Bab 3 Utusan Perdana Mentri

by Meyyis 14:49,Jan 04,2021
“Tuanku junjunganku. Ini tidak adil untuk tabib Ardhani. Dia akan dihukum gantung. Kau tahu bagaimana perdana menteri? Gunakan petisimu untuk menyelamatkannya, Baginda. Aku mohon,” pinta permaisuri. Lelaki itu mengusap pelipis permaisuri yang mulai gerah karena siang ini memang panas. Permaisuri yang biasanya lengkap dengan konde dan wajah yang ayu kini tampak pucat sehabis melahirkan. Bahkan darah juga belum surut dari jalan lahirnya.

“Kanda sudah memikirkannya, Adinda. Kanda akan menggunakannya. Jika itu tidak bisa, kanda akan membantunya lepas dari belenggu penjara,” jawab baginda raja.

Sedangkan perdana menteri sudah sampai di kediamannya yang berada di arah utara. Rumah dinasnya yang berada di kompleks istana tidak kalah megah. Ukiran jati dengan gaya khas klasik keraton terlihat indah. Kursi ukir bertema binatang menyeramkan menjadi ciri kekuatannya.

“Panggil Jagadita kemari!” titah perdana menteri.

“Hamba laksanakan, Gusti perdana menteri.” Lelaki bertubuh tegap pengawal perdana menteri keluar dari rumah dinas perdana menteri. Dia pergi ke rumah Jagadita yang ada di paviliun belakang. Paviliun belakang tersebut adalah tempat para prajurit beristirahat. Istilahnya, itu rumah ksatria yang ada di bangunan paling belakang.

Dua orang jaga membukakan tombak yang dia silangkan untuk menjaga rumah kasatria itu. Lelaki bertubuh tegak itu berjongkok kemudian memberi hormat dengan menangkupkan tangannya. Mereka langsung tahu, bahwa lelaki itu dari rumah perdana menteri, karena melihat corak batik yang dia kenakan. Batik kawung yang berarti bahwa kekuatan pengawal perdana menteri itu sangat kuat dan pandai berkilah seperti wawung sejenis binatang kumbang.

“Ampun pengawal Jagadita, hamba diutus perdana mentri untuk menjemput anda mengahdap.” Jagadita langsung mengenakan ikat kepalanya dengan rapi. Dia juga mengganti bajunya dengan baju yang lebih bagus karena akan mengahadap perdana menteri. Di rumah ksatria itu seakan-akan terdapat dua kubu. Yaitu kubu raja dan kubu perdana menteri. Namun demikian, kubu perdana mentri dinialai lebih banyak karena perdana mentri suka menghamburkan uang untuk mereka.

“Pengawal Darya, apa gerangan yang terjadi hingga perana menteri memanggilku?” tanya Jagadita.

“Ampun, saya tidak mengetahui,” Darya dan juga Jagadita bergegas menemui perdana menteri. Mereka mengahdap perdana mentri.

Wanita berjuluk perdana mentri itu memberikan titah kepadanya untuk berada di perbatasan menyusul mantan raja yang bergelar Bhatara Sapta Prabu (dewan penasehat raja). Sebenarnya, perdana mentri ingin membunuh lelaki tua yang sudah lengser keprabon tersebut. Akan tetapi, untuk saat ini dia masih membutuhkannya. Tahu mengapa? Karena putra raja adalah laki-laki. Di mana anak pertama laki-laki akan secara otomatis mnejadi putra mahkota. Sehingga, akan membahayakan posisinya. Dia akan membuat mantan raja itu semakin ketergantungan budi kepadanya.

Mereka berangkat terlebih dulu. Sedangkan perdana menteri akan berangkat belakangan, sebab dia akan meminta ijin kepada sang baginda untuk kepergiannya. Pagi itu, di dalam ruang singhgasana pemerintahan. Terdapat singgasana raja yang terbuat dari kayu jati dengan sepuhan emas. Pada sandaran tahta berbentuk burung garuda dengan sepuhan emas murni. Sedang pada pegangannya berupa dua sayap yang membentang.

Berjejer pula seluruh bunggawa termasuk perdana menteri untuk menghadap dan menunggu sang raja datang. Saat pertemuan seperti ini, biasanya akan di bahas banyak hal. Tentang keamanan, keuangan bahkan taktik dan strategi perang. Bahkan pengadilan terbuka juga terjadi di sana. Tidak lama, raja datang dengan tanda suara bende (gong kecil) dan teriakan dari pengawal yang berada di depan gapura ruang pertemuan itu.

“Baginda raja Wijaya Candra Kusuma Jaya Nagari raja Nagari Kanigara, datang!” Mereka segera bangkit dari duduknya, kemudian membungkuk dan tunduk tanda hormat kepada rajanya.

Baginda raja yang di sebut terlihat datang dengan keenam pengawalnya. Pengawal tersebut masing-masing memiliki tugas endiri-sendiri. Dua pengawal langsung mengambil kipas besar yang ada di kanan dan kiri singgasananya, kemudian mengipasi sang baginda. Sedang kedua pengawal yang lain menuangkan minumannya, dan kedua pengawal yang tersisa akan mengambilkan keburuhan raja yang lain seperti membacakan surat dan mengambilkan sudat jika ada utusan dari manapun datang menghantarkan surat.

Raja mulai berdiri di depan singgasana, kemudian mengangkat tangannya yang berartyi semua boleh duduk kembali.

“Selamat pagi para bunggawa. Saya persilakan untuk mulai melaporkan seluruh yang harus raja dengar,” titah baginda raja. Masing-masing dari departemen melaporkan temuannya dan catatannya. Raja mendengarkan dengan seksama. Sedangkan pengawalnya membawa nampan tempat surat untuk mengambil surat dari masing-masing departemen. Lelaki pengawal itu menunduk sebelum menerima gulungan kulit lembu sebagi catatan tugas dan temuan laporan dari masing-masing departemen. Ada pula yang menggunakan daun lontar sebagai media tulis.

Kerajaan Nagari Kanigara ini di bawah kekuasaan Raja Kahuripan saat ini. Akan tetapi, Maharaja Airlangga memberikan wewenang kerajaan-kerajaan kecil di bawahnya untuk memerintah sendiri sesuai otonomi daerah. Setelah semua laporan seesai dan pengawal raja menyerahkan nampan itu pada meja kecil di samping singgasana, barulah perdana menteri Galuh Candrawati menyampaikan niatnya.

“Ampun baginda raja.” Wanita berjuluk perdana mentri Swargi itu menangkupkan kedua tangannya seraya membungkukan badan.

“Silakan perdana mentri. Ada yang akan kamu utarakan?” tanya Raja.

“Hamba bermaksud mengadakan perjalanan keluar istana untuk melihat rakyat jelata. Hamba ingin memeriksa sejauh mana rakyat kita makmur dan sejahtera,” tukas perdana mentri sambil terus menyembah rajanya.

“Hahaha ... saya beri ijin kepergianmu, Perdana menteri. Sudah sepantasnya dalam setahun para bunggawa mendapatkan jatah pergi keluar istana. Saya memberimu ijin.” Sabda pandita ratu yang berarti sabda raja tidak bisa di bantah. Perdana menteri meras pucuk dicinta ulam pun tiba. Seolah seluruh dunia menyetujuinya. Dia akan mulai beraksi. Jangan ditanya rencana jahat apa yang akan dia perbuat nanti. Kita lihat saja, rencana apa yang dia maksud membuat Bhatara Sapta Prabu (dewan penasehat raja) Swara asmaralaya Jaya kusuma bergantung padanya. Kita lihat saja, wanita ular itu akan melakukan apa.
Sidang dewan hari ini selesai. Semua bunggawa pergi ke rumah masing-masing. Tidak terkecuali utusan daerah kadipaten sudah pulang juga. Begitu juga dengan baginda raja. Sang penguasa akan kembali ke rumah istrinya yaitu kaputren untuk menemani istrinya. Sebenarnya, tidak ada kewajiban bagi raja untuk kembali ke sana karena ada rumah raja pribadi. Hanya saja, sang baginda raja lebih suka menemani istrinya. Ini anak pertama bagi mereka. Tentu sang baginda raja ingin leih dekat dengan sang putra mahkota.

Sebenarnya, ada banyak pilihan selir untuknya. Akan tetapi, baginda raja tidak pernah mau memiliki selir. Dia tetap setia pada istrinya permaisuri Utari Gayatri Dewanggi. Banyak wanita yang di sodorkan oleh dewan istana bahkan ibu surinya, di mana ibu suri merupakan ibu tirinya karena ibu kandungnya telah meninggal karena diduga terbunuh. Tapi, tak sekali pun dia bergeming.

Sementara itu, perdana menteri dengan lima pengawalnya sudah sampai di kediaman dinasnya. Dia menyuruh para dayangnya untuk mempersiapkan pedangnya dan juga beberapa bekal saja. Dia akan mulai dengan taktik liciknya. Sedangkan dia berdandan sebagai pendekar. Baju sederhana, dengan celana komprang selutut, di padu dengan kain panjang yang di lilitkan dipinggang dan menjulur ke bagian atas menutupi tubuhnya. Namun, kesan menawan dan bangsawan masih terlihat sekilas. Sanggulnya di buat simpel dengan ikat kuda dan hiasan rambut hanya kembang saja yang menjepit rambut atasnya. Dia tersenyum dan puas dengan penampilannya. Tidak lupa, sepatu pendekar yang melilit sampai betisnya dipakai.

Download APP, continue reading

Chapters

85