Bab 10 Di Tengah Hutan

by Meyyis 15:13,Jan 04,2021
“Cepat katakan! Siapa yang menyuruhmu. Semakin kuat Prana menginjak dada lelaki itu yang terluka. Sehingga lelaki itu lagi-lagi berteriak dengan sangat kuat.

“Perdana mentri yang menyuruhku. Aku ingin tetap hidup. Saya mohon lepaskan aku!” pinta lelaki tak berdaya itu.

“Baiklah, hiat ....” Sring ... kepala lelaki itu terputus dari gembungnya. Mbok Lastri ikut berteriak dan menggigil ketakutan karena hal itu. Prana mengelap darah yang mengotori pedangnya, kemudian menyarungkannya kembali.

“Mbok, ayo kita lanjutkan! Jangan takut, Mbok. Selama sisa perjalanan. Ini akan terus terjadi. Simbok akan mengalami ini berkali-kali. Jadi, hanya ada dua pilihan. Membuinuh, atau di bunuh. Siapa yang kuat, yang dapat bertahan. Demikian hidup di dunia ini,” cicit lelaki itu.

Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sekali lagi, mereka melintasi sungai. Ah, mereka hanya memutari bukit itu sebenarnya, untuk menghindari jalanan yang terlalu curam.

“Mbok, kita istirahat dulu di sana.” Prana menunjuk batu besar yang berada di pinggiran sungai. Lelaki itu duduk di sana, disusul dengan mbok Lastri yang membawa bayi itu.

“Saya memberi makan bayi ini dulu, Prana. Sedih rasanya,” sesal mbok Lastri.

“Tidak usah di pikirkan, Mbok. Jangan memikirkan apapun setidaknya sampai bayi itu dewasa. Ini sudah jadi tugas kita sebagai abdi dalem. Kita harus menyerahkan diri kita untuk setia pada Baginda Raja.” Lelaki itu memandang ke arah bayi yang di bungkus kain batik itu.

“Mbok, ini sudah hampir malam. Kita akan bermalam di sini saja. Melanjutkan perjalanan akan menyulitkan langkah kita. Bisa-bisa, kita akan tersesat. Mbok tunggu di sini, saya akan mencari kayu untuk membuat api.” Lelaki muda yang berusia kira-kira dua puluh lima tahunan itu pergi meningglakan mbok Lastri sendiri. Prana menjadi prajurit dari usianya masih belia, karena memang boponya dulu seorang prajurit kepercayaan mendiang raja terdahulu. Jabatan ayahnya diwariskan kepada dia, karena hanya dirinya seorang lelaki di keluarganya. Kakaknya semua perempuan. Maka hanya dia yang dapat mewaarisi jabatan itu.

Sedangkan mbok Lastri lahir dan besar di kaputren. Ibunya seorang dayang istana. Dia di persunting oleh salah satu prajurit dan mendapat rumah dinas di samping paviliun prajurit. Dari kecil, dia sudah akrab dengan keluarga raja dan menjadi teman dari tuan putri. Tuan putrinya sangat menyayangi dirinya, kendati dia hanya anak seorang dayang. Namun, tentu ibunda dari sang putri sering kali tidak memperbolehkan bermain dengannya. Sang putri sendiri adalah putra dari raja negeri seberang . Beliau sebenarnya adalah ibu dari baginda raja sekarang, yaitu Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari. Beliau ikut di boyong saat sang putri di persunting oleh raja Nagari Kanigara ini.

“Mbok, hari semakin gelap. Saya akan menyalakan api unggun agar kita tidak kedinginan. Selain itu dapat di gunakan untuk pelita.” Prana menyalakan api dengan kedua batu di adukan, sehingga terpercik api dan membakar daun-daun kering itu. Setelah daur mulai membesar, lelaki itu menyusun kayu di atasnya. Api berkobar untuk menghangatkan suasana malam ini. Serangga dan hewan malam terdengar menyeramkan. Prana kemudian bertanya kepada mbok Lastri untuk memecah keheningan.

“Mbok, apakah pernah di tengah hutan seperti ini?” tanya Prana.

“Dulu, waktu Nagari Singa Putih diserang bangsa seberang, maka terjadilah pergolakan. Sehingga kami para abdi dalem juga harus mengungsi. Selama beberapa hari kami berjalan bahkan tanpa makan dan minum,” ucap mbok Lastri.

