Bab 8 Ujung Lorong Harapan
by Meyyis
15:06,Jan 04,2021
Sementara itu, mbok emban sudah sampai di ujung jalan bawah tanah. Tiga hari tiga malam dia berada di dalam ruangan sempit dan lorong yang bagai tiada berujung. Ketakutan menghantui, jikalau ada binatang melata yang menyerang mereka. Untung saja, sang baginda membungkuskan makanan untuknya, selain membawakan emas dan juga belati. Beberapa bungkus yangko di bawakan untuknya. Sedangkan untuk air, di tepian lorong itu ada sungai kecil yang mengalir. Airnya sangat jernih. Sedangkan mbok emban tidak mungkin memberikan bayinya makanan yangko tersebut. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain selain mengunyahkan makanan itu sampai benar-benar lumat agar bisa di cerna oleh usus bayi.
Mbok emban Sulastri menangis sambil memberikan kunyahannya yang hampir menjadi ludah itu. Air mata mbok emban terus mengalir. Persetan dengan aturan negara, persetan dengan tradisi. Seorang anak manusia tergerus tradisi harus menderita seperti sekarang.
“Ngger, anakku. Anda terpaksa harus saya panggil begitu, Ndoro putri. Anda terpaksa harus memanggilku biyung.” Mbok Lastri menghapus air matanya, kemudian memetik daun perdu untuk mengambil air di sungai kecil itu. Bayi itu mencucup sedikit demi sedikit air yang di berikan oleh mbok emban Sulastri. Memang, bayi seharusnya belum boleh di beri makan apapun kecuali asi ibunya.
Tapi, bagaimana? Mbok lastri tidak mungkin membiarkan anak itu kehausan dan kelaparan. Mau di beri asi saja, jelas tidak mungkin. Bayi itu butuh nutrisi. Bisa-bisa dia akan mati kalau tidak di beri makan. Mbok Lastri mengantuk. Sebelum keluar dari gerbang lorong istana, dia akan memejamkan matanya sebentar saja. Saat di luar lorong, mungkin saja dia tidak dapat istirahat karena diluran sana banyak onak yang akan menghalanginya. Sudah pasti perdana menteri akan mengejarnya tidak mungkin tidak. Hanya saja, tidak akan lewat lorong yang sama.
Mbok emban terlelap dengan memeluk bayi perempuan itu. Dia meletakkan bayi itu di pangkuannya, dengan selendang masih melilit di badan agar bayi tidak terjatuh. Cukup lama dia terlelap rupanya. Dia sendiri tidak sadar berapa hari sudah berjalan kaki.
“Mbok, mbok Lastri. Bangun, Mbok.” Suara itu terdengar nyata. Suara pengawal raja. Akan tetapi, tidak mungkin ini pasti mimpi. Ya, mbok lastri masih terlelap akan tetapi masih terdengar jelas suara pengawal raja tersebut.
“Mbok, bangun. Mbok Lastri ...”
“Weleh!” Mbok Lastri terhenyak ketika yang berada di depan matanya adalah memang benar pengawal raja. Ya dia diutus untuk menemani mbok Lastri kemanapun pergi. Selain itu, tujuannya untuk melaporkan setiap kejadian genting yang terjadi pada putri raja tersebut.
“Ampun, Tuan. Tolong jangan sakiti saya.” Mbok Lastri menggigil karena ketakutan.
“Mbok, Mbok. Jangan takut. Saya Adhinata Dwi Wiryaraga. Saya diutus baginda untuk melindungi simbok dan juga sang putri.” Sang pengawal pilihan menjelaskan. Mbok Lastri mengangguk kemudian kembali tenang.
“Apakah mbok sudah makan? Saya bawa makanan sekaligus beberapa makanan bayi.Nanti tinggal di panaskan saja dengan api.” Sang pengawal memberikan bungkusan kotak besek.
“Dewata sang hyang widi wase. Engkau menolong saya. Engkau tidak pernah meninggalkan hambamu yang lemah,” tangis mbok Lastri karena sang ndoro putri tidak jadi makan sembarangan.
