Bab 2 Kunjungan Perdana Mentri Galuh

by Meyyis 14:43,Jan 04,2021
“Baik, Baginda raja. Hamba permisi,” pamit wanita setengah baya itu.

“Bergegaslah lewat jalan rahasia. Hati-hati.”

“Perdana Mentri datang!” teriak penjaga pintu depan.

Semuanya panik. Tidak terkecuali raja dan juga ratu. Dia berkali-kali melihat ke arah mbok emban itu pergi.

“Ampun baginda raja. Hamba datang. Selamat saya ucapkan permaisuri. Pengawal! Bawa hadiah untuk permaisuri. Satu peti dibawakan kehadapan permaisuri. Wanita yang baru saja melahirkan itu terpaksa tersenyum. Dia sudah tahu ada maksud tertentu dari perdana mentri itu. Saat dahulu belum turun tahta, permaisuri paling menolak pengangkatan Galuh Candrawati sebagai perdana mentri. Galuh seorang wanita cerdas namun tamak. Sering kali, bahkan tanpa ampun menyiksa pengawalnya, waktu belum menjadi penguasa. Permaisuri yang kala itu masih menjadi istri putra mahkota sering melihat dia menampar pelayannya hanya karena kesalahan kecil. Permaisuri sangat tidak suka perangai perdana menteri.

“Terima kasih, Perdana menteri. Kami bahagia atas kunjunganmu,” balas baginda raja. Wanita dengan wajah ayu namun sangat misterius itu menyelidik bahwa adanya keanehan pada bayi mereka. Seharusnya, bayi mereka kembar, demikian yang disampaikan oleh tabib waktu itu. Akan tetapi, yang berbaring di samping permaisuri hanya satu.

“Baginda raja, hamba mendengar ada dua kebahagiaan saat hamba sampai di depan pintu. Tapi mengapa hanya ada satu keturunan paduka yang berbaring di samping permaisuri?” tanya perdana menteri Galuh Candrawati.

“Perdana mentri, apa yang bisa aku lakukan jika harus menelan kecewa. Ternyata pohon hanya berbuah tunggal tanpa bercabang pula. Tapi, perdana mentri harus tahu, jika keturunanku ini seorang laki-laki yang kelak bisa menggantikanku menduduki tahta Nagari Kanigara,” tegas baginda raja.

Perdana mentri tersenyum tapi senyum kepalsuan. Semua serba kamuflase. Arogansi yang dibungkus dengan kesetiaan palsu membuat semua orang tertipu dengan senyum manis namun membunuh itu.

“Mohon maaf perdana menteri. Saya tidak bisa menjamu saat kau datang.” Basa-basi permaisuri. Padahal, dalam hati dia sangat tidak suka dengan perdana menteri itu. Wanita itu seperti iblis yang menghantui kehidupan keluarga raja. Semua keputusan istana harus atas ijinnya. Dia mengatasnamakan hukum negara, akan tetapi di balik itu sarat akan muatan politik yang membuat garis kasta kerajaan menjadi diperjelas.

“Tidak usah sungkan permaisuri. Keponakanku itu sudah selayaknya mendapatkan kunjunganku.” Wanita itu memutar cakrawalanya untuk menemukan kira-kira apa yang membuat kamar itu namapak aneh. Lagi pula, ah dia menemukan. Guci untuk meletakkan ari-ari bayi berjumlah dua berarti, seharusnya bayinya ada dua.

“Ampun baginda raja. Boleh aku bertanya, mengapa guci ari-ari ada dua? Seharusnya bayi itu ada dua. Di mana bayi yang satunya?” Perdana mentri mulai menyelidiki kemana bayi itu. Trik ini akan dia gunakan untuk menggulingkan raja di depan seluruh dewan istana.

“Ah, perdana menteri. Memang tadinya perkiraan istri saya mengandung bayi kembar. Namun, kenyataannya sudah kami tunggu sampai sekarang belum hadir,” bohong baginda Raja.

“Oh, begitu, ya?” Akan tetapi raut wajah perdana menteri tidak yakin akan ucapan raja. Dia menyuruh pengawalnya untuk mencari tahu lewat bahasa matanya wanita itu memang dapat di katakan wanita iblis. Dia tidak akan melepaskan orang-orang yang dia bidik.

“Ampun perdana menteri, yang di katakan baginda benar adanya. Saya yang membantu persalinan. Saya mohon maaf karena sebelumnya salah kenerka. Ternyata, yang sebelah kanan adalah hanya air ketuban saja,” bela sang tabib.

