Bab 9 Perjuangan Abdi Dalem

by Meyyis 15:09,Jan 04,2021
“Ah, saya tahu siapa namanya?” teriak mbok Lastri. Prana terkaget karena teriakan mbok Lastri.

“Hus, mbok jangan kencang-kencang. Pohon itu memiliki telinga.” Prana mulai merasakan kalau diikuti. Lelaki itu mengambil jarum beracun yang ada di dalam bajunya. Jarum itu memang mengandung racun yang tidak berbahaya namun sanggup melumpuhkan lawan, karena racun itu akan melumpuhkan syaraf sementara bagi yang terkena. Tujuan senjata itu hanya untuk melinfungi diri. Jadi, tidak sampai membunuh. Bagi Prana, cukup membela diri saja. Membunuh adalah perbuatan orang-orang keji yang tidak memiliki hubungan vertikal dengan Sang Hyang Widi Wase yang welas asih. Hanya kalau sudah terdesak dan terpaksa saja, baru dia akan membunuh seseornag itu.

Dia mengambil jarum itu, kemudian mengarahkan ke gerumbulan yang ada di balik pohon itu. Suara pekikan seseorang memnag menandakan bahwa ada orang di sana. Prana berbalik untuk melihat siapa yang ada di balik pepohonan perdu itu. Benar saja, bahwa dia adalah anak buah dari Perdana Menteri. Itu terlihat dari pakaiannya dan corak batiknya. Prana menelan air ludahnya. Dia meninggalkan tempat itu.Biarkan lelaki itu berusaha sendiri untuk membebaskan dari kaku yang dirasakannya.

“Kau mencari mati. Bekerjalah untuk negara dengan baik. Jangan berbuat culas. Kau sendiri yang merugi,” sinis Prana. Mereka melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan prajurit yang lumpuh itu. Sepanjang jalan hanya terdapat jalan setapak dan pepohonan yang rimbun. Di kanan kiri terdapat pohon kecubung yang baru mekar bunyanya. Jenis tumbuhan bunga terompet menjadi daya tarik. Tapi awas! Kecantikannya tidak serta merta bermanfaat bagi konsusmsi. Akan memabukkan bila mengkonsumsi bunga atau buah itu. Efek mual, pusing dan bahkan dapat bertindak aneh seperti orang yang sedang mabuk.

Mereka terus menyusuri jalan setapak itu. Yang terdekat, ada sebuah desa yang akan mereka lalui. Terlihat pemukiman itu sudah nampak atapnya. Mereka singgah di sana, untuk makan dan mengisi bekal.

“Monggo, Kisanak. Mau pesan apa?” tanya seorang lelaki paruh baya setelah mereka duduk di sebuah warung.

“Saya pesan nasi untuk biyung saya ini dan juga saya sendiri. Lauknya ada apa saja, Ki?” tanya Prana.

“Ada pecel terong, pepes jamur, ayam panggang dan sambal terasi, Den.” Prana manggut-manggut, kemudian memesan beberapa makanan untuk mereka makan dan bekal selama di jalan. Perjalanan masih panjang dengan berkilo-kilo jalan yang berliku untuk bisa sampai ke bukit tersebut. Mereka akan menyepi dari kuta raja untuk dapat membesarkan anak raja yang dititipkan untuk mereka rawat.

“Monggo,Silakan, Kisanak dan Nyisanak. Saya permisi,” pamit lelaki tua itu.

“Tunggu, Ki.” Lelaki itu berbalik kemudian membungkuk lagi.

“Ada apa, Kisanak?” tanya lelaki itu heran. Ah, mungkin saja dia akan memesan lagi.

“Bukit Kemuning apakah masih jauh dari sini?” tanya Prana.

“Kenapa kesana, Kisanak? Di sana ada seekor harimau yang tidak akan membiarkan siapa saja datang ke wilayahnya. Dia akan memangsa siapapun yang melintas,” tukas sang lelaki paruh baya itu.

“Oh, tapi saya ada urusan di sana. Saya akan hati-hati.” Lelaki itu manggut-manggut, kemudian memberikan arahan pada Prana. Lelaki gagah berani itu kemudian mengerti dan mulai ada bayangan medan yang akan mereka lalui.

Jalan panjang dan juga berliku. Prana menoleh ke arah mbok Lastri. Dia menarik nafas. Rasanya sangat kasihan melihat wanita tua itu harus berjalan berkilo-kilo untuk sekedar melarikan diri. Semoga wanita itu kuat sampai bukit Kemuning yang di tuju.