Sang pengawal membuka pintu dengan sekuat tenaga. Dia manjat ke atas, karena pintu memang berada di atas. Setelah berhasil keluar, maka dia meraih mbok Lastri untuk keluar dengan terlebih dulu memberikan bayi itu. Kali ini sangat dramatis sekali. Lelaki itu tidak bisa menjangkau mbok lastri karena tubuh wanita itu terlalu pendek dan kursi tempat dia agar lebih tinggi sudah rusak.
“Bagaimana ini tuan pengawal? Saya kesusahan.” Sang pengawal Adhinata berpikir sejenak, kemudian dia ingat ada batu di sebelah barat tidak jauh dari tempat mbok emban sekarang.
“Mbok, ambil batu di sebelah barat itu. Gunakan agar embok lebih tinggi,” teriak Adhinata. Mbok Lastri menurut. Dia mengangkat kain jariknya, kemudian naik ke atas batu itu. Kemudian, dia mengarakhan tangannya ke atas agar bisa diraih oleh lelaki itu. Tangan mbok lastri bisa di raih. Namun, rupanya sedikit ada gangguan lagi. Sang bayi menangis sangat kencang. Sehingga, mengganggu konsentrasi.
“Oh, cup ... cup ... cup. “ Sang pengawal Adithama.
Setelah sekian lama mengelus-ngelus kepala bayi tersebut, maka lelaki itu dapat menenangkannya. Bayi itu tertidur kembali.
“Mbok, ulurkan lagi tanganmu,” teriak sang lelaki itu. Mbok Lastri naik ke batu tersebut kemudian mengulurkan tangannya ke atas. Lelaki pengawal itu mengulurkan tangannya kemudian menarik dengan sekuat tenaga wanita paruh baya tersebut. Tubuhnya yang sedikit montok membuatnya agak susah di tarik sebab berat. Sekuat tenaga lelaki itu menarik dan memegangi bayi yang ada di gendongannya agar tidak terjatuh.
“Ahhhh, sedikit lagi ayo mbok.” Lelaki itu menarik lebih kuat wanita itu agar dapat naik ke atas. Akhirnya mereka dapat keluar dari sana setelah usaha sangat keras. Mbok Lastri lunglai dengan penuh keringat di atas sana dengan matahari terik menyambangi mereka. Nafas mereka tercekat karena lelah melakukan usaha keluar dari tempat itu.
“Ndoro putri, berikan padaku, Tuan pengawal.” Wanita itu meminta tubuh ndoro putrinya. Kemudian Adithama memberikannya.
“Mbok mulai sekarang jangan panggil saya pengawal. Bilang saja saya anak mbok. Begitu juga dengan anak ini. Bilang saja cucu mbok. Berilah nama pada anak ini, Mbok. Nama yang sesuai dengan daerah tempat tinggal mbok.” Adhitama mengatakannya, setelah lelaki itu sudah tidak tercekat lagi. Lelaki dengan tubuh berbuku itu terlihat snagat kuat karena memang rajin latihan. Lelaki itu terdiam sesaat setelah mengatakannya.
“Baiklah. Mulai sekarang anda akan saya panggil Adhitama saja,” ucap mbok Lastri.
“Jangan, Mbok. Beri aku nama desa.” Mbok lastri berpikir keras. Apa yang bisa akan dia berikan untuk lelaki segagah pengawal itu. Maksudnya, nama yang cocok untuk lelaki segagah dia. Maka tak berapa lama mbok Lastri menemukan nama yang cocok untuk lelaki itu.
“Ah, namamu Prana ya Prana yang artinya pemberani.” Adhitama mengangguk seraya tersenyu.
“Ya, mulai sekarang namaku Prana. Nama yang bagus, Mbok. Saya menyukainya. Ayo, Mbok kita lanjutkan perjalanan. Kita akan ke bukit itu.” Lelaki itu menunjukkan sebuah bukit yang menjulang dengan rimbunnya pepohonan yang menguasainya. Prana nama baru dari Pradipta dan juga Mbok Lastri terus berjalan menuju ke arah yang di tuju.
“Mbok, kita akan beri nama siapa, Tuan putri?” tanya Prana.