“Mbok bersama ndoro putri Dewi Sukesi?” tanya Prana.

“Iya. Waktu itu beliau masih kecil. Kira-kira sepuluh tahunan,” lanjut mbok Lastri.

“Sudah malam. Kita istirahat, Mbok. Besok kita lanjutkan perjalanan.” Prana mulai berbaring di batu sebelah dengan buntalan yang dia bawa sebagai ganjal kepala. Sedangkan mbok Lastri juga melakukan hal yang sama dengan bayi di pelukannya. Tentu saja, mereka tidak dapat lelap sempurna. Mereka takut jika binatang buas akan menerkam, atau bahkan anak buah perdana mentri.

Malam terasa lama berlalu. Mereka lagi-lagi terjaga karena binatang yang mengusik dengan suaranya yang memkakan telinga. Suara lolongan srigala terdengar juga. Enatah apa yang terjadi. Srigala memberikan tanda apa sehingga lolongannya terasa menyayat. Mereka beradu dengan dingin yang makin mencekam.

Mbok Lastri bangun terlebih dahulu. Wanita itu terjaga karena bayi yang ada dalam pelukannya menangis.

“Ah, cup ... cup ... cup. Kamu lapar?” Wanita tua itu memeriksa apakah bayi itu buang air atau tidak. Ternyata memang basah dan juga berbau tinja. Rupanya, bayi itu buang air. Wanita itu kemudian membersihkan kotoran bayinya di sungai bawah. Gemericik air menenangkan jiwa siapa saja. Akan tetapi, ketenangan yang menghanyutkan. Sungai mengandung banyak misteri. Bahkan akan menenggelamkan siapa saja dan apa saja yang dialirinya. Semua terlibas olehnya tanpa ampun.

Prana yang memang sangat lelah tidak mendengar sang bayi menangis. Dia baru terjaga saat mbok Lastri sudah turun ke sungai. Lelaki itu tergagap saat tidak ada bayi dan juga mbok Lastri di tempat dia tidur semalam. Prana panik. Bisa-bisanya dia kehilangan tuan putri dan juga mbok Lastri. Parana berteriak-teriak memanggilnya. Mbok Lastri memang mendengar suara Prana yang menggelegar. Akan tetapi, dia tidak bisa membalas karena membawa bayi. Nanti bayinya kaget terus menangis akan sulit untuk mendiamkannya jika sang bayi ketakutan. Maka, Mbok Lastri hanya bergegas saja menyambangi tempat Prana memanggil-manggil dirinya.

“Mbok, Mbok Lastri. Mbok, Gusti Sang Hyang Widi, kemana mereka?” sesal Prana. Dia berlarian kesana kemari untuk mencari mbok Lastri. Tidak mungkin mbok Lastri sudah pergi jauh. Jika di culik, akan ada jejak orang lain di sana. Tapi, semua bersih.

“Ada pa, Prana.” Prana terperanjat karena tiba-tiba mbok Lastri memegang pundaknya.

“Hah, simbok! Mengagetkan saja. Dari mana? Saya mencari simbok kesana kemari. Simbok dari mana? Saya sampai salah sangka jika simbok di culik,” tukas Prana.

“Saya dari bawah untuk membersihkan kotoran bayi. Dia mengeluarkan kotoran.” Mbok Lastri memberikan bayi itu kepada Prana untuk menjemur pakaian yang baru dia cuci.


“Oh, ya sudah. Mbok, kita melanjutkan perjalanan setelah jemuran kering saja,” ucap Pran. Mbok Lastri hanya mengangguk setuju. Setelah itu, tidak ada lagi percakapan. Hanya suara cicit burung yang menari-nari di area ranting dengan sayap yang membuka dan menutup dengan paruh yang membuka. Suara cicit burung itu sangat merdu dan membuat suasana semakin tentram dan damai. Mbok Lastri sudah selesai menjemuri pakaian, kemudian meminta bayi itu untuk di beri makan.

“Mbok, kita akan berjalan sehari lagi untuk sampai ke tujuan kita,” ucap Prana.

Sementara mereka sudah agak sedikit tenang kerena dekat dengan tujuan mereka, huru hara terjadi di istana.

Download APP, continue reading

Chapters

85