Mereka makan dengan lahap untuk mengisi perut mereka dan juga tenaga. Butuh tenaga ekstra untuk melanjutkan perjalanan mereka. Bagiaman tidak, bahkan beberapa jam yang lalu sudah ada yang ingin mencelakai mereka. Tepatnya, tuan putrinya. Ini akan sulit mereka lalui. Pertempuran juga akan terjadi jika seperti itu. Lelaki itu menyelesaikan makannya, demikian juga dengan mbok Lastri.

“Hus ... hus ... hus. Kamu lapar, Nak?” Bayi itu menangis. Mungkin karena lapar atau yang lainnya. Ah, ternyata dia mengompol. Karena bajunya sudah habis, maka Prana mengajak mbok astri dan juga bayi itu ke pasar untuk membeli pakaian. Mbok Lastri menurut saja. Setelah membayar, mereka pun segera bernagkat menuju pasar yang ada di ujung desa. Setidaknya itu yang di katakan oleh lelaki pemilik warung nasi itu.

“Biyung, beli dua-dua.” Lelaki itu menukar jarit dan juga baju-baju itu dengan dua keping emas. Penjual setuju untuk menukarkan barang mereka dengan emas milik Prana. Setelah mendapatkan pakaian, mbok Lastri mengganti pakaian bayi itu, setelahnya mereka melanjutkan perjalanan. Rintangan demi rintangan menjadikan mereka kesulitan. Namun, mereka tidak berputus asa. Menyeberangi sungai, menaiki bukit dan lewat dengan jalan yang terjal. Pemandangan maha karya Tuhan yang masih perawan itu kelak menjadi ladang mereka dan anak cucu, ketika Prana menikah nanti.

“Buru-buru, Kisanak?” Seseorang bertubuh besar dengan golok di tangannya menghadang langkah mereka.

“Siapa kalian? Menyingkir dari jalan kami!” Prana melindungi mbok Lastri dan menyuruh wanita itu untuk bersembunyi.

“Uh, takut! Serahkan emas kalian dan perbekalan kalian. Kalau tidak, kek ....” Lelaki itu mengarahkan ke lehernya dan bertindak seolah-olah akan memutuskan leher Prana.

“Kau menantangku? Apa boleh buat. Tanganku sudah gatal sudah beberapa hari tidak bertarung.” Parana mulai melakukan pemanasan dengan melakukan peregangan pada otot-ototnya.

“Hait ....” Lelaki itu mulai maju dan menyerang. Pertempuran tidak terhindarkan lagi. Adu pedang dan hantaman saling menyerang dan bertahan bergplak di dalam perbukitan itu. Pohon-pohon di sepanjang jalan itu menjadi korban sabetan pedang atau terinjak oleh mereka. Perampok itu berjumlah lima orang. Dengan pakaian serba hitam dan golok yang sudah di asah tajam. Sang kepala perampok berwajah menyeramkan dengan jambang yang mulai tumbuh menyelimuti wajahnya. Kendati tubuh Prana tidak sebesar kepala perampok itu, dia dapat melibasnya dengan tangan kosong. Perampok itu terkulai dengan darah yang bersimbah.

“Kalian mau juga seperti ketua kalian? Siapa yang menyuruh kalian, Hah?” Parana mengintrogasi lelaki yang sedang sekarat itu. Sedangkan anak buahnya sudah ngacir terlebih dahulu karena ketakutan melihat ketuia mereka dapat di lumpuhkan.

“Katakan, cepat!” Prana tidak sabar rasanya. Dia menjambak rambuat perampok itu, hingga kesakitannya semakin menjadi.

“Bunuh saja aku! Setidaknya kau akan puas sudah mempecundangi kelompok Srigala Putih.” Prana mengangguk. Rupanya, gertakakannya kurang tajam.

“Aku akan menyiksamu. Percuma kalau kau sembunyikan identitas dalang dari pengeroyokan itu. Tuanmu juga tidak akan peduli.” Prana menginjak dada perampok itu yang sakit, sehingga lelaki yang sudah terluka itu menjerit karena rasa sakit yang semakin menusuk. Melihat dan mendengar itu dari balik pohon, mbok Lastri merasa ngeri hingga menggigil. Rasanya sangat menakutkan melihat orang di aniaya seperti itu.

Download APP, continue reading

Chapters

85