Bab 1 Prahara Kelahiran Putra Mahkota

by Meyyis 14:42,Jan 04,2021
Seorang permaisuri hampir tergeletak sambil memegang perutnya yang membesar. Para pelayan mengangkat tubuhnya, diletakkan di kamar tidurnya dengan hati-hati. Wanita berusia dua puluhan itu meringis kesakitan. Dia mengerang dan memegang perutnya yang terasa mulas. Wanita cantik dengan kebaya berwarna kuning keemasan dengan sanggul mengitari rambutnya itu meringis karena merasakan mulas pada perutnya yang buncit.

“Mbok Minten, tolong panggil tabib istana perempuan. Sepertinya, Ndoro kanjeng permaisuri mau melahirkan,” perintah Sulastri ketua pelayan ratu kepada Suminten yang statusnya lebih rendah di bawah dia. Suminten setengah hati melakukannya. Wanita itu tidak rela disuruh-suruh. Dia ingin menjadi kepala pelayan yang melayani ratu.

“Mbok, rasanya sakit sekali,” keluh permaisuri Utari. Keringat sudah membanjiri keningnya, dan mengalir sampai ke anakan rambutnya. Dia sampai menggenggam erat tangan mbok Lastri panggilan akrab sang pelayan tersebut, karena merasakan tegangan hebat pada perutnya yang konteraksi.

“Ndoro, sabar ya?” Mbok lastri terus saja mengelus-elus perut permaisuri Utari Gayatri Dewanggi wanita itu sudah sedikit meringis karena tidak dapat menahan rasa sakitnya.

“Mbok Minten tolong siapkan air hangat, Mbok Jumirah handuk bersih dan pakaian bersih. Semuanya tolong bersiap. Kamu, tolong bilang penjaga untuk memberi tahu baginda bahwa ndoro putri sudah mau melahirkan,” titah Sulastri sang kepala pelayan diiyakan oleh seluruh anggotanya.

Tabib perempuan datang dengan peralatannya. Mereka menutup semua pintu agar tak seorang pun masuk karena ada prosesi melahirkan. Hanya kepala pelayan dan raja saja yang boleh melihat.

“Bukakan pintu!” titah raja pada penjaga. Setelah raja masuk, semua mempersiapkan melakukan prosesi melahirkan.

“Kanda, ini sakit sekali,” keluh permaisuri Utari.

“Dinda, sabarkan hatimu. Seandinya sakit itu bisa dialihkan dalam tubuhku. Tidak kubiarkan kau menanggungnya sendiri.” Baginda raja sangat gulana melihat sang permaisuri di rundung nestapa karena sakit akan melahirkan.

“Baginda, Ampun. Mohon untuk kuatkan permaisuri. Proses ini akan sedikit sakit. Jadi, tolong baginda memberikan semangat permaisuri.” Sang tabib yang bernama Ardhani itu, menangkupkan kedua tangannya kemudian memposisikan permaisuri supaya kedua kakinya menekuk dengan tubuh setengah duduk. Posisi ini adalah posisi paling sempurna untuk melahirkan. Dengan kaki mengangkang, sehingga bayi yang akan keluar, tidak terhambat oleh tulang panggul ibunya.

“Ampun permaisuri. Tolong dibuka kakinya. Tarik nafasnya sekarang ... bagus seperti itu,” tabib Ardhani mengarahkan.

“Hufff ... hufff ... aghhh,” pekik permaisuri.

“Dinda, bertahanlah.” Baginda Raja Wijaya mengelap peluh di dahi istrinya menggunakan slimpe (sapu tangan) yang selalu dibawa di sakunya.

“Bagus, Permaisuri. Dorong terus. Sudah mulai terlihat kepalanya,” cicit tabib Ardhina.

“Masih lamakah? Saya tidak tega melihatnya.” Raut sedih terpancar di wajah baginda dengan peluh yang sama banyaknya.

“Ampun, Baginda. Sepertinya sebentar lagi. Ayo permaisuri. Dorong terus.” Permaisuri memekik sekali lagi, kemudian keluarlah seorang bayi laki-laki yang berlumur darah dan air ketuban. Di pusarnya masih melilit ari-ari berwarna kemerahan setengah ungu.

“Selamat permaisuri. Bayi anda laki-laki.” Akan tetapi, permaisuri mengeluh lagi. Terlihat kepala lagi menjembul dari jalan lahir. Bayi yang tadinya di pegang tabib tersebut, di berikan pada mbok Lastri selaku kepala pelayan yang ada di situ selain raja dan juga tabib. Tabib memberikan instruksi lagi agar permaisuri mengejan kembali. Permaisuri mengejan untuk yang terakhir kalinya. Dan tangis pecah. Kali ini, bayinya seorang perempuan. Mereka semua tercengang.

“Selamat baginda dan permaisuri. Bayi kalian kembar ternyata. Akan tetapi, bayi yang lahir kedua adalah perempuan. Saya khawatir, menurut kitab primbon nagari. Bayi perempuan kembar yang lahir kedua harus diasingkan atau bahkan dibunuh,” sesal tabib.

