Bab 7 Anda Puas?
by Meyyis
15:03,Jan 04,2021
“Ah, kau memang hebat, Istriku. Trus seperti ini. Jangan biarkan aku kesepian dan menengadah akan cinta. Sudah cukup hatiku berakhir untukmu,” desah sang baginda.
Permaisuri makin menggila dengan gesekan lidahnya di leher dan cuping telinga sang baginda. Baginda semakin terperdaya, kemudian beralih memberikan sensasi hangat pada seluruh tubuh permaisuri.
“Ah, Tuanku Baginda Yang Mulia ... ah ....”
“Mendesahlah, Manis. Kanda mencintaimu.” Akan tetapi ketika mencapai puncaknya, sang permaisuri langsung menarik tubuh sang baginda raja agar di bawahnya.
“Bukan seperti itu kanda. Tapi seperti ini.” Seluruh kain penutup baginda raja sudah hilang dari tubuhnya. Sang permaisuri memberikan sentuhan lembut pada senjata tradisional kelelakian raja dengan membuka mulutnya. Sensasi geli dan menegangkan membuat sang singa jantan bersurai hitam itu makin menegang dan menegang. Berdiri menantang lawan mainnya. Kepalanya semakin tegak dengan berbalut saliva milik sang permaisuri. Erangan keluar dari mulut sang raja, hingga pelepasan terahir keluarnya cairan putih benih anak.
“Ah ....” pelepasan terakhir sang raja. Nafas mereka masih sama tersengalnya. Peuh tak urung membanjiri seprei dan juga ranjang itu.
“Anda puas, Tuanku raja Nagari Kanigara?” goda permaisuri lagi, dengan baju yang tidak utuh.
“Kau memberiku pengalaman yang luar biasa, Istriku kekasihku permaisuriku,” cicit raja.
“Hamba hanya ingin menghibur paduka. Apakah sekarang baginda sudah tenang dan ingin bercerita?” tanya permaisuri. Dengan tubuh polos raja dan dirinya, sang permaisuri terbaring di dada bidang sang raja.
“Oh, kekasihku. Betapa malang aku setelah mendengar ini. Bahwa ayahanda Swara Asmaralaya buka ayahanda kandungku,” sedih raja.
“Baginda ampun, apakah itu benar? Apakah baginda sudah mengecek keabsahannya dari pernyataan itu? Jangan-jangan seseorang yang ingin mengadu domba saja, Kanda?” tukas sang permaisuri.
“Tidak, Kekasihku. Ayahanda sendiri yang bicara. Hancur jiwaku menjadi abu rasanya. Tapi, aku tetap menyayangi ayahanda sebagaimana ayahanda itu orang tua kandung, Istriku.” Baginda meneduh. Tapi taks emuram sebelumnya. Dia menyibakkan rambut sang permaisuri yang mengahlangi wajah cantinya.
“Begitu mulia hatimu, Kakanda kekasihku. Paduka baginda begitu menyayangi ayahanda. Lantas? Siapa ayah yang sebenarnya, Kanda?” tukas permaisuri ingin juga mengetahui.
“Ada mendiang baginda Jayantaka Ismara Wardhana Bumi dengan gelar Lawana Sangaji Sahasika. Beliau mangkat terbunuh saat perang kawi.” Baginda membayangkan suasana oerang saat itu. Dalam laporan kerajaan tertulis, bagaimana suasana perang tersebut. Tentu saja, dahsyatnya perang saat itu sangat di rasakan oleh rakyat, karena terbukti banyak korban dari kedua belah pihak.
“Turut berbela sungkawa, Baginda. Tapi hatimu sudah sangat mulia tidak mencampakkan baginda Swara Asmaralaya begitu saja. Baginda, bagiamana kedaan beliau. Apakah sudah sembuh?” tanya permaisuri sambil terus membelai dada bidang sang baginda.
“Belum, Permaisuriku. Ayahanda terkena racun bellandona. Kanda curiga jika itu perbuatan perdana menteri,” ucap raja.
“Kanda, sudahkah menyelidiki? Hamba memang tidak suka dengan perdana menteri. Tapi, menuduh tanpa bukti, berbahaya, Kanda,” cekat sang permaisuri.
“Aku tahu, Dinda. Perdana menteri menguasai seluruh pasukan Aradhana. Aku tidak bisa melawannya dengan tangan kosong. Aku menjadi raja hanya status. Tapi, kau jangan rakut. Akan aku bereskan pelan-pelan.” Senyum permaisuri mengembang. Dia tidak ragu dengan keperkasaan suaminya itu. Lelaki itu memang sangat cerdas. Tidak ada yang dapat menandingi kecerdasannya apalagi dalam hatinya.
