Bab 8 Aron Mencekik Zea

by Prilly Latuconsina 09:51,Jun 17,2022
Zea menunggu hampir setengah jam, tapi Aron tidak juga membalas pesannya, sepertinya pria itu sudah tidur dengan Naura.

Darah di tangan Zea telah mengering, rasanya tidak nyaman, jadi dia menopang tubuhnya yang lemah dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci darahnya yang mengering itu, air di kamar mandi sedingin es.

Setelah kembali ke kamar, Zea mengambil secangkir air hangat dan meminum obat pereda nyeri dan anti kanker. Obat penghilang rasa sakit yang diberikan oleh Naufal memiliki kadar anastesi yang tinggi, jadi obat itu hanya akan diminum saat rasa sakitnya tak tertahankan, jika ketergantungan, obat tersebut bisa merusak sarafnya.

Setelah minum obat, Zea menuangkan semua obat dan memindahkannya ke dalam botol biasa, kemudian melemparkannya ke dalam laci.

Zea tidak menyangka jika pada akhirnya dia akan melepaskan pria yang telah telah disukainya selama 16 tahun, telah bersamanya selama 6 tahun dan telah menikah bersamanya selama 4 tahun …

Keesokan paginya setelah Zea bangun, dia langsung menelepon pengacaranya dan memintanya untuk membuat perjanjian perceraian.

Pengacara Saputra terkejut saat mendengar jika Zea akan bercerai, meskipun memiliki keraguan di hatinya, namun dia tidak banyak bertannya, hanya bertanya tentang isi dari perjanjian perceraian yang normal, seperti pembagian properti.

Peraturan terperinci seperti itu sebaiknya dibuat sendiri dan lebih baik melakukannya secara tatap muka, Zea ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk betanya, “Pengacara Saputra, apakah kamu punya waktu luang hari ini?”

Pengacara Saputra menjawab, “Ya.”

Zea berkata lagi, “Baik, kalau gitu bisakah kamu datang ke tempatku? Mari kita membahasnya secara detail.

“Oke, aku akan berkemas sebentar lalu pergi ke tempatmu.”

Pengacara Saputra adalah direktur hukum Zea, jadi dia secara alami mempercayainya. Selain mengenai perjanjian cerai, Zea juga harus menjelaskan keinginannya pada pria itu.

Zea mengirim alamat kepada pengacara Saputra, kemudian duduk di depan meja rias. Meskipun Zea tidak akan pergi kemana-mana, tapi dia sudah terbiasa merias wajahnya, itu juga bisa membuat wajahnya yang sakit tampak sedikit lebih energik.

Melihat dirinya sendiri yang cerah di depan cermin, Zea tersenyum, setelah hari ini, dia masih memiliki hari esok.

Khawatir pengacara Saputra belum sarapan, Zea membuat 2 sarapan, bel pintu berdering tepat pukul setengah 9 pagi.

Zea melepas celemek yang dikenakannya dan menggantungnya di dinding, kemudian dia membuka pintu dan meluhat pengacara Saputra di luar.

“Nona Bonita.”

“Masuklah, kamu sudah sarapan belum?” Tanya Zea.

Pengacara Saputra mengikuti Zea masuk dan menjawab, “Sudah.”

Saat Zea mendengar jika pengacara Saputra sudah makan, dia terlalu malu untuk sarapan sendiri, jadi dia dengan tergesa-gesa hanya minum segelas susu dan menuangkan secangkir teh ke ruang tamu.

Pengacara Saputra duduk dengan tegas, kemudian mengeluarkan laptopnya. Saat dia mendengar jika Zea akan mentransfer sebagian besar saham perusahaan Bonita kepada Aron, dia menatap wanita di depannya dengan heran, tangannya di keyboard berhenti.

“Nona Bonita, kamu harus memikirkan hal ini dengan hati-hati, properti pranikah dari perusahaan Bonita adalah milikmu, suamimu tidak berhak menikmatinya.” Pengacara Saputra sering melihat banyak pasangan yang telah bercerai berkelahi satu sama lain untuk pembagian properti, ini adalah pertama kalinya dia melihat seseorang dengan santainya menyerahkan properti pranikahnya.

Selain itu, ini melibatkan perusahaan senilai ratusan milyar, belum lagi apakah para pemegang saham dari perusahaan Bonita setuju atau tidak, ayahnya sendiri sama sekali tidak memiliki bagian perusahaan Bonita, jadi pengacara Saputra khawatir jika ayah Zea tahu kalau wanita tu akan membagi perusahaan setelah bercerai, keadaan menjadi berantakan.

“Aku tahu, itu sebabnya aku perlu berdiskusi denganmu tetang wasiatku …” Sebelum Zea menyelesaikan ucapannya, bel pintu tiba-tiba berbunyi, jadi dia bangkit untuk membuka pintu.

“Tunggu sebentar, aku membuka pintu dulu.”

Begitu pintu terbka, sosok hitam tiba-tiba muncul di depan matanya, kemudian Zea tanpa sadar mundur selangkah.

Zea menatap Aron, kemudian bertanya, “Kenapa kamu pulang?”

“Bukankah kamu menyuruhku untuk pulang?” Mata gelap Aron sedikit berubah menjadi merah saat ini.