“Sopo, yo?” Mbok Lastri berpikir sejenak. Dia mengibas-ngibaskan kain jariknya, karena terkena debu jalanan. Ini musim kemarau, jadi debu asik berterbangan tanpa ampun.
Sementara itu, dari kejauhan ada seseorang yang telah mengawasi gerak-gerik mereka. Ini sangat bahaya, karena mereka sendiri tidak mengetahui hal itu. Semoga saja, mereka segera menyadarinya.
Mbok emban Sulastri menangis sambil memberikan kunyahannya yang hampir menjadi ludah itu. Air mata mbok emban terus mengalir. Persetan dengan aturan negara, persetan dengan tradisi. Seorang anak manusia tergerus tradisi harus menderita seperti sekarang.
“Ngger, anakku. Anda terpaksa harus saya panggil begitu, Ndoro putri. Anda terpaksa harus memanggilku biyung.” Mbok Lastri menghapus air matanya, kemudian memetik daun perdu untuk mengambil air di sungai kecil itu. Bayi itu mencucup sedikit demi sedikit air yang di berikan oleh mbok emban Sulastri. Memang, bayi seharusnya belum boleh di beri makan apapun kecuali asi ibunya.
Tapi, bagaimana? Mbok lastri tidak mungkin membiarkan anak itu kehausan dan kelaparan. Mau di beri asi saja, jelas tidak mungkin. Bayi itu butuh nutrisi. Bisa-bisa dia akan mati kalau tidak di beri makan. Mbok Lastri mengantuk. Sebelum keluar dari gerbang lorong istana, dia akan memejamkan matanya sebentar saja. Saat di luar lorong, mungkin saja dia tidak dapat istirahat karena diluran sana banyak onak yang akan menghalanginya. Sudah pasti perdana menteri akan mengejarnya tidak mungkin tidak. Hanya saja, tidak akan lewat lorong yang sama.
Mbok emban terlelap dengan memeluk bayi perempuan itu. Dia meletakkan bayi itu di pangkuannya, dengan selendang masih melilit di badan agar bayi tidak terjatuh. Cukup lama dia terlelap rupanya. Dia sendiri tidak sadar berapa hari sudah berjalan kaki.
“Mbok, mbok Lastri. Bangun, Mbok.” Suara itu terdengar nyata. Suara pengawal raja. Akan tetapi, tidak mungkin ini pasti mimpi. Ya, mbok lastri masih terlelap akan tetapi masih terdengar jelas suara pengawal raja tersebut.
“Mbok, bangun. Mbok Lastri ...”
“Weleh!” Mbok Lastri terhenyak ketika yang berada di depan matanya adalah memang benar pengawal raja. Ya dia diutus untuk menemani mbok Lastri kemanapun pergi. Selain itu, tujuannya untuk melaporkan setiap kejadian genting yang terjadi pada putri raja tersebut.
“Ampun, Tuan. Tolong jangan sakiti saya.” Mbok Lastri menggigil karena ketakutan.
“Mbok, Mbok. Jangan takut. Saya Adhinata Dwi Wiryaraga. Saya diutus baginda untuk melindungi simbok dan juga sang putri.” Sang pengawal pilihan menjelaskan. Mbok Lastri mengangguk kemudian kembali tenang.
“Apakah mbok sudah makan? Saya bawa makanan sekaligus beberapa makanan bayi.Nanti tinggal di panaskan saja dengan api.” Sang pengawal memberikan bungkusan kotak besek.
“Dewata sang hyang widi wase. Engkau menolong saya. Engkau tidak pernah meninggalkan hambamu yang lemah,” tangis mbok Lastri karena sang ndoro putri tidak jadi makan sembarangan.
Sang pengawal membuka pintu dengan sekuat tenaga. Dia manjat ke atas, karena pintu memang berada di atas. Setelah berhasil keluar, maka dia meraih mbok Lastri untuk keluar dengan terlebih dulu memberikan bayi itu. Kali ini sangat dramatis sekali. Lelaki itu tidak bisa menjangkau mbok lastri karena tubuh wanita itu terlalu pendek dan kursi tempat dia agar lebih tinggi sudah rusak.