“Dinda, apakah sudah ada kabar dari pengawal Adhinata Dwi Wiryaraga?” tanya sang baginda. Siapa tahu, dia sudah menyambangi kaputren karena mencari raja tidak jumpa.
“Tidak mungkin, Kanda dia melaporkan kepadaku langsung. Jika sudah ada, pasti langsung kepada kakanda,” bantah sang permaisuri.
“Ah, maafkan aku, Permaisuriku. Aku sangat mencemaskan putri kita tersebut. Jika perkiraanku tidak meleset, mbok Lastri sudah sampai di pintu gerbang keluar.” Mereka kemudian bangkit dan mandi di kolam kaputren. Setelah memanggil para dayang, datanglah seluruh perlengkapan mandi mereka. Bunga-bunga mawar berjejer mengambang di permukaan air kolam menambah sensasi wangi dalam kolam tersebut.
Permaisuri berjalan memasuki kolam tersebut tanpa baju. Selain baginda raja, dilarang lelaki siapa pun memasuki pemandian kaputren. Sedangkan para dayang sudah terbiasa melayani permasisuri dari dia masih kanak-kanak. Demikian juga dengan baginda raja. Mereka mandi dalam satu kolam. Dengan seluruh badannya di gosok oleh para dayang.
Harum aroma bunga mulai semerbak masuk ke indra penciumannya. Raja dan permaisuri memejamkan matanya menerima rangsngan wangi yang menenangkan. Mereka kemudian di gosok dengan lembut oleh para dayang. Seraya di pijit. Mereka kemudian keluar dari air dengan handuk dari bulu angsa, para pelayan membalut tubuh mereka. Setelah itu, para dayang memakiakan pakaian mereka. Kemudian, sanggul ditata oleh para penata sanggul. Tema kali ini, bunga kemuding menghiasi rambut sang tuan putri.Sedangkan baginda raja tidak butuh banyak aksesoris. Setelah memakai baju, kemudian melilit kain jarik di bawah, maka belangkon di lilitkan ke kepala dan memakai mahkota seberat lima kilo karena memakai emas murni dan permata tersebuat di antara lingkar kepalanya.
“Permaisuriku, aku ke rumah kerajaan dahulu. Ada yang harus aku kerjakan.” Baginda raja kelaur dari ruangan itu dengan terlebih dulu mencium kening sang permaisuri dan putra kecilnya.
“Mbok, apakah dia lapar?” tanya permaisuri setelah mendengar sang putra menangais.
“Sepertinya begitu, Ndoro putri permaisuri,” jawab sang mbok emban sambil memberikan tubuh putra raja tersebut yang baru dia ambil dari ayunan.
“Bawa kemari, Mbok. Biar saya kasih susu dulu,” tukas permaisuri. Wanita muda itu menyusui putranya. Klitorisnya yang ranum terlihat segar oleh sang bayi. Sang bayi menghisapnya dengan kuat sehingga sang ibunda sedikit meringis kesakitan.
Wanita muda itu bersenandunguntuk menenangkan putranya kembali. Senandung lagu jawa yang membuat hati tentram.
“Kinudang kudang tanpo biso leladeni. Narbuko roso tentrem angayomi. Toto susilo dadi tepo tuladha. Sebabe dhik itu serawungan kudu dadi srono murih guno koyo luweh ....”
Yang artinya bahwa selalu saya timang untuk bisa melayani sehingga dapat menciptakan rasa tentram dan melindungi. Menata segala kebaikan sebagai panutan karena itu nak, bergaulah untuk sarana agar dapat mencapai kesejahteraan.
Senandung itu terus di lagukan hingga sang bayi mulai terlelap kembali. Dalam lamunannya dan diamnya sang putra, permaisuri teringat akan bayinya yang satu lagi. Seorang perempuan yang entah berada di mana bersama mbok emban Sulastri.
“Putraku, Ngger. Adikmu entah berada di mana sekarang. Hati ibunda merasa sangat pilu. Ananda bisa ibunda dekap dengan hangat. Sedangkan adikmu mungkin kedinginan di luaran sana,” lirih sang permaisuri dalam hati. Luka seorang ibu tak mungkin dapat di cegah dengan seluruh luka-luka di dalam dadanya. Dia meluruhkan air matanya. Semoga saja, tidak akan ada yang mengetahui jati diri sang anak sebelum waktunya tiba.