Aron memegang kenop pintu dan mendorongnya hingga terbuka, lalu dia masuk ke rumah, “Apa maksud pesan teks yang kamu kirimkan padaku tadi malam?”

Zea tertegun sejenak, lalu mencibir. Ternyata karena perceraian, pria yang tadi malam menghinanya dan tidak mau kembali, saat ini langsung kembali begitu melihat kata perceraian, betapa tidak sabarnya.”

Melihat senyuman Zea yang tidak bisa dia pahami, Aron mengerutkan kening dan menyapu sekeliling, lalu dia secara tidak sengaja melihat sepasang sepatu kulit pria di sebelah rak sepatu, sebuah bayangan melintas di matanya yang dalam.

Aron awalnya sudah dalam suasana hati yang buruk, ditambah dengan pemandangannya saat ini, dia sangat ingin memukul seseorang. Dia selalu memiliki temperamen yang buruk.

Pada saat ini, Aron langsung meraih pergelangan tangan Zea, matanya beralih dari sepatu pria di bawah ke wanita di depannya, melihat Zea menggunakan riasan di wajahnya, senyum di sudut mulutnya menjadi semakin suram, “Kenapa kamu tiba-tiba menceraikanku? Apakah kamu sudah memiliki cinta yang baru? Kenapa? Aku tidak cukup memuaskanmu?”

Tubuh Zea menegang, dia mengerutkan kening dan berkata, “Aron, omong kosong apa yang kamu ucapkan?”

“Kamu menyuruhku kembali besok karena kamu memasukkan pria liar di rumah hari ini kan?” Aron menyeret Zea ke ruang tamu dengan kekuatan yang begitu besar, seolah ingin menghancurkan pergelangan tangannya. Kemudian Aron melemparkan Zea ke sofa dan menekan tubuhnya ke bawah, lalu mencekiknya.

“Aku tidak …” Zea tidak tahu apa yang terjadi sampai Aron menatapnya dengan mata yang begitu dalam dan dingin, tatapan Aron membuatnya merasa sedikit tidak nyaman dan bingung, anggota tubuh Zea menegang karena ketakutan, dia merasa seolah udara di dadanya seperti dikosongkan, hingga dia terengah-engah dengan mulut terbuka.

Selama hidupnya, Aron paling benci dikhianati, bahkan jika wanta itu bukan wanita yang dia cintai, namun dia tidak akan mentolerir orang lain untuk menyentuhnya.

Memikirkan jika Zea diam-diam menyembunyikan seorang pria di rumah, kemarahan Aron memuncak, dia tidak sabar untuk membunuhnya.

Leher Zea sakit, dadanya sesak, ujung jarinya gemetar, naluri untuk bertahan hidup membuatnya mengangkat tangannya dan menggenggam pergelangan tangan Aron. Tapi bagaimana kekuatannya yang kecil bisa melawan kekuatan pria itu?

Mata Zea menjadi hitam, tepat saat dia mengira akan mati lemas, pengacara Saputra yang mendengar keributan bergegas keluar dan memegang bahu Aron.

“Tuan Bramasta, apa yang kamu lakukan?”

Aron mengalihkan pandangannya, “Apakah kamu pria yang disembunyikan oleh jalang ini?”

Saat pengacara Saputra mendengarnya, dia tahu jika Aron salah paham, dia segera menjelaskan, “Tidak, jangan berpikir terlalu jauh, aku di sini hanya untuk membuat perjanjian perceraian antara kamu dan Nona Bonita.” Khawatir Aron tidak mempercayainya, dia dengan pengacara Saputra segera mengeluarkan kartu nama dan menunjukkan pada pria di depannya.

Setelah melihatnya, Aron mengendurkan tantgannya, Zea meringkuk di sofa dengan terengah-engah dan gemetar.

Pengacara Saputra merasa lega setelah Aron melepaskan Zea, kemudian dia dengan berani bertanya, “Tuan Bramasta, kenapa kita tidak membicarakan pembagian harta cerai denan Nona Bonita terlebih dulu?”

Begitu mendengar kata “cerai”, napas Aron menjadi dingin lagi, emosinya begitu tidak bisa dijelaskan sehingga dia bahkan tidak tahu kenapa dia marah.

Pengacara Saputra merasa kakinya sedikit lemah saat pria di depannya menatapnya dengan tatapan mematikan, dia tidak tahu harus tinggal atau pergi, jadi dia hanya bisa berdiri di tempat tanpa berani melihat sekeliling.

Sampai Aron membuka bibirnya dan menyuruhnya untuk pergi, pada saat itulah dia baru berbalik dan pergi dengan cepat, meninggalkan laptopnya di ruang tamu.

Kondisi tubuh Zea tidak sebagus sebelumnya, tanda merah tertinggal di lehernya yang seputih salju setelah dicekik oleh Aron, untuk waktu yang lama, Zea merasa kesulitan untuk bernafas.

Kemudian Zea menyadari jika dia seperti ini karena penyakitnya, sebelumnya dia juga sering dicekik oleh Aron, namun tidak membutuhkan waktu pemulihan selama ini.

“Aron, apakah kamu baru saja ingin membunuhku?

Download APP, continue reading

Chapters

525