“Bagaimana ini tuan pengawal? Saya kesusahan.” Sang pengawal Adhinata berpikir sejenak, kemudian dia ingat ada batu di sebelah barat tidak jauh dari tempat mbok emban sekarang.
“Mbok, ambil batu di sebelah barat itu. Gunakan agar embok lebih tinggi,” teriak Adhinata. Mbok Lastri menurut. Dia mengangkat kain jariknya, kemudian naik ke atas batu itu. Kemudian, dia mengarakhan tangannya ke atas agar bisa diraih oleh lelaki itu. Tangan mbok lastri bisa di raih. Namun, rupanya sedikit ada gangguan lagi. Sang bayi menangis sangat kencang. Sehingga, mengganggu konsentrasi.
“Oh, cup ... cup ... cup. “ Sang pengawal Adithama.
Setelah sekian lama mengelus-ngelus kepala bayi tersebut, maka lelaki itu dapat menenangkannya. Bayi itu tertidur kembali.
“Mbok, ulurkan lagi tanganmu,” teriak sang lelaki itu. Mbok Lastri naik ke batu tersebut kemudian mengulurkan tangannya ke atas. Lelaki pengawal itu mengulurkan tangannya kemudian menarik dengan sekuat tenaga wanita paruh baya tersebut. Tubuhnya yang sedikit montok membuatnya agak susah di tarik sebab berat. Sekuat tenaga lelaki itu menarik dan memegangi bayi yang ada di gendongannya agar tidak terjatuh.
“Ahhhh, sedikit lagi ayo mbok.” Lelaki itu menarik lebih kuat wanita itu agar dapat naik ke atas. Akhirnya mereka dapat keluar dari sana setelah usaha sangat keras. Mbok Lastri lunglai dengan penuh keringat di atas sana dengan matahari terik menyambangi mereka. Nafas mereka tercekat karena lelah melakukan usaha keluar dari tempat itu.
“Ndoro putri, berikan padaku, Tuan pengawal.” Wanita itu meminta tubuh ndoro putrinya. Kemudian Adithama memberikannya.
“Mbok mulai sekarang jangan panggil saya pengawal. Bilang saja saya anak mbok. Begitu juga dengan anak ini. Bilang saja cucu mbok. Berilah nama pada anak ini, Mbok. Nama yang sesuai dengan daerah tempat tinggal mbok.” Adhitama mengatakannya, setelah lelaki itu sudah tidak tercekat lagi. Lelaki dengan tubuh berbuku itu terlihat snagat kuat karena memang rajin latihan. Lelaki itu terdiam sesaat setelah mengatakannya.
“Baiklah. Mulai sekarang anda akan saya panggil Adhitama saja,” ucap mbok Lastri.
“Jangan, Mbok. Beri aku nama desa.” Mbok lastri berpikir keras. Apa yang bisa akan dia berikan untuk lelaki segagah pengawal itu. Maksudnya, nama yang cocok untuk lelaki segagah dia. Maka tak berapa lama mbok Lastri menemukan nama yang cocok untuk lelaki itu.
“Ah, namamu Prana ya Prana yang artinya pemberani.” Adhitama mengangguk seraya tersenyu.
“Ya, mulai sekarang namaku Prana. Nama yang bagus, Mbok. Saya menyukainya. Ayo, Mbok kita lanjutkan perjalanan. Kita akan ke bukit itu.” Lelaki itu menunjukkan sebuah bukit yang menjulang dengan rimbunnya pepohonan yang menguasainya. Prana nama baru dari Pradipta dan juga Mbok Lastri terus berjalan menuju ke arah yang di tuju.
“Mbok, kita akan beri nama siapa, Tuan putri?” tanya Prana.
“Sopo, yo?” Mbok Lastri berpikir sejenak. Dia mengibas-ngibaskan kain jariknya, karena terkena debu jalanan. Ini musim kemarau, jadi debu asik berterbangan tanpa ampun.
Sementara itu, dari kejauhan ada seseorang yang telah mengawasi gerak-gerik mereka. Ini sangat bahaya, karena mereka sendiri tidak mengetahui hal itu. Semoga saja, mereka segera menyadarinya.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved