Bab 5 Cinta Beracun Perdana Mentri
by Meyyis
14:56,Jan 04,2021
“Saya tidak pernah suka di puja. Saya juga ingin menikmati masa tua yang dulu tidak pernah aku nikmati saat masa muda. Kamu tahu, Galuh? Saya juga ingin bercinta sebagaimana muda-mudi, seperti yang kita lakukan tadi siang.” Galuh tersedak ludahnya sendiri, sehingga Swara Asmaralaya mengambilkan secangkir teh untuknya. Namun, teh itu tumpah karena kereta menyandung sebuah batu. Perdana menteri Galuh keluar untuk memeriksa. Dia melihat ketidakpecusan pada pekatik kuda. Galuh memberikan isyarat pada pengawal kepercayaannya untuk membunuh pekatik itu, yang sekaligus sebagai kusir.
“Ada apa Galuh?” tanya Swara Asmaralaya.
“Tidak ada, Tuanku.” Mereka melanjutkan perjalanannya kembali.
Begitu mengerikannya wanita itu sebenarnya. Dia melakukan berbagai cara untuk , mencapai segala sesuatu tujuannya. Swara Asmaralaya tidak pernah menyadarinya. Kecantikan Galuh telah menghipnotisnya, sehingga dia lupa tata krama untuk menelaah sifat orang.
Mereka terus berajalan menyusuri hutan belantara dan melewati lembah dan sungai serta ngaeai. Hujan panas mereka tetap berjalan. Hanya kadang-kadang saja berteduh. Beberapa kali sang tuan mengeluh dadanya sakit. Galuh Candrawati sang perdana menteri merawat sang mantan raja itu dengan sebaik-baiknya. Tentu saja, dia berharap akan mendapatkan sesuatu dari apa yang dilakukan. Tapi, tunggu! Apa yang dia berikan pada raja? Kenapa bukan semakin membaik, tapi semakin memburuk.
Galuh Candrawati tersenyum miring saat melihat sang Swara Asmaralaya semakin lemah. Lelaki itu bahkan memuntahkan darah, padahal mereka tidak membawa tabib sama sekali. Wanita itu pura-pura panik.
“Ah, tuanku! Bertahalah! Perjalanan tinggal beberapa saat lagi sampai di kota raja. Bertahanlah, Tuanku.” Galuh mengeluarkan tulisan dari dalam bajunya. Tulisan itu yang nantinya akan menjadi wasiat untuk sang raja dari ayahnya tersebut. Tunggu! Sebenarnya sudah lama Galuh sang perdana mentri menyelidiki. Swara Asmaralaya tidak pernah tercatat memiliki seorang istri. Akan tetapi, dia bisa memiliki seorang anak? Dari mana? Ini perlu diusik nantinya.
Mereka sudah sampai di kuta raja. Galuh Candrawati langsung turun dan memerintahkan untuk mengangkat lelaki tua bangka itu. Wanita itu dengan licik berubah perangai setelah mendapatkan surat wasiat dari Swara Asmaralaya. Dia akan menyelidiki sebenarnya siapa Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari. Jika dia bukan pewaris tahta yang sebenarnya, maka sudah pasti akan mudah bagi dirinya menggulingkan lelaki kekar dengan garis wajah yang mengesankan itu.
Senyum sinis menghiasi wajah Galuh sang Perdana menteri. Dia sudah mendapatkan legalitas, jika annti hamil anak Swara Asmaralaya. Sampai di rumah paviliun khusus, para pengawal mengangkat tubuh mantan raja itu dengan hati-hati. Tiba-tiba sang Baginda raja datang sendiri, karena istrinya hampir saja melahirkan. Ya, dia tidak mungkin membawa seta istrinya, karena masih lemah.
“Baginda Raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari raja Nagari Kanigara, tiba!” Teriak seorang penjaga pintu. Seluruh mbok emban dan pengawal menunduk terlihat menghormati raja.
“Apa yang terjadi?” tanya Raja.
“Surya Benggala, kau yang mengawal ayahanda. Apa yang terjadi dengan beliau. Bulan lalu masih segar bugar. Kenapa beliau bisa sakit. Sudah memanggil tabib?” panik Raja. Dia seperti kebingungan melihat ayahnya sakit. Ah, lebih tepatnya bukan ayah kandungnya. Lelaki yang sekarang berbaring lemah itu hanyalah pamannya. Dia yang menggantikan ayahanda Baginda Raja ketika ayahnya tewas di medan laga. Raja terdahulu tidak memiliki keturunan lain. Sebenarnya, Swara Asmaralaya tidak pernah menginginkan menjadi raja. Dia adalah seorang sastrawan. Dia lebih suka hidup bebas tanpa terkekang.