Permaisuri makin menggila dengan gesekan lidahnya di leher dan cuping telinga sang baginda. Baginda semakin terperdaya, kemudian beralih memberikan sensasi hangat pada seluruh tubuh permaisuri.
“Ah, Tuanku Baginda Yang Mulia ... ah ....”
“Mendesahlah, Manis. Kanda mencintaimu.” Akan tetapi ketika mencapai puncaknya, sang permaisuri langsung menarik tubuh sang baginda raja agar di bawahnya.
“Bukan seperti itu kanda. Tapi seperti ini.” Seluruh kain penutup baginda raja sudah hilang dari tubuhnya. Sang permaisuri memberikan sentuhan lembut pada senjata tradisional kelelakian raja dengan membuka mulutnya. Sensasi geli dan menegangkan membuat sang singa jantan bersurai hitam itu makin menegang dan menegang. Berdiri menantang lawan mainnya. Kepalanya semakin tegak dengan berbalut saliva milik sang permaisuri. Erangan keluar dari mulut sang raja, hingga pelepasan terahir keluarnya cairan putih benih anak.
“Ah ....” pelepasan terakhir sang raja. Nafas mereka masih sama tersengalnya. Peuh tak urung membanjiri seprei dan juga ranjang itu.
“Anda puas, Tuanku raja Nagari Kanigara?” goda permaisuri lagi, dengan baju yang tidak utuh.
“Kau memberiku pengalaman yang luar biasa, Istriku kekasihku permaisuriku,” cicit raja.
“Hamba hanya ingin menghibur paduka. Apakah sekarang baginda sudah tenang dan ingin bercerita?” tanya permaisuri. Dengan tubuh polos raja dan dirinya, sang permaisuri terbaring di dada bidang sang raja.
“Oh, kekasihku. Betapa malang aku setelah mendengar ini. Bahwa ayahanda Swara Asmaralaya buka ayahanda kandungku,” sedih raja.
“Baginda ampun, apakah itu benar? Apakah baginda sudah mengecek keabsahannya dari pernyataan itu? Jangan-jangan seseorang yang ingin mengadu domba saja, Kanda?” tukas sang permaisuri.
“Tidak, Kekasihku. Ayahanda sendiri yang bicara. Hancur jiwaku menjadi abu rasanya. Tapi, aku tetap menyayangi ayahanda sebagaimana ayahanda itu orang tua kandung, Istriku.” Baginda meneduh. Tapi taks emuram sebelumnya. Dia menyibakkan rambut sang permaisuri yang mengahlangi wajah cantinya.
“Begitu mulia hatimu, Kakanda kekasihku. Paduka baginda begitu menyayangi ayahanda. Lantas? Siapa ayah yang sebenarnya, Kanda?” tukas permaisuri ingin juga mengetahui.
“Ada mendiang baginda Jayantaka Ismara Wardhana Bumi dengan gelar Lawana Sangaji Sahasika. Beliau mangkat terbunuh saat perang kawi.” Baginda membayangkan suasana oerang saat itu. Dalam laporan kerajaan tertulis, bagaimana suasana perang tersebut. Tentu saja, dahsyatnya perang saat itu sangat di rasakan oleh rakyat, karena terbukti banyak korban dari kedua belah pihak.
“Turut berbela sungkawa, Baginda. Tapi hatimu sudah sangat mulia tidak mencampakkan baginda Swara Asmaralaya begitu saja. Baginda, bagiamana kedaan beliau. Apakah sudah sembuh?” tanya permaisuri sambil terus membelai dada bidang sang baginda.
“Belum, Permaisuriku. Ayahanda terkena racun bellandona. Kanda curiga jika itu perbuatan perdana menteri,” ucap raja.
“Kanda, sudahkah menyelidiki? Hamba memang tidak suka dengan perdana menteri. Tapi, menuduh tanpa bukti, berbahaya, Kanda,” cekat sang permaisuri.
“Aku tahu, Dinda. Perdana menteri menguasai seluruh pasukan Aradhana. Aku tidak bisa melawannya dengan tangan kosong. Aku menjadi raja hanya status. Tapi, kau jangan rakut. Akan aku bereskan pelan-pelan.” Senyum permaisuri mengembang. Dia tidak ragu dengan keperkasaan suaminya itu. Lelaki itu memang sangat cerdas. Tidak ada yang dapat menandingi kecerdasannya apalagi dalam hatinya.
