, dia menunggu sampai perutnya terasa jauh lebih nyaman sebelum berdiri lagi.

Tanpa sengaja, Zea menabrak seseorang dalam keadaan linglung, dia kembali ke akal sehatnya dan menundukkan kepalanya dengan panik untuk meminta maaf, pihak lain adalah seorang ibu dan anak muda, “Tidak apa-apa.”

Anak itu mengangkat kepalanya dan menatap mata merah Zea, kemudian bertanya dengan suara rendah, “Kakak apakah kamu menangis?”.

Ibu tersebut menepuk kepala anak itu dan melirik Zea dengan permintaan maaf, kemudian menyeret anak itu untuk pergi.

Saat ibu dan anak itu membelakanginya, Zea mendengar anak itu bertanya kepada ibunya, “Kenapa kakak itu menangis? Apakah karena takut?”

“Kenapa dia harus takut…”

Suara rintik hujan terdengar lebih keras, Zea tidak bisa mendengar percakapan ibu dan anak tu selanjutnya.

Zea dengan lembut memegang perutnya, kemudian mengangkat kepalanya dan menahan air matanya. Dia takut? Bagaimana mungkin dia tidak takut? Dia takut pergi ke rumah sakit sendirian untuk menjalani gastroskopi, takut dipanggil ke ruang dokter dan diberi hasil pemeriksaan, tapi apa paling dia takutkan dari semuanya adalah mati sendirian tanpa ada orang di sekitarnya yang peduli.

Download APP, continue reading

Chapters

525