“Ananda Baginda Raja Wijaya Candra Kusuma,” panggil sang Swara Asmaralaya.
“Hamba ayahanda,” lirih Baginda Raja.
“Ada yang ingin ayahanda sampaikan kepadamu wahai putraku tercinta.” Suara Swara Asmaralaya makin lemah.
Baginda raja mendekat kemudian duduk di kursi kecil dekat ranjang mewah milik Asmaralaya. Dia mendekat kearah ayahandanya tersebut.
“Ananda, ada rahasia besar yang akan ayahanda bagi untukmu. Jangan membenci ayahanda putraku.” Mendengar seorang Swara Asmaralaya akan bertitah, baginda raja mengangkat tangannya agar semua orang keluar dari dalam ruangan itu dan menutup pintu.
“Ayahanda jangan berpikir macam-macam. Sebentar lagi tabib istana akan datang untuk memeriksa ayahanda. Jangan berpikir apapun dulu,” tukas lelaki gagah berani yang sekarang menduduki tahta Nagari Kanigara tersebut.
“Tidak ananda. Ayahanda takut tidak akan ada waktu untuk menyampaikannya. Uhuk ... Uhuk.” Batuk Swara Asmaralaya semakin kencang. Kali ini dia memuntahkan sedikit darah sehingga baginda raja sedikit panik. Dia akan pergi meninggalkannya, untuk menyusuli tabib. Pikir dia, dia tidak mau kehilangan kedua orang tuanya. Cukup ibundanya yang sudah tiada. Tapi, tidak untuk ayahandanya.
“Tenaglah, Ayahanda. Tenanglah,” bisik Baginda Raja.
“Tidak ananda. Aku harus segera mengatakannya padamu. Ayahanda sudah tidak kuat. Mungkin ajal sudah tidak sabar ingin bersama ayahanda. Ananda ....” Suara Swara Asmaralaya tercekat. Dia merasakan nyeri yang ada di dadanya semakin hebat.
“Aku, yang kau panggil ayahanda setiap hari sejak bayi. Sebenarnya bukan ayah kandungmu. Kau adalah anak dari kakakku.” Perkataan itu akhirnya lolos dari tenggorokan Swara Asmaralaya.
Duer ... bagai sebuah petir membahana di kepala baginda raja. Dia tidak menyangka jika dirinya bukanlah anak kandung dari seorang Swara Asmaralaya.
“Ananda, ayahmu dan kakekmu percaya kepada aku sebagai penggantinya walau beribu kali aku bilang tidak bisa. Apakah kamu tahu, ananda, bahwa ayahandamu yang renta ini menunggu saat kamu dewasa dan menikah. Ayahandamu ini terpaksa melakukannya, karena jika aku belum memiliki anak dan belum berkeluarga, aku tidak bisa naik tahta. Uhuk ... uhuk.” Batuk Swara Asmaralaya makin kencang.
Ini aneh, tidak ini hanya rekayasa. Pusing mendera kepala baginda. Bagimana mungkin ini bisa terjadi. Kelahirannya dirahasiakan.
“Ananda, pamanmu ini sangat tidak bisa jika harus menikah. Aku mencintai satu gadis. Tapi, aku tahu gadis itu tidak layak. Berhati-hatilah, semua orang disekitarmu hanya baik di depanmu.” Rupanya, Swara Asmaralaya tahu, jika Galuh Candrawati sang perdana mentri meracunnya.
“Ananda, tolong ambilkan selembar ketas untuk pamanmu ini menulis,” pinta Swara Asmara laya. Kertas yang di maksud adalah kulit lembu yang di keringkan. Baginda raja menganbilkannya, berikut tintanya dan juga pena. Tinta itu terbuat dari tumbuhan dan pena dari bulu-bulu binatang.
“Ayahanda, ini kertasnya. Akankah ayahanda mau bangun?” tawar baginda raja.