“Dinda, apakah sudah ada kabar dari pengawal Adhinata Dwi Wiryaraga?” tanya sang baginda. Siapa tahu, dia sudah menyambangi kaputren karena mencari raja tidak jumpa.
“Tidak mungkin, Kanda dia melaporkan kepadaku langsung. Jika sudah ada, pasti langsung kepada kakanda,” bantah sang permaisuri.
“Ah, maafkan aku, Permaisuriku. Aku sangat mencemaskan putri kita tersebut. Jika perkiraanku tidak meleset, mbok Lastri sudah sampai di pintu gerbang keluar.” Mereka kemudian bangkit dan mandi di kolam kaputren. Setelah memanggil para dayang, datanglah seluruh perlengkapan mandi mereka. Bunga-bunga mawar berjejer mengambang di permukaan air kolam menambah sensasi wangi dalam kolam tersebut.
Permaisuri berjalan memasuki kolam tersebut tanpa baju. Selain baginda raja, dilarang lelaki siapa pun memasuki pemandian kaputren. Sedangkan para dayang sudah terbiasa melayani permasisuri dari dia masih kanak-kanak. Demikian juga dengan baginda raja. Mereka mandi dalam satu kolam. Dengan seluruh badannya di gosok oleh para dayang.
Harum aroma bunga mulai semerbak masuk ke indra penciumannya. Raja dan permaisuri memejamkan matanya menerima rangsngan wangi yang menenangkan. Mereka kemudian di gosok dengan lembut oleh para dayang. Seraya di pijit. Mereka kemudian keluar dari air dengan handuk dari bulu angsa, para pelayan membalut tubuh mereka. Setelah itu, para dayang memakiakan pakaian mereka. Kemudian, sanggul ditata oleh para penata sanggul. Tema kali ini, bunga kemuding menghiasi rambut sang tuan putri.Sedangkan baginda raja tidak butuh banyak aksesoris. Setelah memakai baju, kemudian melilit kain jarik di bawah, maka belangkon di lilitkan ke kepala dan memakai mahkota seberat lima kilo karena memakai emas murni dan permata tersebuat di antara lingkar kepalanya.
“Permaisuriku, aku ke rumah kerajaan dahulu. Ada yang harus aku kerjakan.” Baginda raja kelaur dari ruangan itu dengan terlebih dulu mencium kening sang permaisuri dan putra kecilnya.
“Mbok, apakah dia lapar?” tanya permaisuri setelah mendengar sang putra menangais.
“Sepertinya begitu, Ndoro putri permaisuri,” jawab sang mbok emban sambil memberikan tubuh putra raja tersebut yang baru dia ambil dari ayunan.
“Bawa kemari, Mbok. Biar saya kasih susu dulu,” tukas permaisuri. Wanita muda itu menyusui putranya. Klitorisnya yang ranum terlihat segar oleh sang bayi. Sang bayi menghisapnya dengan kuat sehingga sang ibunda sedikit meringis kesakitan.
Wanita muda itu bersenandunguntuk menenangkan putranya kembali. Senandung lagu jawa yang membuat hati tentram.
“Kinudang kudang tanpo biso leladeni. Narbuko roso tentrem angayomi. Toto susilo dadi tepo tuladha. Sebabe dhik itu serawungan kudu dadi srono murih guno koyo luweh ....”
Yang artinya bahwa selalu saya timang untuk bisa melayani sehingga dapat menciptakan rasa tentram dan melindungi. Menata segala kebaikan sebagai panutan karena itu nak, bergaulah untuk sarana agar dapat mencapai kesejahteraan.
Senandung itu terus di lagukan hingga sang bayi mulai terlelap kembali. Dalam lamunannya dan diamnya sang putra, permaisuri teringat akan bayinya yang satu lagi. Seorang perempuan yang entah berada di mana bersama mbok emban Sulastri.
“Putraku, Ngger. Adikmu entah berada di mana sekarang. Hati ibunda merasa sangat pilu. Ananda bisa ibunda dekap dengan hangat. Sedangkan adikmu mungkin kedinginan di luaran sana,” lirih sang permaisuri dalam hati. Luka seorang ibu tak mungkin dapat di cegah dengan seluruh luka-luka di dalam dadanya. Dia meluruhkan air matanya. Semoga saja, tidak akan ada yang mengetahui jati diri sang anak sebelum waktunya tiba.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved