Bab 6 Racun Bellandona Manis Melumpuhkan
by Meyyis
15:00,Jan 04,2021
Wijaya membantu lelaki itu yaitu Swara Asmaralaya untuk bangun. Lelaki yang lemah itu dengan susah payah terbangun dari tempat tidurnya. Wijaya menuntunnya untuk menulid di atas meja. Swara Asmaralaya duduk di salah satu kursi, kemudian mulai menulis kata dmi kata hingga selesai. Dia membubuhkan tanda tangan di pojokan, berikut cap jempolnya pada samping tanda tangan tersebut. Terahir, stempel milik mantan raja.
Baginda meraih kertas tersebut, setelah sang mantan raja itu menyerahkannya. Matanya tidak berkedip sama sekali melihat isi surat itu.
Ternyata, wanita yang di cintainya adalah Perdana Menteri. Wanita setan yang tidak punya belas kasihan. Tunggu! Isi suratnya adalah sebuah pernyataan pembatalan perjanjian dengan perdana menteri hak seorang anak? Ah, ternyata?
“Ayahanda, maksudanya apa ini?”
“Tabib istana, Tiba.” Teriak sang penjaga pintu. tidak melanjutkan kembali pertanyaannya. Dia memilih untuk duduk dan menerka-nerka apa yang terjadi dengan lelaki yang selama kurang lebih dua puluh lima tahun ini menjadi orang tuanya.
Terlihat seorang paruh baya dengan pakaian putih dan ikat putih. Dia adalah tabib istana yang tertua saat ini. Selain itu, dia paling detail jika memerikas. Dia sudah berjasa mengobati sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
“Ampun, Gusti paduka . Hamba datang menghadap,” tukas lelaki itu. Lelaki yang menjinjing kotak itu meletakkan kotak terlebih dahulu sebelum tadi berbicara. Dia berlutut kemudian menangkupkan kedua tangannya seraya membungkuk.
“Periksa ayahanda,” tukas . Lelaki itu menurut kemudian membawa kotaknya, dan membuka. Dia periksa denyut nadi ayahanda raja tersebut. Dia merasakan lemah di nadinya. Kemudian, di susul dengan tekanan darahnya. Setelah itu, beberapa jarum akupuntur di suntikkan di berbagai titik dalam tubuh Swara Asmaralaya. Lelaki itu terpejam sekarang menerima obat rempah yang di minumkan dalam cawan dan berbagai pijitan refleksi oleh lelaki tersebut.
“Bagaimana keadaannya, Tabib?” tanya .
“Baginda, ampuni saya. Tuan Swara Asmaralaya sepertinya terkena racun Belladona. Saya tidak tahu, apakah tuan Swara Asmaralaya tersebut memakannya atau termakan tidak sengaja, atau bahkan di racuni.” Tabib tersebut menunduk hormat sekaligus menangkupkan kedua tangannya.
“Apakah bisa di obati, Tabib?” tanya sang Baginda Raja.
“Ampun, Baginda. Sepertinya akan sulit. Jika pun bisa tertolong, Tuan Swara Asmaralaya akan lumpuh total. Tanaman ini menyerang bagian syaraf pusat. Hamba akan coba mengeluarkan racunnya. Hanya saja, sepertinya sudah menyerang ke bagian darah. Jadi sangat sulit membersihkannya. Racun, hanya dapat di tolak dengan racun. Akan tetapi, kemungkinan sembuh tidak ada sepuluh persen.” Lelaki paruh baya berpakaian putih itu terus memohon ampun akan ketidak mampuannya.
“Baiklah, lakukan seberapa pun kemungkinannya. Mungkin kita harus menerima jika kenyataannya nanti, ayahanda tidak dapat tertolong.” Baginda raja tertegun dan duduk di meja itu. Kemudian, setelah tabib selesai, maka sang tabib keluar dari rumah itu. Lelaki itu tertunduk lesu dengan surat yang dari tadi di tangannya.
“Pengawal!” Seorang penjaga pintu masuk.
“Ampun, Baginda. Hamba menghadap!” Seorang lelaki dengan pakaian minim dan dada yang bidang terpampang masuk ke ruangan. Pakain bawahnya berupa jarik kawung sebagai lambang keperkasaan dan kelincahan.
“Jaga ayahanda! Saya akan kembali ke kediamanku,” titah raja. Sang Baginda Raja pergi dari kamar itu. Seluruh pikiran berkecamuk. Dia memasukkan surat itu di dalam bajunya, kemudian langsung keluar dari kamar itu. Ruangan sebagai kamar ayahandanya. Meskipun dia bilang bahwa dirinya hanya pamannya, akan tetapi tidak masalah. Dia tetap memperoleh kasih sayang dari lelaki paruh baya itu. Dia tidak memepermaslahkannya. Hanya yang jadi masalah, kenapa ayahhandanya itu terlibat dengan perdana menteri. Ini akan jadi perkara sulit. Dia tidak punya cukup kekuatan untuk melawan Perdana Menteri.
Perdana Menteri memiliki banyak cara untuk merekrut pasukan. Bahkan seluruh pasukan takluk di bawah kendalinya. Demikian juga dengan panglima perang. Bukan-bukan takluk.Panglima perang hanya tidak bisa berbuat apapun. Dia masih tetap setia pada raja Wijaya. Lelaki itu masuk ke ruangan kaputren. Penjaga istana kaputren yang membawa tombak segera membuka tombaknya yang disilangkan. Sedangkan pasukan yang di depan pintu mulai berteriak memberitahukan kedatangannya.
“Baginda Raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari raja Nagari Kanigara, tiba!” Permaisuri yang ada di dalam bangkit kemudian menyambut sang Baginda Raja di depan pintu.
“Selamat sejahtera untuk, Kakanda.” Wanita itu mengulurkan kedua tangannya kemudian membimbing sang suami untuk duduk. Wanita itu selalu menuangkan teh untuk Baginda Raja suaminya, kendati banyak dayang istana. Wanita itu sangat mencintai suaminya tersebut oleh karena itu dia tidak akan rela orang lain yang memberikan pasugatan.
“Silakan dinikmati, Kanda.” Dengan manja permaisuri memberikan cangkir teh tersebut kepada suaminya. Meliaht hal itu, para dayang keluar dari ruangan kaputren, kemudian menutup pintunya.
“Terima kasih, Permaisuriku kekasihku,” tukas Baginda Raja sambil memluk istrinya yang ada di pangkuannya.
“Kanda, ada apa? Seeprtinya wajah kanda bermuram durja? Ada yang mengganggu pikiran kakandaku kekasihku?” tanya permaisuri sambil memainkan rambut sang raja yang terlihat mengintip di bawah telinga. Sang raja menanggalkan mahkotanya, kemudian blangkon yang ada di kepala, sehingga terlihat rambut panjangnya yang lurus dan sangat lembut. Permaisui memainkannya, seraya memilin-milinnya di jari telunjuknya.
“Adindaku permaisuriku. Tahukah berita yang kanda dapat hari ini menghujam jantung menyayat kalbu.” Sang baginda raja mulai memberikan perkatannya.
“Wahai tuanku junjunganku rajaku. Hal apa gerangan yang membuat kakanda jadi berulam jantung dan tersayat sembilu?” Permaisuri menyibakkan rambut sang raja, kemudian bangundari pangkuan sang raja. Ah, sayang sekali dia belum bisa memberikan service yang memuaskan. Mungkin sengan cara lain nanti agar seluruh gairah rajanya dapat tersalurkan. Sang permaisuri menarik sang raja ke ranjangnya, dan mendudukannya di sana. Setelah itu, dia melepas kondenya yang sudah rapi.
“Ah, permaisuriku kekasihku. Sudah bolehkah aku ....” Telunjuk permaisuri mengarah ke mulut sang raja. Mungkin ini kurang ajar jika orang lain atau wanita selir yang melakukannya. Akan tetapi, permaisuri adalah sahabatnya dari kecil. Hal seperti itu tidak masalah baginya. Maksudnya, jika selir mungkin saja tidak bisa memotong embicaraan raja, karena dianggap tidak sopan.
“Maaf, kanda. Belum boleh.Tapi, hamba akan memberikan sensasi berbeda pada kanda,” goda permaisuri. Wanita bangsawan itu membuka kebayanya, kemudian kain bawahnya. Hingga terlihat hanya siluet tubuh yang begitu molek. Sang Baginda Raja tertegun, menelan salivanya yang mulai mengucur dari tenggorokannya.
“Kanda, tidakkah kau ingin ini?” Sang permaisuri memberikan dadanya yang montok dan sangat bahenol itu, namun masih tertutup dengan pakaian dalamnya.
“Dari mana kamu belajar menggodaku permaisuri? Kau ... kau akan ku terkam saat ini juga. Aku tidak sabar rasanya. Bungaku, Sayang.” Sang Baginda Raja mulai memainkan klitoris milik sang permaisuri, setelah dapat melepas sedikit demi sedikit baju dalamnya. Baginda raja sangat menikmati dengan sang permaisuri yang berada dalam pangkuannya berhadap-hadapan. Kaki permaisuri mengangkang diantara tubuh sang Baginda raja dengan posisi telapak kaki saling menempel.
Baginda meraih kertas tersebut, setelah sang mantan raja itu menyerahkannya. Matanya tidak berkedip sama sekali melihat isi surat itu.
Ternyata, wanita yang di cintainya adalah Perdana Menteri. Wanita setan yang tidak punya belas kasihan. Tunggu! Isi suratnya adalah sebuah pernyataan pembatalan perjanjian dengan perdana menteri hak seorang anak? Ah, ternyata?
“Ayahanda, maksudanya apa ini?”
“Tabib istana, Tiba.” Teriak sang penjaga pintu. tidak melanjutkan kembali pertanyaannya. Dia memilih untuk duduk dan menerka-nerka apa yang terjadi dengan lelaki yang selama kurang lebih dua puluh lima tahun ini menjadi orang tuanya.
Terlihat seorang paruh baya dengan pakaian putih dan ikat putih. Dia adalah tabib istana yang tertua saat ini. Selain itu, dia paling detail jika memerikas. Dia sudah berjasa mengobati sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
“Ampun, Gusti paduka . Hamba datang menghadap,” tukas lelaki itu. Lelaki yang menjinjing kotak itu meletakkan kotak terlebih dahulu sebelum tadi berbicara. Dia berlutut kemudian menangkupkan kedua tangannya seraya membungkuk.
“Periksa ayahanda,” tukas . Lelaki itu menurut kemudian membawa kotaknya, dan membuka. Dia periksa denyut nadi ayahanda raja tersebut. Dia merasakan lemah di nadinya. Kemudian, di susul dengan tekanan darahnya. Setelah itu, beberapa jarum akupuntur di suntikkan di berbagai titik dalam tubuh Swara Asmaralaya. Lelaki itu terpejam sekarang menerima obat rempah yang di minumkan dalam cawan dan berbagai pijitan refleksi oleh lelaki tersebut.
“Bagaimana keadaannya, Tabib?” tanya .
“Baginda, ampuni saya. Tuan Swara Asmaralaya sepertinya terkena racun Belladona. Saya tidak tahu, apakah tuan Swara Asmaralaya tersebut memakannya atau termakan tidak sengaja, atau bahkan di racuni.” Tabib tersebut menunduk hormat sekaligus menangkupkan kedua tangannya.
“Apakah bisa di obati, Tabib?” tanya sang Baginda Raja.
“Ampun, Baginda. Sepertinya akan sulit. Jika pun bisa tertolong, Tuan Swara Asmaralaya akan lumpuh total. Tanaman ini menyerang bagian syaraf pusat. Hamba akan coba mengeluarkan racunnya. Hanya saja, sepertinya sudah menyerang ke bagian darah. Jadi sangat sulit membersihkannya. Racun, hanya dapat di tolak dengan racun. Akan tetapi, kemungkinan sembuh tidak ada sepuluh persen.” Lelaki paruh baya berpakaian putih itu terus memohon ampun akan ketidak mampuannya.
“Baiklah, lakukan seberapa pun kemungkinannya. Mungkin kita harus menerima jika kenyataannya nanti, ayahanda tidak dapat tertolong.” Baginda raja tertegun dan duduk di meja itu. Kemudian, setelah tabib selesai, maka sang tabib keluar dari rumah itu. Lelaki itu tertunduk lesu dengan surat yang dari tadi di tangannya.
“Pengawal!” Seorang penjaga pintu masuk.
“Ampun, Baginda. Hamba menghadap!” Seorang lelaki dengan pakaian minim dan dada yang bidang terpampang masuk ke ruangan. Pakain bawahnya berupa jarik kawung sebagai lambang keperkasaan dan kelincahan.
“Jaga ayahanda! Saya akan kembali ke kediamanku,” titah raja. Sang Baginda Raja pergi dari kamar itu. Seluruh pikiran berkecamuk. Dia memasukkan surat itu di dalam bajunya, kemudian langsung keluar dari kamar itu. Ruangan sebagai kamar ayahandanya. Meskipun dia bilang bahwa dirinya hanya pamannya, akan tetapi tidak masalah. Dia tetap memperoleh kasih sayang dari lelaki paruh baya itu. Dia tidak memepermaslahkannya. Hanya yang jadi masalah, kenapa ayahhandanya itu terlibat dengan perdana menteri. Ini akan jadi perkara sulit. Dia tidak punya cukup kekuatan untuk melawan Perdana Menteri.
Perdana Menteri memiliki banyak cara untuk merekrut pasukan. Bahkan seluruh pasukan takluk di bawah kendalinya. Demikian juga dengan panglima perang. Bukan-bukan takluk.Panglima perang hanya tidak bisa berbuat apapun. Dia masih tetap setia pada raja Wijaya. Lelaki itu masuk ke ruangan kaputren. Penjaga istana kaputren yang membawa tombak segera membuka tombaknya yang disilangkan. Sedangkan pasukan yang di depan pintu mulai berteriak memberitahukan kedatangannya.
“Baginda Raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari raja Nagari Kanigara, tiba!” Permaisuri yang ada di dalam bangkit kemudian menyambut sang Baginda Raja di depan pintu.
“Selamat sejahtera untuk, Kakanda.” Wanita itu mengulurkan kedua tangannya kemudian membimbing sang suami untuk duduk. Wanita itu selalu menuangkan teh untuk Baginda Raja suaminya, kendati banyak dayang istana. Wanita itu sangat mencintai suaminya tersebut oleh karena itu dia tidak akan rela orang lain yang memberikan pasugatan.
“Silakan dinikmati, Kanda.” Dengan manja permaisuri memberikan cangkir teh tersebut kepada suaminya. Meliaht hal itu, para dayang keluar dari ruangan kaputren, kemudian menutup pintunya.
“Terima kasih, Permaisuriku kekasihku,” tukas Baginda Raja sambil memluk istrinya yang ada di pangkuannya.
“Kanda, ada apa? Seeprtinya wajah kanda bermuram durja? Ada yang mengganggu pikiran kakandaku kekasihku?” tanya permaisuri sambil memainkan rambut sang raja yang terlihat mengintip di bawah telinga. Sang raja menanggalkan mahkotanya, kemudian blangkon yang ada di kepala, sehingga terlihat rambut panjangnya yang lurus dan sangat lembut. Permaisui memainkannya, seraya memilin-milinnya di jari telunjuknya.
“Adindaku permaisuriku. Tahukah berita yang kanda dapat hari ini menghujam jantung menyayat kalbu.” Sang baginda raja mulai memberikan perkatannya.
“Wahai tuanku junjunganku rajaku. Hal apa gerangan yang membuat kakanda jadi berulam jantung dan tersayat sembilu?” Permaisuri menyibakkan rambut sang raja, kemudian bangundari pangkuan sang raja. Ah, sayang sekali dia belum bisa memberikan service yang memuaskan. Mungkin sengan cara lain nanti agar seluruh gairah rajanya dapat tersalurkan. Sang permaisuri menarik sang raja ke ranjangnya, dan mendudukannya di sana. Setelah itu, dia melepas kondenya yang sudah rapi.
“Ah, permaisuriku kekasihku. Sudah bolehkah aku ....” Telunjuk permaisuri mengarah ke mulut sang raja. Mungkin ini kurang ajar jika orang lain atau wanita selir yang melakukannya. Akan tetapi, permaisuri adalah sahabatnya dari kecil. Hal seperti itu tidak masalah baginya. Maksudnya, jika selir mungkin saja tidak bisa memotong embicaraan raja, karena dianggap tidak sopan.
“Maaf, kanda. Belum boleh.Tapi, hamba akan memberikan sensasi berbeda pada kanda,” goda permaisuri. Wanita bangsawan itu membuka kebayanya, kemudian kain bawahnya. Hingga terlihat hanya siluet tubuh yang begitu molek. Sang Baginda Raja tertegun, menelan salivanya yang mulai mengucur dari tenggorokannya.
“Kanda, tidakkah kau ingin ini?” Sang permaisuri memberikan dadanya yang montok dan sangat bahenol itu, namun masih tertutup dengan pakaian dalamnya.
“Dari mana kamu belajar menggodaku permaisuri? Kau ... kau akan ku terkam saat ini juga. Aku tidak sabar rasanya. Bungaku, Sayang.” Sang Baginda Raja mulai memainkan klitoris milik sang permaisuri, setelah dapat melepas sedikit demi sedikit baju dalamnya. Baginda raja sangat menikmati dengan sang permaisuri yang berada dalam pangkuannya berhadap-hadapan. Kaki permaisuri mengangkang diantara tubuh sang Baginda raja dengan posisi telapak kaki saling menempel.
Xi'an Perfect Planet Internet Technology Co., Ltd. (西安完美星球网络科技有限公司) © 2020 www.readmeapps.com All rights reserved