Baginda raja membantu lelaki itu untuk bangun. Lelaki yang lemah itu dengan susah payah terbangun dari tempat tidurnya. Baginda Raja Wijaya menuntunnya untuk menulid di atas meja. Swara Asmaralaya duduk di salah satu kursi, kemudian mulai menulis kata dmi kata hingga selesai. Dia membubuhkan tanda tangan di pojokan, berikut cap jempolnya pada samping tanda tangan tersebut. Terahir, stempel milik mantan raja.
Baginda meraih kertas tersebut, setelah sang mantan raja itu menyerahkannya. Mata baginda Raja tidak berkedip sama sekali melihat isi surat itu.
“Ada apa Galuh?” tanya Swara Asmaralaya.
“Tidak ada, Tuanku.” Mereka melanjutkan perjalanannya kembali.
Begitu mengerikannya wanita itu sebenarnya. Dia melakukan berbagai cara untuk , mencapai segala sesuatu tujuannya. Swara Asmaralaya tidak pernah menyadarinya. Kecantikan Galuh telah menghipnotisnya, sehingga dia lupa tata krama untuk menelaah sifat orang.
Mereka terus berajalan menyusuri hutan belantara dan melewati lembah dan sungai serta ngaeai. Hujan panas mereka tetap berjalan. Hanya kadang-kadang saja berteduh. Beberapa kali sang tuan mengeluh dadanya sakit. Galuh Candrawati sang perdana menteri merawat sang mantan raja itu dengan sebaik-baiknya. Tentu saja, dia berharap akan mendapatkan sesuatu dari apa yang dilakukan. Tapi, tunggu! Apa yang dia berikan pada raja? Kenapa bukan semakin membaik, tapi semakin memburuk.
Galuh Candrawati tersenyum miring saat melihat sang Swara Asmaralaya semakin lemah. Lelaki itu bahkan memuntahkan darah, padahal mereka tidak membawa tabib sama sekali. Wanita itu pura-pura panik.
“Ah, tuanku! Bertahalah! Perjalanan tinggal beberapa saat lagi sampai di kota raja. Bertahanlah, Tuanku.” Galuh mengeluarkan tulisan dari dalam bajunya. Tulisan itu yang nantinya akan menjadi wasiat untuk sang raja dari ayahnya tersebut. Tunggu! Sebenarnya sudah lama Galuh sang perdana mentri menyelidiki. Swara Asmaralaya tidak pernah tercatat memiliki seorang istri. Akan tetapi, dia bisa memiliki seorang anak? Dari mana? Ini perlu diusik nantinya.
Mereka sudah sampai di kuta raja. Galuh Candrawati langsung turun dan memerintahkan untuk mengangkat lelaki tua bangka itu. Wanita itu dengan licik berubah perangai setelah mendapatkan surat wasiat dari Swara Asmaralaya. Dia akan menyelidiki sebenarnya siapa Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari. Jika dia bukan pewaris tahta yang sebenarnya, maka sudah pasti akan mudah bagi dirinya menggulingkan lelaki kekar dengan garis wajah yang mengesankan itu.
Senyum sinis menghiasi wajah Galuh sang Perdana menteri. Dia sudah mendapatkan legalitas, jika annti hamil anak Swara Asmaralaya. Sampai di rumah paviliun khusus, para pengawal mengangkat tubuh mantan raja itu dengan hati-hati. Tiba-tiba sang Baginda raja datang sendiri, karena istrinya hampir saja melahirkan. Ya, dia tidak mungkin membawa seta istrinya, karena masih lemah.
“Baginda Raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari raja Nagari Kanigara, tiba!” Teriak seorang penjaga pintu. Seluruh mbok emban dan pengawal menunduk terlihat menghormati raja.
“Apa yang terjadi?” tanya Raja.
“Surya Benggala, kau yang mengawal ayahanda. Apa yang terjadi dengan beliau. Bulan lalu masih segar bugar. Kenapa beliau bisa sakit. Sudah memanggil tabib?” panik Raja. Dia seperti kebingungan melihat ayahnya sakit. Ah, lebih tepatnya bukan ayah kandungnya. Lelaki yang sekarang berbaring lemah itu hanyalah pamannya. Dia yang menggantikan ayahanda Baginda Raja ketika ayahnya tewas di medan laga. Raja terdahulu tidak memiliki keturunan lain. Sebenarnya, Swara Asmaralaya tidak pernah menginginkan menjadi raja. Dia adalah seorang sastrawan. Dia lebih suka hidup bebas tanpa terkekang.
“Ananda Baginda Raja Wijaya Candra Kusuma,” panggil sang Swara Asmaralaya.