“Oh, berarti ini kesalahanmu. Kau harus mendapat hukuman karena sembarangan mendiaknosa. Pengawal!” panggil perdana menteri dengan pengawalnya.


“Perdana menteri, tidak usah dilebihkan. Setiap manusia pasti punya salah. Apalagi, keadaan yang netra kita tidak melihat secara nyata. Ampunilah tabib. Apalagi, dia tabib istana yang paling baik,” pinta raja.

Perdana menteri membalik badan. Sifat raja yang seperti inilah yang membuat dia mudah menguasai. Perdana menteri tersenyum licik.

“Baginda! Engkau seorang raja. Tapi, lemah! Sifat baginda yang seperti ini yang melemahkan negeri kita. Dia harus diadii.” Lunglai, seluruh tulang-belulang wanita cantik itu terasa remuk. Wanita dengan kebaya kupu tarung berwarna merah jambu itu tidak dapat melakukan apapun kecuali pasrah. Tidak mengapa, pengabdian kepada rajanya akan dia persembahkan seluruh jiwa raganya.

Wanita itu di seret oleh pengawal. Raja tidak bisa melakukan apa-apa. Memang seolah-olah perdana menteri yang memiliki kuasa tertinggi pada hukum tata negara di Negeri Kanigara tersebut. Raja kehilangan taringnya. Bahkan seluruh pasukan di kuasai oleh wanita setengah iblis yang tidak memiliki belas kasihan itu. Entah keturunan iblis atau berjiwa iblis, wanita itu belum ada yang mengalahkan.

Wanita itu dapat duduk dan bertahta atas usulan dari raja terdahulu yaitu Sang Adhinata Witikrama. Yang tidak lain adalah ayah dari Baginda raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari. Perdana menteri diangkat karena jasanya yang sangat besar atas penyelamatan raja beberapa kali, serta penyelamatan kekalahan perang. Dia diangkat saat masa kekuasaan raja terdahulu akan digantikan oleh baginda raja Wijaya Chandra Kusuma Jaya Nagari.

Baginda raja memejamkan matanya. Tangannya mengepal. Tidak, tidak seharusnya wanita malang itu mendapatkan hukuman atas ketidaksalahannya. Perempuan itu tidak salah diagnosa. Akan tetapi harus mendapatkan hukuman itu karena pelarian putri kecilnya. Pun demikian juga dengan permaisuri. Dia melelehkan air matanya. Perasaan bersalah tak berujung melihat wanita yang telah membantu persalinannya diseret dengan tanpa adab oleh pengawal seolah-olah bajingan.

“Raja dan permaisuri, hamba mohon pamit. Sejahtera untuk kalian,” pamit perdana menteri didikuti oleh beberapa pengawal. Dalam perjalanannya keluar istana kaputren itu, perdana menteri menyuruh pelayannya untuk membereskan kecurigaannya. Dia sudah tahu, bahwa anak dari sang raja aqdalah kembar. Itu terlihat dari dua guci ari-ari yang dipersiapkan oleh tabib.

Sang raja luruh ke kursi. Dia tidak tahu apa yang harus di perbuatnya. Dia ingat, bahwa raja memiliki wewenang untuk membatalkan hukuman. Kali ini, dia akan menggunakan sabda itu untuk menolong wanita itu. Wanita itu tidak salah. Tabib itu benar. Hanya saja, jika perdana menteri tahu anaknya kembar, maka akan berbahaya bagi anaknya sendiri. Mungkin perdana menteri akan membuang bahkan membunuh salah satu anaknya.

“Tuanku kekasihku,” panggil sang permaisuri Utari.

“Iya, adinda. Adakah yang kau rasakan?” Baginda raja datang dan duduk di samping sang permaisuri. Dia menggenggam erat tangan sang permaisuri. Seluruh mbok emban sudah keluar untuk membiarkan suami istri pasangan rajanya tersebut untuk berbicara.

“Tuanku junjunganku. Ini tidak adil untuk tabib Ardhani. Dia akan dihukum gantung. Kau tahu bagaimana perdana menteri? Gunakan petisimu untuk menyelamatkannya, Baginda. Aku mohon,” pinta permaisuri. Lelaki itu mengusap pelipis permaisuri yang mulai gerah karena siang ini memang panas. Permaisuri yang biasanya lengkap dengan konde dan wajah yang ayu kini tampak pucat sehabis melahirkan. Bahkan darah juga belum surut dari jalan lahirnya.

Download APP, continue reading

Chapters

85