“Tabib, tapi ini laki-laki dan perempuan. Bagaimana bisa dikatakan bayi perempuan?” elak Baginda Raja Wijaya.

“Maafkan hamba, ampuni hamba baginda. Kemalangan akan terjadi berturut-turut jika tuan putri tidak dilenyapkan. Sebuah aib memiliki anak kembar perempuan. Dewan petisi juga tidak akan membiarkan. Saran saya, bawa pergi cepat tuan putri sesaat setelah saya bersihkan. Jika tidak, mungkin saja gusti Ayu Galuh Candrawati juga tidak akan membiarkan ini.” Wanita paruh baya itu menangkupkan tangannya, seraya berlutut.

“Kanda, apa yang terjadi?” tanya permaisuri Utari.

“Diajeng Dinda Utari kekasihku. Ini sungguh pilihan yang sangat sulit. Bagiakan makan buah simalakama. Sayapku hampir patah karenanya. Kita harus merelakan salah satu putra kita untuk diasingkan, wahai permaisuriku,” bujuk baginda raja Wijaya.

“Kanda wahai baginda junjunganku. Sampai hati kanda tega buang salah satu putra kita? Di mana nurani kita kanda?” tangis permaisuri pecah. Bagaikan runtuh dunia ini. Putra yang sudah berbagi makanan setiap waktu harus lepas hanya gara-gara kungkungan adat dan primbon. Dia tergugu.

Tidak lama kemudian, datanglah tabib Ardhina dengan membopong bayi laki-laki dengan selimut sutra berwarna merah, sedangkan bayi perempuan mengenakan selimut warna merah jambu. Permaisuri masih dalam tangisnya mengulurkan tangannya seraya ingin menggendong putra-putrinya. Tabib memberikan bayi laki-laki tersebut di sebelah kanan permaisuri. Sedangkan mbok emban Sulastri memberikan disebelah kanan.

“Anakku, sungguh malang nasib kalian harus berpisah. Maafkan ibundamu ini yang lemah. Seandainya bunda bisa memilih, ibunda ingin terus bersama kalian,” tangis permaisuri Utari. Rasanya, kemewahan yang diterima sebagai permaisuri tak berharga lagi. Dia mulai merasa benci menjadi permaisuri kedaton. Dia ingin menjadi rakyat jelata saja, yang tidak terkungkung oleh tradisi yang memuakkan. Dia terus saja menciumi keduanya.

“Adinda kekasihku. Sebelum terlambat, biarkan ananda putri kita dibawa pergi oleh Sulastri. Sebentar lagi, pasti para punggawa akan datang termasuk perdana menteri Galuh Candrawati pasti akan menyambangi tempat ini,” bujuk baginda raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari sang raja.

“Sebentar lagi, Kakanda. Ijinkan hamba menyusui putri kecil hamba yang malang ini, sebelum dia benart-benar lepas dari pelukanku. Wahai ananda putriku yang malang. Menyusulah yang banyak sebagai bekal pengasinganmu. Ibunda menyayangimu.” Tidak henti-hentinya sang permaisuri menciumi kening putri kecilnya. Hancur luluh hatinya. Seorang ibu akan dipisahkan dari putrinya, terasa bagai di kuliti seluruh badannya, dan dilepaskan seluruh tulang dari tubuhnya.

“Ndoro putri, ampuni hamba,” pinta Sulastri. Permaisuri Utari Gayatri Dewanggi mengangguk, kemudian memberikan putrinya dengan tidak rela. Remuk redam sudah jiwa dan raganya. Tangisnya masih menganak sungai. Demikian juga dengan baginda raja. Hatinya tak kalah berantakan.

“Mbok, rawat baik-baik putriku. Sembunyikan identitasnya. Anggap anak mbok sendiri. Ini ada emas dan juga perak bisa kau bawa. Ini ada belati kembar bertuliskan nama dia. Ini dibuat oleh mendiang ibunda untuk anak-anakku. Ini nama anak perempuan dan ini laki-laki. Ini yang perempuan berikan pada dia saat dewasa kelak. Simpan baik-baik belati itu,” pesan raja. Dia memberikan bungkusan sutra berwarna merah yang berisi banyak sekali emas dan perak. Tidak lupa, belati berukir yang panjagnya sejengkal tangan orang dewasa. Belati itu sudah diukir nama keturunan baginda raja baik laki-laki ataupun perempuan.

“Baik, Baginda raja. Hamba permisi,” pamit wanita setengah baya itu.

“Bergegaslah lewat jalan rahasia. Hati-hati.”

“Perdana Mentri datang!” teriak penjaga pintu depan.

Semuanya panik. Tidak terkecuali raja dan juga ratu. Dia berkali-kali melihat ke arah mbok emban itu pergi.

Download APP, continue reading

Chapters

85