“Hamba ayahanda,” lirih Baginda Raja.
“Ada yang ingin ayahanda sampaikan kepadamu wahai putraku tercinta.” Suara Swara Asmaralaya makin lemah.
Baginda raja mendekat kemudian duduk di kursi kecil dekat ranjang mewah milik Asmaralaya. Dia mendekat kearah ayahandanya tersebut.
“Ananda, ada rahasia besar yang akan ayahanda bagi untukmu. Jangan membenci ayahanda putraku.” Mendengar seorang Swara Asmaralaya akan bertitah, baginda raja mengangkat tangannya agar semua orang keluar dari dalam ruangan itu dan menutup pintu.
“Ayahanda jangan berpikir macam-macam. Sebentar lagi tabib istana akan datang untuk memeriksa ayahanda. Jangan berpikir apapun dulu,” tukas lelaki gagah berani yang sekarang menduduki tahta Nagari Kanigara tersebut.
“Tidak ananda. Ayahanda takut tidak akan ada waktu untuk menyampaikannya. Uhuk ... Uhuk.” Batuk Swara Asmaralaya semakin kencang. Kali ini dia memuntahkan sedikit darah sehingga baginda raja sedikit panik. Dia akan pergi meninggalkannya, untuk menyusuli tabib. Pikir dia, dia tidak mau kehilangan kedua orang tuanya. Cukup ibundanya yang sudah tiada. Tapi, tidak untuk ayahandanya.
“Tenaglah, Ayahanda. Tenanglah,” bisik Baginda Raja.
“Tidak ananda. Aku harus segera mengatakannya padamu. Ayahanda sudah tidak kuat. Mungkin ajal sudah tidak sabar ingin bersama ayahanda. Ananda ....” Suara Swara Asmaralaya tercekat. Dia merasakan nyeri yang ada di dadanya semakin hebat.
“Aku, yang kau panggil ayahanda setiap hari sejak bayi. Sebenarnya bukan ayah kandungmu. Kau adalah anak dari kakakku.” Perkataan itu akhirnya lolos dari tenggorokan Swara Asmaralaya.
Duer ... bagai sebuah petir membahana di kepala baginda raja. Dia tidak menyangka jika dirinya bukanlah anak kandung dari seorang Swara Asmaralaya.
“Ananda, ayahmu dan kakekmu percaya kepada aku sebagai penggantinya walau beribu kali aku bilang tidak bisa. Apakah kamu tahu, ananda, bahwa ayahandamu yang renta ini menunggu saat kamu dewasa dan menikah. Ayahandamu ini terpaksa melakukannya, karena jika aku belum memiliki anak dan belum berkeluarga, aku tidak bisa naik tahta. Uhuk ... uhuk.” Batuk Swara Asmaralaya makin kencang.
Ini aneh, tidak ini hanya rekayasa. Pusing mendera kepala baginda. Bagimana mungkin ini bisa terjadi. Kelahirannya dirahasiakan.
“Ananda, pamanmu ini sangat tidak bisa jika harus menikah. Aku mencintai satu gadis. Tapi, aku tahu gadis itu tidak layak. Berhati-hatilah, semua orang disekitarmu hanya baik di depanmu.” Rupanya, Swara Asmaralaya tahu, jika Galuh Candrawati sang perdana mentri meracunnya.
“Ananda, tolong ambilkan selembar ketas untuk pamanmu ini menulis,” pinta Swara Asmara laya. Kertas yang di maksud adalah kulit lembu yang di keringkan. Baginda raja menganbilkannya, berikut tintanya dan juga pena. Tinta itu terbuat dari tumbuhan dan pena dari bulu-bulu binatang.
“Ayahanda, ini kertasnya. Akankah ayahanda mau bangun?” tawar baginda raja.
Baginda raja membantu lelaki itu untuk bangun. Lelaki yang lemah itu dengan susah payah terbangun dari tempat tidurnya. Baginda Raja Wijaya menuntunnya untuk menulid di atas meja. Swara Asmaralaya duduk di salah satu kursi, kemudian mulai menulis kata dmi kata hingga selesai. Dia membubuhkan tanda tangan di pojokan, berikut cap jempolnya pada samping tanda tangan tersebut. Terahir, stempel milik mantan raja.
Baginda meraih kertas tersebut, setelah sang mantan raja itu menyerahkannya. Mata baginda Raja tidak berkedip sama sekali melihat isi surat itu.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved